"Barra ...."Kara terpaksa lebih dulu memberikan jarak, setelah merasa tak mampu menahan gejolak aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya. Wanita itu kini tak berani lagi menatap langsung kedua netra coklat milik Barra, seiring dengan degup jantung yang semakin berdetak cepat."Kara, maafkan aku!" Barra meraih cepat kedua tangan Kara yang ada di hadapannya, dengan kedua netra tajamnya yang terlihat begitu memohon. "Kau tidak perlu menghindariku seperti ini, aku—""Aku tidak menghindar darimu, Barra. Aku hanya berperilaku seperti biasa," kilah Kara pelan seraya beranjak menjauh.Barra mengusap wajahnya gusar. Ia tentu tak bisa terus merasa seperti ini, sehingga langsung memutuskan untuk membututi wanita itu ke arah dapur.Di sepanjang harinya tadi, Barra memang terus kepikiran dengan Kara. Ia terus saja terbayang-bayang dengan perubahan sikap ibu satu anak itu, sehingga hampir membuat beberapa pekerjaannya tadi di kantor menjadi kacau.
"Tapi Barra, ibumu pasti akan sangat marah karena kau lebih memilih wanita sepertiku. Ibumu pasti ingin melihatmu bersanding dengan wanita terbaik pilihannya, bukan aku." Kara kembali menunduk, sambil menatap dua tangan kekar Barra yang terus menggenggam erat tangannya. Takut, itulah yang tengah dirasakan oleh Kara saat ini. Kara takut jika di kemudian hari ia merasa menyesal dan sakit hati, karena telah nekat memutuskan untuk tetap bertahan dengan seorang Barra yang mana kehidupannya sudah terlihat sangat berbanding jauh terbalik dengannya."Aku akan merubah pikiran dan keputusannya, Kara! Aku akan terus berusaha membujuk, sampai ibuku mau memahami keinginanku dan menerima kehadiranmu dan juga Arka!" tukas Barra cepat seraya membuat kembali wanita itu kembali menatap ke arahnya."Kenapa kau bisa sangat yakin seperti itu, Barra? Bukankah kau belum tahu siapa ayah kandung Arka yang sebenarnya? Bagaimana ka—""Aku sudah tidak peduli lagi dengan masalah itu, Kara!" potong Barra kembali
"Ya ampun, Astaga!"Kara hampir saja berteriak kencang, ketika menyadari Barra yang ternyata tidur tak jauh dari sisinya. Pria itu ada di sebelah Arka yang masih terlelap, dengan salah satu tangan yang tengah dipeluk erat oleh anak lelakinya.Yang menjadi pertanyaan Kara, kapan Barra pindah tidur ke kamar ini? Seingat Kara tadi malam ia sendiri yang sudah menyiapkan selimut dan bantal untuk pria itu, dan kembali ke kamar seorang diri untuk menenangkan Arka yang baru menangis."Jangan terkejut, aku semalam ke sini untuk menenangkan Arka karena semalam dia sempat menangis terbangun lagi," jelas Barra seolah bisa menebak pikiran Kara."Menangis lagi? Tapi aku tetap tertidur?" tanya Kara sedikit tak begitu percaya.Sebenarnya bukan bermaksud menuduh Barra berbohong, akan tetapi hanya saja Kara merasa tak menyangka jika dirinya bisa tidak menyadari tangisan Arka. Biasanya, Kara selalu terbangun tepat setelah mendengar suara atau pun tangisan a
"Pfffttt!"Tawa karyawan yang ada di dalam ruangan pemotretan itu pun hampir pecah, berkat ucapan Arka yang sangat melengking dan cukup menohok Clarissa tersebut.Tanpa mau menanggung banyak malu lagi, Clarissa segera menghentakkan sepatu heels tingginya dengan kencang. Wanita itu langsung berjalan keluar, sambil bersumpah serapah di dalam hati."Hufftt! Awas ya kau anak kecil! Bisa-bisa kau membuatku malu seperti ini di hadapan Barra dan para karyawan yang lain!" geram Clarissa kian mempercepat langkah.Seperti biasa, Clarissa memang senang memakai baju yang cukup minim. Akan tetapi, tentu bukan karena kekurangan bahan alasannya. Gaya, itulah salah satu alasan terkuatnya. Ia selalu update dengan berbagai gaya terkini, terutama para seleb luar negeri yang selalu bebas berekspresi melalui pakaiannya."Thanks, Arka!" Barra mengecup senang rambut ikal anak kecil itu. Sementara Arka, anak kecil itu tak langsung menyahut. Bibirnya masih maju ke depan dengan ekor mata yang masih membututi
"Iya, Mom! Iya, dia saja yang menggangu lebih dulu. Sudah Mommy tenang saja, semuanya berjalan lancar kok!"Barra langsung mematikan teleponnya, setelah salah satu telinganya terus mendengar ocehan sang ibu yang menyampaikan kembali segala keluh kesah Clarissa. Ia tentu tak mau menanggapi lama, karena hampir semua yang disampaikan oleh Clarissa pada ibunya tentang Arka terlalu berlebihan.Untung saja Avaline masih mempercayai segala kata-kata Barra, sehingga wanita yang sering kali masuk ke dalam berita inspiratif itu bisa sedikit tenang dan tak terlalu menggebu-gebu. Selain itu Barra juga bisa membuktikan segala ucapannya dengan cara mengirimkan beberapa foto dan video Arka yang nampak sangat profesional di hari pemotretan pertamanya."Om Baik! Ada apa?" Arka bertanya sambil mendongak sempurna ke atas, dan satu tangan mungilnya yang memegangi celana panjang Barra."Tidak ada apa-apa, Sayang. Hanya ada sedikit kendala. Kita lanjut masuk ke dalam s
Kara langsung bisa mengenali harum aroma tubuh dari pria yang ada di hadapannya, meski nyatanya saat ini kedua matanya masih tertutup dengan sebuah sapu tangan sempat diberikan oleh Arka."Iya, ini aku Kara!" jawab pria tersebut seraya tersenyum dan menatap lekat wajah Kara dari dekat.Tanpa ragu lagi, Kara pun akhirnya segera menaruh salah satu tangannya di pundak kekar melakukan itu. Ia melakukannya karena pria tersebut semakin menarik pinggangnya mendekat hingga hampir tak memberikan jarak, seiring dengan semakin intimnya alunan musik indah yang menggema di taman restoran tersebut."Ini semua pasti idemu ya?" bisik Kara menebak pelan, tanpa sepengetahuan sang anak. Meski semuanya masih gelap dalam penglihatannya, akan tetapi Kara yakin kalau semua yang ada di sekitarnya sudah disiapkan dengan sangat baik.Dengan menarik satu sudut bibirnya ke atas, Barra sedikit menggeleng. Ia melirik ke arah Arka yang nampak sangat bersemangat melihatnya bersa
"Hey, sudah. Jangan menangis lagi, nanti Arka jadi sedih melihatmu seperti ini," ucap Barra seraya menyeka beberapa tetes air mata Kara.Saat ini Kara dan Barra memang sudah berdua. Barra sengaja lebih dulu menyuruh Arka untuk kembali ke tempat meja makan, karena menyadari Kara yang sedang berusaha menahan tangis di sampingnya. Ia terpaksa melakukannya, agar bisa menenangkan wanita itu terlebih dahulu sebelum nanti kembali berhadapan langsung dengan anak kecil tersebut."Barra, aku merasa sangat bersalah pada Arka. Dia seperti ini karena aku, aku yang—""Ssttt ... Sudah, Sayang! Itu semua tentu bukan karena kesalahanmu. Jadi tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri lagi, okay? Arka hanya mau melihatmu bahagia, bukan merasa bersalah atau pun sedih seperti ini," potong Barra cepat seraya mendekap erat tubuh Kara.Tumpah sudah tangis Kara yang tadi sempat ditahannya. Kedua bahu wanita itu semakin bergetar, kala mengingat kembali segala kata-kata Arka
"Bunda! Arka senang sekali hari ini! Terima kasih ya, Bunda!""Iya, Sayang! Sama-sama ya, bunda juga senang sekali karena sudah mendapatkan kejutan dari Arka hari ini," sahut Kara seraya mengecup pelan pipi tembam anak lelakinya.Arka mengangguk, seraya tersenyum. Sambil tiduran dan menatap langit-langit kamarnya, Arka tak bisa melupakan semua kebahagiaannya hari ini begitu saja. Ia senang bisa menghabiskan waktunya bersama sang bunda dan Om Baik kesayangannya seharian ini, karena baginya itu semua adalah momen yang sangat berharga."Bunda? Bunda suka enggak sama gelangnya? Itu yang milih Arka loh, dan Om Baik yang membayarkannya," ucap anak kecil itu seraya melihat ke arah sebuah gelang cantik yang telah melilit di tangan sang ibunda tiba-tiba."Tentu bunda suka dong, Sayang! Terima kasih ya, bunda suka sekali!" Kara kembali mengecup ujung rambut Arka seraya memeluknya dengan rasa kasih sayang. Kara benar-benar tak sabar menunggu kedatangan Barra, karena rencananya malam ini ia akan