Hari terus bergulir dan berganti, akan tetapi Rinai masih saja digantung tanpa tali oleh suaminya—tidak diceraikan, juga tidak disentuh sama sekali. Tinggal serumah, tapi tidak lagi sekamar.Makin hari, Kala makin menjaga jarak dengan istrinya. Dan itu sudah berlalu hampir sebulan lamanya, sejak Kala dan Lisa kepergok oleh Rakha. Pikirannya selalu ingin menyakiti Rinai dengan diamnya, bersikap dingin seakan tak lagi mendambakan Rinai sebagai pendamping hidupnya."Hari ini aku harus temani Rakha ke Bandung, ada meeting di hotel milik keluarganya," beritahu Rinai meskipun dia yakin, bahwa Kala tidak sepeduli itu dengannya.Sesuai dugaan Rinai, suaminya sama sekali tidak menanggapinya. Pria itu tampak sibuk dengan layar gawainya, dan sesekali akan tersenyum manis entah karena alasan apa—bukan untuk Rinai tentunya.Melihat perubahan sikap Kala yang seperti ini, terkadang membuat Rinai makin lelah untuk terus mendampingi lelaki itu. Tapi setiap kali Rinai membahas perceraian, Kala selalu m
"Tumben banget kesiangan, Nai."Rinai yang sedang merapikan pakaiannya di depan pintu itu pun, langsung berjengit kaget mendengar Rakha menegurnya. Perempuan itu langsung menoleh ke arah Rakha yang pagi berpakaian begitu rapi, rambut yang disisir rapi ke arah samping—ditemani senyum kecil yang begitu jarang ia pamerkan, kecuali di hadapan Rinai.Bahkan, setiap kali pegawai lain menceritakan tentang boss mereka yang dingin, arogan, dan galak—Rinai selalu ingin menyangkalnya, sebab Rinai tidak pernah melihat sosok seperti itu pada diri Rakha. Di mata Rinai, Rakha adalah pria hangat dan juga ramah."Kamu lagi sakit, ya?" tanya Rakha menatap khawatir saat menempelkan punggung tangannya di kening Rinai, terlihat jelas ada kekhawatiran pada manik matanya. "Kalau sakit, kamu bisa cuti aja padahal…"Enggan dijadikan bahan gosip di kantor, Rinai pun bergegas untuk menepis tangan Rakha dan langsung menggeleng. "Aku nggak sakit kok, cuma…" Rinai sengaja menggantung kalimatnya, tengah menimbang-n
Sesekali, Rinai mencuri pandangan ke arah Rakha yang duduk di sampingnya. Lelaki itu terlihat begitu gelisah dan juga sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya. Namun, tampaknya panggilan itu tidak mendapat respons hingga Rakha terdengar menghela napas berulang kali.Rinai semakin dibuat penasaran, sebab setahu Rinai… Rakha belum pernah menikah, oh, atau jangan-jangan Rakha memang sudah menikah begitu hubungan mereka berakhir?Entahlah, makin Rinai pikirkan, Rinai justru makin merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Nggak mungkin kalau yang ada di hatinya ini adalah rasa cemburu, bukan? Ah, nggak mungkin kok. Rinai terus menepis dan menyangkal hal aneh itu dari dalam kepalanya."Kha," panggil Rinai setelah menimbang-nimbang, bahkan hampir dua puluh menit perjalanan mereka menuju kediaman mewah milik keluarga Rakhayasa, keduanya tak saling bersuara.Rakha menoleh ke arah Rinai, tatapan mata mereka bertemu dan Rinai menemukan kesedihan di manik lelaki itu."Waradana itu…""Anakku,"
"Kalau mamamu tahu siapa aku yang sebenarnya… aku yakin, senyum itu bakal pudar dan aku akan kembali dibenci, juga dijauhi."Rakha yang sedang berjalan di samping Rinai itu pun dengan refleks menoleh ke samping, melirik Rinai yang juga menoleh kepadanya. Lantas, senyum kecil terbersit di sudut bibir Rakha seiring tangannya yang terulur untuk mengacak puncak kepala perempuan itu. "Mamaku nggak kayak gitu kok," ujar Rakha menenangkan Rinai.Namun, kalimat itu tentu saja tidak serta merta membuat hati Rinai tenang. Sebab Rinai tahu, mantan wanita panggilan sepertinya akan tetap dipandang hina dan kotor—terlepas dari alasan apapun yang membuatnya masuk ke lubang itu."Kalau mamaku terbukti nggak ilfeel sama kamu…" Rakha melirik Rinai dan kembali tersenyum saat menambahkan, "kamu mau tinggalkan Kala dan menikah sama aku, memangnya?" goda Rakha yang langsung menuai satu cubitan di lengannya."Dasar," celetuk Rinai.Rakha hanya terkekeh. Langkah mereka berdua terhenti tepat di depan sebuah k
"Katanya mau berangkat subuh," celetuk Rinai saat Rakha baru keluar dari kamarnya pukul setengah delapan pagi.Sementara Rinai sudah bangun sejak pukul empat, buru-buru mandi dan mengganti pakaian (yang telah disiapkan oleh Rakha melalui ART rumahnya), entah kapan pria itu membeli semuanya untuk Rinai."Jangan gampang percaya kalau Rakha bilang dia bakal bangun subuh, Nai."Rinai langsung menoleh ke arah sumber suara, di mana perempuan paruh baya yang kemarin selalu memuji kecantikan Rinai itu berdiri. Tanpa pikir panjang, Rinai bergegas bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Hanim untuk menyalaminya dengan hormat."Bangun jam tujuh kayak sekarang aja udah prestasi yang luar biasa untuk seorang Rakhayasa Langit," sambung Hanim mengulum senyumnya karena berhasil membuat putra bungsunya mengerucutkan bibir dengan manja. "Ayo, Nai. Duduk lagi, kita sarapan dulu. Menghadapi anak mama yang super nyebelin ini butuh tenaga soalnya."Rinai mengangguk sungkan sebelum akhirnya duduk di ha
Are you happy to do this?”Langkah Rinai terhenti di ambang pintu kaca di hadapannya. Ia tahu pemilik suara di belakang punggungnya. Dengan aroma parfum yang khas dan juga sangat familier di hidungnya, tentu saja semua tidak terasa asing. Rinai terlihat enggan untuk berbalik. “Harusnya aku menanyakan hal ini,” sahutnya dengan malas.Kala tersenyum kecil, terlihat angkuh dan juga penuh kepuasan ketika membalik badan Rinai agar berhadapan dengannya. "Bagaimana rasanya melihat suami sendiri tengah bermesraan dengan wanita lain? Bagaimana rasanya menyaksikan suami sendiri memeluk dan mencium bibir wanita lain, Nai?" tanya Kala seakan tak punya perasaan.“Kamu serius sama pertanyaanmu itu, Kal?” Rinai justru ikut balik bertanya. “Aku nggak marah kok melihat bagaimana eratnya kamu memeluk Lisa. Aku nggak cemburu, justru aku jijik.”Dengan malas-malasan, Rinai melangkah menuju balkon, tempat di mana Lisa telah menunggunya. Mendorong dada Kala yang mencoba untuk menghalanginya. Dan Kala pun
Rinai terkekeh sembari memijat pelipisnya, mengamati tingkah Lisa yang menurutnya—kurang waras. Rinaj juga mengabaikan Kala yang meneriaki namanya hingga menggema di balkon tersebut."Kamu gila, Nai!" teriak Kala mendorong istrinya sebelum meraih tubuh Lisa yang masih terbaring di lantai. "Dasar saiko!"Lagi-lagi Rinai tergelak. "Ternyata begini ya… berurusan sama artis yang udah kebiasaan akting," celetuk Rinai tidak peduli dengan tatapan membunuh yang Kala layangkan kepadanya. "Dia yang sakiti diri sendiri, tapi berteriak seolah orang lain yang melukainya. Antara akting yang kelewat hebat atau otaknya yang udah nggak waras!"Kala menggeram kesal, lalu meminta manajer Lisa untuk segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Kala tampak begitu khawatir, pemandangan yang membuat perasaan Rinai bercampur aduk—kesal dan juga sedih ketika suaminya sendiri lebih percaya kebohongan Lisa dibanding dirinya."Urusan kita belum selesai," ucap Kala saat berpapasan dengan Rinai. "Kamu harus bayar tu
Kala menatap lekat-lekat ke arah Lisa yang tersenyum kepadanya. Ia pun membalasnya dengan senyum getir, meraih jemari perempuan itu untuk digenggam beberapa detik, sebelum akhirnya ia bawa ke bibir untuk mengecupnya lembut."Lie, aku minta maaf atas tindakan bodoh istriku," ungkap Kala setengah berbisik, namun terdengar begitu tulus.Lisa kembali tersenyum dan mengusap rahang penyanyi solo tersebut dengan tangannya yang bebas dari perban. Usapan lembut yang berhasil menghanyutkan Kala hingga kedua matanya memicing, menikmati momen ini dengan suka rela."Kamu nggak perlu minta maaf," ujar Lisa dengan lembut. "Mungkin Rinai salah paham dan kelewat cemburu. Dan juga mungkin… ini cara Rinai mengekspresikan rasa cemburunya itu dan aku anggap tindakannya masih manusiawi kok.""Tapi dia hampir aja mencelakai kamu, Lie…""That's okay," sela Lisa. "Anggap aja ini hukuman untukku."Mendengar nada lirih dan penuh rasa bersalah yang meluncur dari bibir Lisa—rasanya Kala ingin memeluk perempuan it