"Siapa Anda? Anda tidak berhak ikut campur dengan urusan saya dan wanita ini!"
Tanpa membuka kaca mata hitamnya, pria itu hanya tersenyum miring. Kara yang masih membeku di tempatnya pun tak berkata apa-apa, otaknya masih bekerja mencoba mencari tahu tentang bagaimana pria tersebut bisa menemuinya di sini."Anda tidak perlu kenal saya! Sampaikan saja, berapa total yang harus wanita ini bayar?""Ap–apa? Anda mau membayarkannya?" tanya pemilik kontrakan terbata-bata."Ya! Anda meragukan saya? Sebutkan saja jumlahnya, dan akan segera saya transfer detik ini juga! Sejuta? Sepuluh juta? Seratus juta? Atau bahkan lebih?" tekan pria itu kian membuat nyali sang lawan bicara menciut.Tanpa banyak berbasa-basi, pria itu pun mengeluarkan ponsel hitam mahalnya. Ia membuka salah satu aplikasi perbankan yang ada di sana, dan segera menyuruh pemilik kontrakan tersebut untuk memasuki nomor rekeningnya sendiri dan jumlah uang yang harus dibayar."Apa? Lima Juta?" Kedua netra Kara membulat ketika melihat jumlah uang yang seharusnya. "Bukannya untuk total pembayaran bulan kemarin dan bulan ini hanya empat juta, Bu?""Itu buat biaya perbaikan, Kara! Memangnya kau pernah memperbaiki rumah ini sendiri? Aku lihat atap depan ini juga sudah bocor!"Kara menelan ludahnya dengan susah payah, bisa-bisanya sang pemilik kontrakan memanfaatkan keadaan yang seperti ini. Memang sih warna cat atasnya sudah terlihat sedikit kecoklatan, akan tetapi setahu Kara sudah dari awal ia tinggal di sini atap itu sudah bocor. Jadi, itu tentu bukan salahnya."Baiklah, kalau begitu urusanku di sini sudah selesai! Akan tetapi, kau ingat ya! Awas jika kau kembali telat membayar uang kontrakan bulan depan!""Ekhemm! Maaf Nyonya, Anda bisa saya tuntut jika terus mengancam Kara seperti ini!"Tak mau menambah masalah lagi, akhirnya si pemilik kontrakan itu pun segera kembali ke rumahnya.Sementara Kara, wanita itu segera mengusap gusar wajahnya. Masalahnya dengan sang ibu kontrakan memang sudah selesai, akan tetapi sayang sosok yang sudah datang membantunya ini malah semakin membuat kepalanya penat. Padahal baru saja ia hendak terlepas dari jeratan Barra, akan tetapi sekarang dirinya malah ditarik mendekat lagi olehnya."Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini? Kau mengikutiku sedari tadi ya? Lalu sekarang Arka dengan siapa?" tanyanya beruntun tanpa jeda."Tenang saja, Arka aman bersama para suster yang ada di sana! Aku sudah menitipkannya pada mereka," jawab Barra santai seraya melepaskan kacamata hitamnya.Akhh, pesona ketampanan Barra memang sungguh tak bisa ditampik lagi! Pria itu selalu saja mempunyai sisi yang menawan, termasuk ketika hanya sedang melepas kacamata."No, Kara! Come on, wake up!" jerit Bunda Arka tersebut di dalam hati.Tak lagi mendengar suara di sekitarnya, Kara pun terkejut ketika menyadari pria itu sudah masuk lebih dulu ke dalam rumahnya. Ia jadi seperti tamu di tempat tinggalnya sendiri, karena Barra terlihat terlalu nyaman di rumahnya untuk seorang tamu yang baru saja datang.Nyaman? Ya ... Kara lebih memilih bahasa yang terdengar halus itu, daripada bahasa cukup kasar seperti tidak tahu diri."Barra! Tunggu! Kenapa kau bisa dengan mudahnya mempercayakan Arka dijaga orang lain, padahal aku sudah menitipkannya padamu tadi!"Tak menjawab, Barra semakin berlalu begitu saja. Diam-diam Barra memang berusaha mencari tahu beberapa informasi tentang ayah kandung Arka melalui beberapa foto yang terpajang."Suster itu sudah kubayar, dia pasti menjaga Arka dengan baik!" sahut Barra yang akhirnya berbalik, sambil memejamkan kedua matanya sesaat. Nihil, itulah hasil yang didapatkannya."Uang tidak bisa menjamin sikap seseorang, Barra!""Tetapi setidaknya seluruh orang membutuhkan uang, Kara. Semua orang akan rela melakukan apa pun untuk mendapatkan hal—""Nah, itu! Bagaimana jika orang itu hanya berpura-pura mengiyakan semua perintah kita hanya untuk mendapatkan uang?" potong Kara langsung dengan yakin.Sebagai seorang ibu yang membesarkan anaknya sendiri, Kara memang tak bisa dengan mudah percaya orang lain. Menurutnya tak akan pernah ada orang lain yang dapat merawat anaknya dengan baik, selain dari dirinya sendiri."Aku jamin dia tidak akan berani aneh-aneh dengan Arka," jelas Barra yang terlihat sudah mulai sedikit frustasi."Tapi kau bukan Tuhan, Barra!" sahut Kara dengan kedua alis yang semakin menukik tajam.Hufftt! Seperti ini rasanya jika berhadapan langsung dengan seorang wanita?"Baiklah, aku memang bukan Tuhan yang bisa memastikannya. Akan tetapi setidaknya, mereka pasti tidak akan berani bermasalah dengan seorang Barra Piterson!"Brukkk!Lelah berdebat, pria itu akhirnya terpaksa memojokkan Kara pada tembok. Kali ini Barra kembali memanfaatkan aura intimidasinya yang terlihat sangat menyeramkan, hingga membuat mulut bawel wanita itu bungkam."Ap–apa yang ingin kau lakukan, Barra?! Jangan macam-macam! Ini masih tempat tinggalku, walau kau sudah membayar uang kontrakannya selama dua bulan!""Justru karena ini di rumahmu aku bisa jadi macam-macam, Kara!" bisik Barra, hingga membuat seluruh tubuh Kara merinding.Belum cukup membuat Kara terdiam, Barra tersenyum jahil dengan salah satu tangan kekarnya yang mulai menyusuri bahu wanita itu."Bar—""Ssttt! Kedua telingaku sakit mendengar segala ocehanmu, Kara! Tidak bisakah kau bilang terima kasih saja padaku? Bahkan kita seperti pasangan suami istri yang sedang ribut!"Pasangan suami istri? Akh, Kara sungguh tak mau membayangkannya. Bisa dipastikan bahwa setiap hari ia akan terus ditekan dan dipojokkan seperti ini oleh Barra."Baiklah, kembali lagi ke topik yang ingin kusampaikan padamu! Aku punya satu tawaran!" lanjut pria itu serius, tanpa memberikan jarak sedikit pun pada Kara. "Kau tidak mau aku terus mencari tahu tentang siapa ayah kandung Arka yang sebenarnya 'kan?"Kali ini Kara mengangguk dengan pelan, sambil menahan dada bidang Barra yang terus mendekat dan berusaha sebisa mungkin memundurkan wajahnya."Oke! Kalau begitu bagaimana kalau sekarang kau harus menerima seluruh bantuan dan juga mengikuti segala perkataanku, agar aku tidak terus mencari tahu ayah kandung Arka atau pun melakukan tes DNA dengan anakmu?""Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar