Setengah jam kemudian,Pintu utama apartemen terdengar terbuka. Maudy yang pikirannya sedang berkelana, segera tersadar. Suara langkah yang familiar membuatnya yakin bahwa itu Arya. Dengan cepat, ia memutuskan untuk berpura-pura tidur.Langkah kaki Arya terdengar semakin dekat, menandakan pria itu sedang menuju kamar mereka. Maudy memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.Sesaat kemudian, ia merasakan kecupan di keningnya.“Maaf ya, Maudy... Aku lama keluarnya,” Bisik Arya pelan, tak ingin mengganggu tidur Maudy.Setelah itu, tanpa suara lagi, Arya berjalan menuju kamar mandi.Begitu pintu kamar mandi tertutup rapat, Maudy membuka matanya perlahan. Pandangannya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, pikirannya berputar dengan perasaan yang sulit diungkapkan. ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Dalam diam, ia merenung, berusaha mencari jawaban.Setelah beberapa saat merenung, akhirnya Maudy menghela napas panjang dan memu
“Udah lah, Mas. Mandi gantian aja, ya?” Ujar Maudy.Di luar, Arya mendesah kecewa. “Tapi, Maudy...” ucapnya dengan nada memelas, sebelum akhirnya menyerah. “Ya udah deh...”Ketukan pintu berhenti. Maudy menghela napas lega, merasa bebannya sedikit terangkat. la memandang bayangannya di cermin, merasa aneh dengan sikapnya sendiri.Sejujurnya, ia tahu rasa malu ini tak seharusnya ada lagi, tapi entah kenapa ia belum bisa sepenuhnya nyaman.“Aku tau ini dosa... Tapi aku belum siap,” bisiknya pelan pada dirinya sendiri.Setelah menenangkan diri, Maudy berdiri di bawah kucuran air shower, membiarkan air hangat mengalir deras di atas kepala, membasahi seluruh tubuhnya.Setelah beberapa saat, Maudy akhirnya selesai mandi. la meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya sebelum mengenakan pakaian bersih yang telah ia siapkan.Namun, saat kembali ke kamar, ia mendapati ruangan itu kosong. Arya tidak ada di sana. Dengan alis berkerut, ia memeriksa ruangan lain, ruang keluarga, dapur, bahkan balkon.
Jason mengangguk, “Iya...” Jawabnya singkat.Arya segera berjalan mendekati Jason yang duduk di sofa, “Isinya apa sih?” Tanyanya penasaran.“Aku juga gak tau. Cuma, pas aku buka kotak itu, ada tulisannya, untuk Maudy. Sepertinya sebelum Jasmine meninggal, dia memang sengaja nyiapin ini untuk Maudy!” Jelas Jason.“Jadi, kamu pikir aku harus kasih ini ke Maudy?” Tanya Arya, menatap kotak itu yang tampak begitu berharga.“Walaupun aku juga gak tau ini isinya apa, tapi siapa tau bisa buat hubunganmu dengan Maudy menjadi lebih baik.” Sementara itu,Maudy yang berada di dalam kamar memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Feby.Setelah beberapa saat, panggilan terjawab, dan suara ceria Azzam langsung memenuhi telinganya.[Assalamu'alaikum, Mama...]“Wa'alaikumsalam, sayang. Azzam mau ke mana sama Tante dan Oma?” Tanya Maudy tersenyum, melihat gambar putranya di layar ponsel yang sedang di dalam mobil.[Mau ke Timezone, Ma! Papa di mana, Papa gak pergi, kan?]“Papa lagi kerja
“Rumah kamu dan Kak Jasmine aja bagus, Mas. Jadi aku gak ragu sama hasil rumah yang kamu bangun sekarang,” Jawab Maudy tenang.Saat mendengar nama Jasmine, Arya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Tangannya yang memegang setir tiba-tiba mencengkeram lebih erat.Ia menelan ludah, merasa perlu menjelaskan sesuatu. “Maudy, aku...” Arya membuka mulut, ingin memastikan tidak ada salah paham di antara mereka.“Aku apa? Rumah kalian emang bagus kok. Aku suka taman di belakangnya. Boleh kan buat taman juga di rumah kita nanti?” Ungkap Maudy sambil kembali menatap ke luar jendela.Arya terkejut. Ia sempat berpikir jika Maudy mungkin marah atau cemburu, tetapi terdengar dari şuarya istrinya benar-benar biasa saja, seolah tak ada perasaan terselip di balik kata-katanya tadi. Istrinya bahkan terlihat begitu tenang, tak ada tanda-tanda cemburu di wajahnya.“Kamu lagi gak cemburu kan?” Tanya Arya hati-hati, mencari kepastian di balik sikap sang istri.Maudy mengernyit, bingung dengan
Setelah keluar dari kamar mandi, Arya mengusap wajahnya dengan handuk, mencoba menenangkan detak jantung yang masih tak beraturan.Matanya terarah pada Maudy yang sudah terbaring di ranjang, tubuh istrinya meringkuk dengan daster yang menyelubungi lekukan tubuhnya.‘Ya Allah, Maudy... Kamu kenapa siksa aku begini sih. Di ajak begituan belum mau, tapi malah... Hais!’ Batinnya.Arya menatap istrinya sejenak, lalu dengan cepat melangkah ke ranjang. Tanpa banyak berpikir, ia berbaring di samping Maudy.Rasa rindu dan keinginan untuk mendekat tak tertahankan, walau Arya tahu situasinya belum tepat.Perlahan, dengan sedikit ragu, satu tangannya terulur, menyentuh pinggang Maudy dan menariknya mendekat dalam pelukan.Maudy yang merasakan tubuhnya tersentuh, seketika menegang, ia berusaha menggeser sedikit, menghindar dari pelukan itu. “Mas...” ucapnya pelan, jelas terdengar penolakan dalam suaranya.Tapi Arya, yang sudah merindukan kehangatan ini terlalu lama, tak melepaskan begitu saja.Pel
Meski mereka sudah menikah, mendengar kata-kata cinta dari Arya malam ini membuat jantung Maudy berdetak begitu cepat.“Aku tau aku udah banyak salah. Aku pernah mengecewakanmu... Tapi aku janji, Maudy. Aku gak akan berhenti berusaha sampai kamu bisa mencintaiku lagi, seperti dulu!”“Mas... Aku... Aku nggak tau harus bilang apa.” Jawab Maudy lirih.“Kamu gak perlu bilang apa-apa sekarang. Aku cuma mau kamu tau, aku akan terus ada di sini. Aku akan terus berjuang buat kita. Buat keluarga kita!” Ujar Arya lagi dengan tegas.“Jika ternyata aku gak bisa lagi mencintaimu? Bagaimana?” Tanya Maudy tiba-tiba.“Asal kamu tetap di sampingku, maka aku anggap itu jauh lebih baik daripada kita berpisah.”Maudy tidak berani berkata-kata lagi. Ucapan Arya terlalu dalam hingga rasanya mampu menyirami hatinya.Setelah menghabiskan malam yang cukup tenang di taman kota, Arya dan Maudy akhirnya tiba di apartemen.Saat Arya baru saja akan menutup pintu, ponselnya bergetar di saku. Melihat nama Jason tert