Share

Takut Dilupakan

"Sebaliknya kau jangan salah sangka, Barra! Aku memang pertama kali melakukannya denganmu, tetapi itu bukan berarti aku tidak pernah melakukannya dengan berbagai pria lain di luar sana setelahnya!"

Salah satu alis tebal Barra terangkat, sedikit terkejut dengan ucapan yang cukup frontal dari wanita yang kini tengah menatapnya dengan berani.

"Jangan pernah tertipu dengan penampilanku, Barra! Aku tidak sebaik yang kau pikirkan!" lanjut Kara menambah dengan penuh penekanan.

Kara memang berusaha mengerahkan segala alasan yang terlintas di dalam benaknya saat ini. Di dalam hati, ia berharap agar Barra segera percaya dan menjauh dari kehidupannya bersama Arka.

"Oke, kalau begitu siapa ayah kandung anakmu yang sebenarnya? Coba kau bawa orang itu tepat ke hadapanku, agar aku bisa segera mempercayai semua kata-katamu!"

"Tidak bisa! Dia sudah lama aku anggap mati!" jawab Kara cepat seraya menatap lekat dia manik mata coklat di hadapannya.

Mendengar jawaban itu, Barra jadi tersenyum. Meski tatapan Kara sedang sangat menusuk tajam ke arahnya, entah kenapa di dalam hatinya terasa lain. Di matanya saat ini, wanita itu terlihat lebih menarik berkali-kali lipat saat ini.

"Heumm, baiklah! Kalau begitu untuk sementara ini aku anggap kau sudah berbohong!" sahut Barra yang berhasil membuat mulut Kara terbuka lebar.

"Apa?! Kau pikir ak—"

"Ssttt! Jangan buang-buang energimu, Kara! Aku akan percaya, setelah kau membawa orang itu tepat di hadapanku! Sudah cukup itu saja, simpel bukan?" potong Barra cepat seraya mencubit gemas pipi chubby di hadapannya.

Setelahnya tanpa membiarkan Kara berbicara lagi, Barra pun langsung merangkul bahu wanita itu dari belakang. Walau Kara telah berontak dan berusaha menjauh, tetapi ia tak peduli. Barra terus saja melangkah memasuki kamar rawat Arka, dan menyapa anak kecil itu setelahnya dengan sangat akrab.

"Kau bukan pembohong yang handal, Kara! Aku bisa merasakannya!" bisik Barra tepat sebelum melepaskan wanita itu dari rangkulannya.

Kara tak lagi menjawab, wanita itu hanya mendengkus pelan saja sambil memeriksa detak jantungnya dari luar. Apa mungkin Barra menyadari degup jantungnya yang amat kencang ini? Akhh, berada di dekat pria itu memang tak pernah bisa membuatnya tenang! Jantungnya pasti selalu saja berdebar, seolah berada di dekat singa buas!

"Bunda, kenapa diam di sana? Ayo ke sini, Bunda!" tegur Arka yang menyadari lamunan sang ibunda.

Dengan mencoba mengulas senyum terbaiknya, Kara pun akhirnya ikut maju. Di depan Arka, Kara memang harus lebih memperhatikan segala gerak-geriknya. Kara tak mau kewalahan menanggapi pertanyaan kritis anaknya nanti, apalagi jika Arka sampai menyadari bahwa dirinya dan Barra baru saja selesai beradu mulut.

"Heumm, sepertinya tadi ada yang mau main?" ucap Barra yang langsung mengambil alih perhatian.

"Arka! Arka mau, Om Baik! Om Baik harus main sama Arka!"

Dengan bersorak-sorai gembira, Arka langsung mengangkat kedua tangan mungilnya tinggi-tinggi ke atas. Wajah ceria yang biasa membuat Kara tersenyum itu, entah kenapa kini malah membuat Kara merasakan perasaan lain yang membuat suasana hatinya berubah menjadi mendung.

Tidak, tidak mungkin 'kan kalau Barra akan secepat ini mengambil semua perhatian anaknya? Arka tidak akan mungkin melupakan dirinya begitu saja hanya karena kehadiran pria itu bukan?

Kara terdiam, memikirkan semuanya. Dari tempatnya saat ini, ia hanya bisa memperhatikan Arka yang tertawa senang ketika berada di atas kedua bahu kekar Barra. Anak kecil itu seolah sangat menikmati berada lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang sekitarnya, hingga tak terlihat sama sekali seperti orang yang sedang sakit

"Oke! Kalau begitu sekarang kita langsung ke taman!"

"Yeayy! Arka mau! Ayo, Om! Ayo kita ke sana! Arka mau terbang!" sahut sosok mungil itu seraya merentangkan satu tangannya ke depan layaknya kartun pahlawan super yang biasa di tonton olehnya.

***

Tak terasa tiga hari sudah berlalu. Pemandangan Arka yang bermain dengan Barra, kini bukan pemandangan asing lagi bagi Kara. Walau hanya tiga hari, baginya itu terasa bagai bertahun-tahun.

Kara benar-benar takut dilupakan. Terlebih semakin hari Arka kian menaruh perhatiannya pada pria yang notabene ayah kandungnya tersebut, hingga anak lelaki yang biasa sangat perhatian padanya itu sama sekali tak menyadari kepergiannya saat ini yang ingin pulang sebentar untuk mengambil beberapa keperluan di rumah.

"Akhirnya kau muncul juga, Kara!"

Kara tersentak, seraya berbalik ke arah seseorang yang baru saja berbicara padanya. Niat hati mau pulang sebentar untuk mengambil beberapa keperluannya, Kara malah langsung dihampiri oleh sang pemilik kontrakan yang sedari kemarin terus menghubunginya untuk menagih uang kontrakan yang tertunggak.

"Kapan kau akan melunasi uang sewa kontrakanmu? Ingat, Kara! Kau sudah menundanya hampir setengah bulan! Jadi lebih baik kau lunasi sekarang, sebelum rumah ini aku kontrakan pada orang lain!" ujar sang pemilik kontrakan seraya bertolak pinggang.

"Bu, saya ... Saya mohon perpanjangan waktunya lagi ya, Bu? Arka masih—"

"Apa?! Perpanjangan waktu lagi?! Tidak! Itu tentu tidak bisa, Kara! Saya tahu kau tidak punya suami, tapi saya butuh uang saya!" potong pemilik kontrakan itu dengan tajam.

Dengan menunduk malu, Kara pun berusaha menahan laju air matanya. Ia tahu ini adalah kewajibannya, akan tetapi tentu dirinya tak bisa membayar begitu saja karena uang yang dimilikinya tak mencukupi. Sebenarnya bagaimana bisa cukup, selama Arka dirawat di rumah sakit saja dirinya belum sempat membuat roti dan menjualkannya ke beberapa tempat.

"Bu, maaf! Sekali lagi saya minta maaf! Saya tahu saya salah karena sudah menunggak yang sewa kontrakan, akan tetapi sampai saat ini Arka masih dirawat di rumah sakit, Bu! Anak saya masih di sana, sehingga saya belum bisa menjual roti seperti biasa!" lirih Kara memohon.

"Tidak bisa, Kara! Seperti yang telah saya bilang tadi! Kau harus membayarnya, atau kau harus pergi dari rumah ini! Aku sudah cukup sabar menunggu! Waktu kau sudah benar-benar habis! Jadi—"

"Ekhemm! Ada apa ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status