"Biasanya klien yang menunggumu sekarang justru sebaliknya," goda pria yang duduk di seberang Rakha sembari menatap jam di pergelangan tangannya sebelum menambahkan, "Bahkan kita udah duduk di sini hampir satu jam loh, Pak Boss."Rakha mengalihkan pandangannya dari iPad yang sejak tadi terus ia gulir, menatap ke arah sahabat yang merangkap sebagai asisten pribadinya tersebut. Tatapan datar dan seperti tak acuh."Kamu yakin… kalau pujaan hatimu akan datang, Boss?" ledeknya lagi, tak peduli kalau Rakha akan memelototinya atau melempar gelas berukuran tall yang berisi malt brew tersebut kepadanya. Septianegara tetap terkekeh, bahkan saat Rakha hanya melengos saja. "Risiko cinta bertepuk sebelah tangan, jadinya ya begitu… kamu sendiri yang menderita, kangen tapi nggak pernah bisa mengungkapkannya. Ujung-ujungnya juga sakit hati sendiri, kan?"Rakha menghembuskan napas perlahan. "Sep, kamu kebanyakan ngomong dari tadi," katanya dengan datar."Tapi apa yang aku bilang, sepenuhnya bener kan?
"Keputusan gila apa yang sudah aku ambil hari ini?" tanya Rinai pada dirinya sendiri.Perempuan itu terus saja bergumam sendiri sejak tadi, dia yang tanya dan dia jugalah yang akan menjawabnya. Setelah menerima lamaran Rakha, ada rasa bersalah yang sejak tadi menggigit hati Rinai. Bagaimana tidak, Rinai tahu apa yang ia lakukan ini adalah dosa—perempuan yang masih bersuami diharamkan untuk dipinang apalagi menerima pinangan.Rinai memang bukan ahli surga atau perempuan yang terlalu taat pada agama juga, tapi hal kecil seperti itu Rinai mengetahuinya.Suara ketukan pada pintu kaca Rolls Royce yang ditumpangi Rinai saat ini berhasil menyentaknya hingga terperanjat. Kedua bola matanya memutar dengan refleks saat lelaki yang setengah jam yang lalu menyematkan cincin berlian di jemarinya tersebut masuk ke dalam mobil.Sekilas, Rinai mengamati wajah dingin dan datar milik Rakha. Tampaknya, Kala membuat pria ini marah dan juga kesal. Rinai mulai menerka-nerka, sebesar apa perdebatan di antar
"Nai, pulang bareng aku!" murka Kala saat pintu Rolls Royce milik Rakha terbuka lebar, membuat pria itu bisa melihat bagaimana eratnya jemari CEO tersebut menggenggam tangan istrinya. "Turun… kamu ikut aku!" tambahnya.Di tempat duduknya, Rakha menghembuskan napas dengan kasar dan berkomentar, "Kamu nggak takut kalau kamera wartawan yang tadi sengaja kalian panggil bakal rekam adegan ini? Kamu nggak khawatir kalau media bakal lihat Rinai naik mobilmu?"Kala terdiam sejenak, menimbang-nimbang ucapan Rakha yang sepenuhnya benar. Kala tidak mungkin akan menyia-nyiakan semua rancangan media play yang telah ia jalani sampai sejauh ini, kalau saja ada yang menyadari keberadaan Rinai di sisinya."Udah, kamu pulang bareng Lisa aja sana." Rakha mencebikkan ujung bibirnya. "Aku dan Rinai masih ada urusan yang lain.""Nggak bisa," bantah Kala tidak setuju. Dia beralih menatap Rinai yang juga tengah menatapnya. "Nai… kamu pulang sekarang, terserah mau naik taksi atau Go-Car juga nggak apa-apa, as
"Mungkin ini akan terdengar gila dan aneh… tapi kamu yang membuat semua menjadi serumit ini, Kal…""Tapi bukan berarti kamu harus pergi dari rumah ini dan tinggal di apartemen milik Rakha juga, Nai…," protes Kala kembali menaikkan oktaf suaranya. "Nggak harus tidur bareng dia juga!"Mendengar tudingan Kala tersebut, tentu saja Rinai tergelak karenanya. Jika Rinai mengatakan akan tinggal di apartemen Rakha—bukan berarti Rinai dan Rakha akan tinggal dan tidur bareng juga, kan?Namun, Rinai memilih untuk tidak menanggapinya. Rinai merasa begitu penat untuk menjelaskan lebih panjang lagi pada Kala, semua akan percuma dan hanya buang-buang waktu saja. Sikap keras kepala dan egois Kala seakan telah mendarah daging, hingga sekeras apapun usaha Rinai untuk menjelaskan—dipastikan Kala akan tetap dengan pemikirannya sendiri.Mereka terdiam untuk beberapa menit, hingga akhirnya terdengar helaan nafas panjang yang meluncur dari bibir Kala, sebelum tangannya terulur untuk menyugar rambutnya sendir
"Mas, cold brew malt-nya satu ya.""Lie, aku mau kita menikah."Lisa yang baru saja memesan minuman favoritnya itu cukup terkejut mendengar Kala membisikkan kalimat itu di telinganya—pernikahan juga sempat menjadi wacana sepintas lalu yang pernah disarankan manajer dan juga staf dari agensinya.Meskipun hubungan mereka hanya sebatas media play, tapi sadar atau tidak, mereka jadi lebih intens dalam berinteraksi di luar urusan pekerjaan. Dan sejujurnya, Lisa pun menyukai putra tunggal dari pemilik agensi di mana dia terikat kontrak selama tujuh tahun ini.Perempuan mana yang tidak akan tertarik dengan Kalantara Kafeel, pelantun lagu yang selalu berhasil membuat penggemar merasa hanyut dalam luka dan kesedihan dalam setiap lagu yang dinyanyikan, juga penyanyi dinanti-nanti oleh penggemarnya sepanjang waktu."Bisa lebih privasi lagi nggak sih, bahas hal sebesar ini?" balas Lisa setelah membiarkan Kala menyelesaikan pembayaran, lalu berdiri di pinggir counter di mana biasanya barista akan
Tersungging senyum di wajah Lisa saat melihat bagaimana menggebunya hasrat Kala bersamanya. Apalagi saat satu tangan pria itu meremas kuat dadanya sedari tadi, saat pintu unitnya terbuka.Ternyata menaklukkan seorang Kalantara tidak sesulit yang Lisa bayangkan sebelumnya, dia pikir Kala memang begitu setia pada istrinya. Bahkan pria itu rela menentang perintah Shakira hanya demi menikahi Rinai yang tak lain adalah seorang wanita panggilan saat itu."Berhentilah sebelum aku melarangmu untuk berhenti.""Kenapa?" Kala mengangkat wajahnya dari belahan dada Lisa yang tengah ia jelajahi sejak beberapa menit yang lalu dan jujur saja, dia belum puas menikmatinya.Lisa membuka kancing kemeja Kala satu per satu, gerakan lambat tapi Kala mengamatinya dengan tatapan tajam. "Karena aku nggak mau kamu berhenti, saat aku justru makin menginginkannya. Kamu bisa berhenti sekarang atau nggak sama sekali—argh, damn it!"Kala terkekeh pelan saat Lisa—perempuan yang baru saja mendesah sambil memaki, saat
Hari terus bergulir dan berganti, akan tetapi Rinai masih saja digantung tanpa tali oleh suaminya—tidak diceraikan, juga tidak disentuh sama sekali. Tinggal serumah, tapi tidak lagi sekamar.Makin hari, Kala makin menjaga jarak dengan istrinya. Dan itu sudah berlalu hampir sebulan lamanya, sejak Kala dan Lisa kepergok oleh Rakha. Pikirannya selalu ingin menyakiti Rinai dengan diamnya, bersikap dingin seakan tak lagi mendambakan Rinai sebagai pendamping hidupnya."Hari ini aku harus temani Rakha ke Bandung, ada meeting di hotel milik keluarganya," beritahu Rinai meskipun dia yakin, bahwa Kala tidak sepeduli itu dengannya.Sesuai dugaan Rinai, suaminya sama sekali tidak menanggapinya. Pria itu tampak sibuk dengan layar gawainya, dan sesekali akan tersenyum manis entah karena alasan apa—bukan untuk Rinai tentunya.Melihat perubahan sikap Kala yang seperti ini, terkadang membuat Rinai makin lelah untuk terus mendampingi lelaki itu. Tapi setiap kali Rinai membahas perceraian, Kala selalu m
"Tumben banget kesiangan, Nai."Rinai yang sedang merapikan pakaiannya di depan pintu itu pun, langsung berjengit kaget mendengar Rakha menegurnya. Perempuan itu langsung menoleh ke arah Rakha yang pagi berpakaian begitu rapi, rambut yang disisir rapi ke arah samping—ditemani senyum kecil yang begitu jarang ia pamerkan, kecuali di hadapan Rinai.Bahkan, setiap kali pegawai lain menceritakan tentang boss mereka yang dingin, arogan, dan galak—Rinai selalu ingin menyangkalnya, sebab Rinai tidak pernah melihat sosok seperti itu pada diri Rakha. Di mata Rinai, Rakha adalah pria hangat dan juga ramah."Kamu lagi sakit, ya?" tanya Rakha menatap khawatir saat menempelkan punggung tangannya di kening Rinai, terlihat jelas ada kekhawatiran pada manik matanya. "Kalau sakit, kamu bisa cuti aja padahal…"Enggan dijadikan bahan gosip di kantor, Rinai pun bergegas untuk menepis tangan Rakha dan langsung menggeleng. "Aku nggak sakit kok, cuma…" Rinai sengaja menggantung kalimatnya, tengah menimbang-n