"Uuhh..."
Hazel melenguh, membuka mata, iris matanya yang hijau tampak buram ketika dia mencoba membuka matanya lebih lebar menyisir keadaan ruangan."Kenapa tubuhku terasa begitu nyeri?" keluh Hazel mencoba menggerakkan tubuhnya. "Aduh, tubuhku seperti di amuk separuh penduduk kota." Hazel mencoba mengangkat kepalanya.Saat dia menoleh ke samping, pupil matanya membelalak melihat Jonathan tidur di sampingnya dalam penglihatan yang tidak baik. Sontak, kepala Hazel mundur dengan refleks.Dengan panik, tangan Hazel meraba area meja kecil di samping tempat tidur. "Kacamataku," dia tampak panik.Akan tetapi, ia tidak menemukan kacamatanya. Hazel merasakan detak jantungnya meningkat, kepanikan semakin menjadi. Wanita itu mengingat-ingat, mencoba mengumpulkan potongan-potongan memori yang kabur dari malam yang sudah berlalu."Astaga, aku tidak percaya jika aku melakukannya dengan atasanku sendiri." Hazel menggigit bibir, gelisah. Dia ketakutan.Semalam, bukan hanya satu kali Hazel dan atasannya melakukan hubungan terlarang itu. Tapi, sampai empat kali. Setelah di tepi kolam, mereka berdua melanjutkan hubungan terlarang itu di kamar Jonathan."Aku benar-benar sudah gila. Setelah ini, aku mau meletakkan wajahku di mana? Apakah wajahku harus aku sembunyikan di bawah kerak bumi?!" Hazel menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu.Wanita itu merasa seakan-akan tenggelam dalam lautan rasa bersalah dan keputusasaan. Dia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar."Aku harus segera pergi dari sini sebelum Jonathan bangun!" Hazel menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Degh!" dia harus kembali tercengang saat melihat tubuhnya yang polos penuh dosa."Bodoh, mengapa kau begitu murahan, Hazel?" Hazel mengutuk dirinya sendiri atas apa yang terjadi di dalam dirinya. "Cukup, saat ini, bukan untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Sekarang waktunya aku harus pergi dari sini.""Haaa..."Hazel menghela nafas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatannya. Dengan keadaan tubuh yang masih terasa seperti diremukkan, Hazel bergerak perlahan-lahan, berusaha turun dari tempat tidur sebelum Jonathan terbangun."Ya... Ampun, kacamataku hilang. Dan pakaianku entah kemana," gumam Hazel. Dia merasa seakan -akan tertimpa kesialan yang tidak ada habisnya.Ketika kemelut pikirannya berkecamuk, sorot mata Hazel yang buram namun masih dapat melihat pun tertuju ke arah lemari pakaian yang berada di dalam kamar mewah itu."Semoga ada pakaian yang bisa aku pakai," bisik Hazel, berusaha turun dari tempat tidur tanpa membuat suara apapun. Dia merasa seperti seorang pencuri dalam rumah atasannya sendiri, dan perasaan itu membuat rasa bersalahnya kian bertambah.Setelah berjalan dengan sangat hati-hati, Hazel mencapai lemari pakaian. Wanita itu membuka pintunya dengan perlahan, berharap akan menemukan pakaian yang bisa dia pakai."Syukurlah, ada kemeja Jonathan di sini."Hazel merasa lega ketika matanya menangkap kemeja yang tampaknya bisa dia pakai. Cepat-cepat Hazel berpakaian, berusaha menutupi tubuhnya yang polos.Setelah berpakaian, Hazel merasa sedikit lebih baik. Meski kemeja yang dikenakan oleh Hazel menelan tubuh mungilnya."Demi Tuhan, semoga Jonathan tidak bangun sebelum aku berhasil keluar dari sini," bisik Hazel dalam hati sambil mencoba membuka pintu dengan sangat hati-hati. Setiap derit pintu terdengar bagai petir di telinganya yang panik. Akhirnya, pintu terbuka dengan pelan, dan Hazel melangkah keluar dari kamar dengan nafas lega."Nona, anda mau kemana?!"Hazel tersentak saat mendengar suara teriakan seorang penjaga Mansion. Hazel berhenti seketika, jantungnya berdegup kencang.Hazel menengok. "Maaf, saya harus pulang!" Kata Hazel yang langsung berlari.Sekuat sisa tenaga Hazel berlari, walaupun ia merasakan sakit di bagian intimnya. Namun yang lebih penting, ia harus pergi. "Kacamataku, tasku dan juga bajuku tentu dipinggir kolam. Ya ... Aku harus mengeceknya ke sana!" Hazel berlari dengan cepat ke arah kolam yang ada di halaman belakang Mansion.Sesampai di sana, dia berhenti untuk mencari kacamata, tas, dan bajunya yang ditinggalkan semalam. Hazel meraba-raba sekitar kolam dan perlahan-lahan menemukan barang-barang miliknya."Sudah kutemukan semuanya!" ucap Hazel lega sambil mengambil barang-barang itu. Wanita itu dengan buru-buru memakai roknya. Dan yang ia tinggalkan di sana hanya kemejanya saja.Sebelum melangkah, Hazel menatap ke arah mansion dengan perasaan cemas dan sedih. Dia tahu bahwa semua perbuatan yang dia lakukan dengan atasannya itu keliru dan tidak bisa diterima. Dia yang seharusnya dapat menghindari perbuatan terkutuk itu, namun dia terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kendalikan."Apakah setelah ini aku akan berhenti bekerja dan mengundurkan diri?" gumam Hazel. "Haaa..." Hazel membuang nafas panjang. "Nanti saja dipikirkan masalah pekerjaanku." Setelah itu, Hazel pun melangkah meninggalkan Mansion yang ia anggap sebagai mimpi buruk antara ia dan Jonathan.Sementara itu, Jonathan berdiri dengan piyama menatap kepergian Hazel dari kaca transparan di dalam kamarnya. "Buah persik yang manis, hanya aroma dari parfum murahanmu, aku bisa-bisanya terjerat oleh wanita Kacamata Kuda sepertimu, Hazel. Memalukan!" gumam Jonathan.Jonathan sudah mencoba mencari wanita yang bisa membuatnya bergairah. Namun, wanita-wanita di luar sana tampak biasa saja dan sama saja. Jonathan akan hilang selera setelah melihat tubuh wanita-wanita itu. Ia tidak akan segan-segan meninggalkan mereka tanpa melakukan hal yang lebih jauh.Namun... Tidak dengan Hazel, saat mencium bau parfum murahan dari sekretarisnya, seketika hasratnya memuncak dengan liar. Meski dia tidak tahu apa yang membuatnya begitu bergairah pada wanita yang sebelumnya membosankan baginya.Tok, tok, tok!Saat memperhatikan Hazel dari kaca jendela, ketukan pintu kamarnya berbunyi. "Masuk!" Perintah Jonathan.Carl, seorang bawahan Jonathan melangkah masuk. "Tuan, Nona Hazel—""Biarkan dia pergi. Jangan menahannya."Carl membungkuk. "Baik, Tuan. Saya permisi," kata Carl undur diri.Sorot mata biru jernih itu tidak lepas dari punggung Hazel yang semakin menjauh dari kediamannya."Kau tidak akan lolos dari genggamanku, Hazel. Kau yang datang menyerahkan takdirmu untuk aku permainkan." Jonathan bergumam sambil mencengkram buah persik di dalam genggaman tangannya, dan buah persik itu pun hancur di genggaman Jonathan.Tiba-tiba ponsel Jonathan berdering. Pria itu memutar tubuhnya dan melangkah ke arah meja kecil di mana ponsel Jonathan tergeletak. Dengan cepat, Jonathan mengambilnya dan melihat layar untuk melihat siapa yang menelepon. "Halo," sapa Jonathan."Halo, Jonathan. Apakah kau sudah siap-siap untuk menjemput Natasya? Segera, Jangan membuat calon istrimu menunggu terlalu lama di bandara."Dengan wajah yang selalu tenang, Jonathan melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul sepuluh pagi. Natasya akan tiba dalam waktu kurang dari dua jam.Jonathan menghela napas dan menjawab telepon tersebut, “Ya, aku akan segera menuju bandara untuk menjemputnya.”"Segera, Nathan!"Tanpa menjawab, Jonathan memutuskan sambungan teleponnya yang berasal dari ibunya itu. Pandangan Jonathan kembali teralihkan dengan buah persik yang sudah hancur di telapak tangannya."Hazel," gumam Jonathan dengan nada yang dingin, wajahnya dipenuhi dengan raut kepuasan yang jahat. "Tidak ada yang bisa melarikan diri dari Jonathan Parker."Dengan langkah mantap, Jonathan meninggalkan kamarnya menuju ruang tengah untuk sarapan dan menyiapkan diri menjemput Natasya, calon istrinya yang sudah menjadi jodohnya sejak ia kecil.Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt
Di desa terpencil yang kini menjadi tempat persembunyian Hazel dan Jonathan, pagi yang tenang membawa sedikit kedamaian setelah pelarian panjang. Matahari pagi mulai menghangatkan desa, tetapi Hazel masih tenggelam dalam kekhawatiran. Pikirannya tak henti-henti memikirkan ibunya, Amy, dan Carl yang mungkin masih bertarung di luar sana.Hazel duduk di depan rumah kecil yang mereka tinggali sementara, memandang hampa ke arah pepohonan yang bergerak pelan di kejauhan. Jonathan, yang duduk di sampingnya, meraih tangan Hazel, menggenggamnya erat.“Kita aman di sini, Hazel,” ujar Jonathan lembut. “Mereka takkan menemukan kita. Kamu harus percaya.”Hazel menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tahu, Jonathan. Tapi Ibu? Bagaimana dengan Carl? Aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Bagaimana nasib mereka setelah kita pergi?”Jonathan menghela napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. “Hazel, ibumu dan Carl kuat. Kita harus percaya mereka selamat. Kita sudah melakukan y
Sinar matahari perlahan mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Di puncak bukit kecil, Jonathan dan Hazel berdiri terdiam, menatap perbatasan kota yang akhirnya mereka capai setelah pelarian panjang dan berbahaya.Meski matahari menghangatkan kulit mereka, hati keduanya masih diselimuti kecemasan. Pikiran Hazel terus terbayang pada nasib Carl dan Amy, yang terjebak dalam arus sungai yang deras."Jonathan," suara Hazel terdengar bergetar, "bagaimana kalau mereka tidak berhasil keluar dari sungai?"Jonathan menoleh, menatap Hazel dengan penuh kelembutan. Dia tahu betul betapa besar kekhawatiran gadis itu. Meski mereka telah selamat, perasaan bersalah karena meninggalkan Carl dan Amy menghantui mereka berdua."Hazel," suara Jonathan tenang, tegas, "Carl dan ibumu adalah orang-orang yang tangguh. Kalau ada yang bisa bertahan, itu pasti mereka."Hazel menatapnya dengan air mata yang menggenang, tetapi tetap ada ketakutan yang dalam di matanya
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang familiar. "Carl?" kata Jonathan dengan kaget.Carl tersenyum lega. "Syukurlah aku menemukan kalian."Hazel berdiri. "Bagaimana bisa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya di rumah?"Carl menggeleng. "Setelah memastikan mereka pergi, aku menyusul kalian. Aku tahu kalian akan menuju hutan."Jonathan menatapnya dengan serius. "Apakah kamu diikuti?"Carl mengangkat tangan. "Tenang, aku memastikan tidak ada yang mengikutiku, Tuan."Hazel menghela napas. "Apa rencanamu sekarang, Carl?"Carl menatap keduanya. "Ada jalur rahasia di hutan ini yang akan membawa kalian keluar dari kota tanpa terdeteksi."Jonathan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami sejak awal?"Carl tersenyum tipis. "Tidak ada waktu tadi. Lagipula, aku harus memastikan jalurnya aman, Tuan."Hazel memegang tangan Carl. "Terima kasih. Kamu telah melakukan banyak untuk kami."Carl mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak sebelum fajar."Mereka bertiga melanjutkan perjalanan,