“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”
Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.
“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.
“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”
Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.
Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.
“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”
Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....
Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Kala aku tiba di rumah sore itu, kulihat pintu rumahku terbuka lebar dengan sepasang sepatu wanita terletak di luarnya. Dua suara pria dan wanita terdengar telingaku ketika akan memasuki teras itu."Sampe kapan, Fer? Kamu pikir kami nggak bosan nunggu begini? Lihat papa kamu, Nak. Papa udah tua. Kamu nggak pengen kami menimang cucu sebelum ajal kami, apa?"Itu suara mama mertuaku. Bisa kupastikan mama bagaimana reaksi mukanya saat membahas cucu."Aku pulang," ujarku. Kulihat mama membuang wajahnya ke samping tak senang melihat kedatanganku. Tak perlu kupasang muka jutek sepertinya, sebab ini sudah hal biasa bagiku."Eh, ada mama," lanjutku lagi.Setelah melepas sepatu sport di depan pintu, kuambil tempat duduk di sebelah Ferdy yang berhadapan dengan mama mertua. Berniat menyapa dulu pikirku, tapi mama mertua segera menegurku."Mertua datang bukannya dibikinin minum, malah duduk," sindirnya.Sejak tadi mereka mengobrol kenapa tid
"Nggak, Fer, nggak!"Mungkin suaraku sudah terdengar ke luar sana. Para tetangga mungkin sedang menguping bembicaraanku dengan Ferdy, yang ribut oleh perkataan mama mertu sore tadi. Kupikir Ferdy tidak akan melakukan ucapan mamanya meminta ijin menikah lagi padaku."Aku nggak bisa. Kalau kamu mau nikah lagi, ceraikan aku itu lebih baik!" ucapku, mataku menatap tajam pada lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku."Nara, aku mohon mengerti, dong. Orang tuaku sangat ingin punya cucu sementara kamu nggak bisa hamil. Apa nggak bisa kamu turunin ego itu sedikit saja? Ini demi kita, Ra. Kamu nggak harus kerja seperti biasa kalo kita nurutin kata mama," tuturnya.Ya, itu yang dijanjikan mama mertuaku pada Ferdy. Jika dia menikah lagi, mertua akan memberi modal usaha agar Ferdy tidak perlu capek mencari pekerjaan lagi. Dan ya, kuakui mertuaku terbilang berada. Mereka pasti tak bohong ingin memberi modal pada kami. Tapi untuk membiarkan suami memb
Kalimat vulgar yang terucap dari Pak Arsen, menyadarkanku seketika. Bau napasnya yang wangi sudah tak lagi ingin kuhirup lebih lama."Jaga ucapan Anda, Pak. Di mana sopan santun Anda terhadap istri orang," ucapku, memaksa kalimat itu keluar dari tenggorokan yang tercekat. Tubuhku mundur menghindari Pak Arsen yang juga melangkah maju.Dia berjalan pelan, menggiring kakiku ke belakang. Pinggulku beradu dengan sudut meja kerjanya yang membuatku terjebak dalam kungkungannya. Kedua tangannya diletakkan di atas meja untuk mengunciku."Nara, aku bisa memuaskanmu di ranjang," bisiknya sangat dekat. Hangat napasnya menyapu wajahku yang seketika membeku, kala Pak Arsen mempertemukan bibir kami.Desiran-desiran aneh mulai kurasa mempermainkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh. Jantung memompa kencang, mengalirkan darah dengar hebatnya ke seluruh penjuru. Kakiku melemas dan aku terhanyut oleh buaian bibir Pak Arsen, hingga tak sadar kapan dia melepaskan itu.
"Gimana Ferdy betah di rumah kalau kamu nggak punya anak! Nara, coba kamu pikir, ya. Semua orang menikah itu tujuannya punya anak, biar suami makin sayang dan giat cari uang. Wajar Ferdy nggak pulang karna kamu terlalu banyak nuntut!"Itu yang dikatakan mama mertua begitu aku menanyakan keberadaan Ferdy padanya. Kedatanganku ke sini terasa sia-sia, hanya mendapat omelan sementara aku tetap tak tahu di mana Ferdy. Mama mertua juga langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilakanku.Dua hari bukan waktu yang wajar bagi seorang suami tak pulang pada istrinya. Apa aku salah jika menanyakan pada mertua? Ferdy berkata akan pergi ke rumah mamanya, wajar jika aku datang ke sini mencarinya, kan?Tapi, niat baikku ternyata berbuah duri yang menusuk hingga ke inti hati.Kupikir, pulang ke rumah hanya akan membuatku sedih memikirkan ucapan mama. Jadi kuputuskan pergi ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan.Tapi apa yang ku
Beberapa menit setelah membersihkan tubuh, aku masih diam di dalam kamar mandi. Sungguh ... aku bingung bagaimana akan menunjukkan muka di depan Pak Arsen sekarang. Maksudku ... kemeja ini. Ya, kemeja kelonggaran yang kukenakan setelah berganti pakaian. Ini sepertinya milik Pak Arsen, terlihat dari ukurannya yang pas dengan lelaki itu. Dan di bagian bawah, aku sama sekali tak mengenakan apa-apa."Nara."Kudengar Pak Arsen memanggil namaku bersamaan dengan ketukan pintu. Dia mengulanginya, menyebut namaku seperti tadi. Aku semakin bingung, apakah harus berpura-pura mati sejenak?"Kamu baik-baik aja? Jawab atau aku mendobrak pintunya sekarang.""Iya, Pak! Aku nggak apa-apa!" seruku mengalahkan kecepatan tangan membuka pintu. Dan kemudian, Pak Arsen tertegun melihat aku sangat dekat di depannya. Dia berdiri tak sampai satu langkah dari pintu.Melihat matanya tertuju langsung ke pahaku, refleks lutut sedikit kutekuk untuk merendahkan posisiku berdiri.