Sore ini Luna bersama Flora berada di sebuah kafe setelah menyelesaikan ujian di kampus. Luna terkadang sangat fokus dan serius selama masa ujian, tapi kali ini ada yang berbeda, sejak tadi Luna terus tersenyum melihat layar ponselnya karena Reno kini mengirimnya pesan setiap saat.
Beberapa menit yang lalu, Reno menanyakan keberadaannya dan mengungkapkan kerinduannya padahal mereka baru beberapa jam berpisah. Hal sekecil itu membuat jantung Luna berdebar-debar. Hal yang dia sukai dari Reno selain karena pelukannya yang nyaman, pria itu sangat perhatian. Dan itu membuat Luna meleleh setiap saat. “Wah, kau benar-benar jatuh cinta, ya?” goda Flora yang sejak tadi memperhatikan Luna berbalas pesan dengan kakak tirinya. “Jadi, kalian sekarang tinggal bersama?” Luna mengangkat pandangan dari ponsel dan mengangguk. “Hum, aku senang bisa melihatnya lagi setelah dua minggu.” “Bagaimana setelah dua minggu tak bertemu? Apakah itu canggung karena sekarang kau dan dia menjadi kakak adik?” Canggung? Luna menggelengkan kepala. Awalnya dia memang berpikir demikian, bahkan Luna takut Reno telah melupakannya dan memilih wanita lain, tapi ternyata alih-alih canggung, mereka justru melepas rindu dan bertingkah seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta. Seperti tadi pagi, Reno mengantarnya ke kampus dan memberi pelukan semangat untuk ujiannya hari ini. Bukan hanya itu, semalam pun mereka menghabiskan waktu bersama sambil menonton film sebelum akhirnya dia tertidur di sisi Reno, tapi pagi harinya luna terbangun di kamarnya, dan tentu saja Reno yang menggendongnya ke dalam kamar. Luna tidak tahu apa yang tengah mereka jalani sekarang, apakah Reno benar-benar menginginkannya atau hanya menikmati waktu mereka selagi bisa. Tapi yang jelas, Luna merasa sangat bahagia karena selama seminggu ini dia bisa terus melihat Reno. Luna hanya berharap dia dapat mengendalikan diri terhadap kakak tirinya itu. “Sejujurnya, tidak. Kami tidak canggung sama sekali. Dia…” Luna memikirkan kata-kata yang pantas untuk menggambarkan hubungan mereka. “Dia masih membuatmu meleleh?” tanya Flora memotong ucapan Luna. “Ya, sangat! Dia… sikapnya, tatapannya, perhatiannya…” “Dan tubuhnya, tentu saja,” sahut Flora terkekeh melihat wajah Luna yang semakin memerah. Luna menutup wajah dengan kedua tangannya. “Hentikan, kau membuatku malu.” “Kau tampak sangat bahagia.” Flora tersenyum melihat sahabatnya yang sedang dimabuk asmara. Terkadang Luna lupa bahwa dia sedang jatuh cinta dengan kakaknya sendiri. Tapi, saat ini gadis itu tidak mau berpikir terlalu jauh. Dia hanya ingin menikmati kebersamaannya dengan Reno selama sang ibu menikmati bulan madu dengan suami barunya. “Apakah aku salah, Flo?” tanya Luna, suasana hatinya tiba-tiba berubah mengingat Diana. Mata Flora membulat melihat sahabatnya yang tiba-tiba murung. “Apa yang salah dengan jatuh cinta?” Flora balik bertanya. Sungguh ia ikut merasa bersedih. “Entahlah, aku hanya merasa bersalah jatuh cinta pada kakakku sendiri. Orang-orang akan menganggap kami gila dan durhaka. Hubungan antara kakak dan adik tiri itu terlarang, bukan?” “Tapi, perasaan itu hadir diantara kalian lebih dulu dan kalian sudah berusaha untuk menghindar satu sama lain. Jika tidak berhasil, itu bukan salah kalian. Kita tidak bisa mengatur pada siapa kita akan jatuh cinta, kan? Aku tahu jalan yang kalian tempuh salah, tapi Luna… aku yakin semua akan ada jalan keluarnya,” ujar Flora dengan lembut. Luna menghela napas lega, dia bersyukur karena memiliki sahabat yang sangat pengertian padanya. Luna bersandar di pundak Flora, memeluk lengan Flora sambil menatap pemandangan jalan dari jendela kafe. “Terima kasih selalu berada disampingku, Flo. Jika kau tidak ada, aku yakin tak akan sekuat ini.” “Sekarang juga ada Reno. Kau tidak sendirian melewatinya, kita akan melewati semua ini bersama, oke?” Luna mengangguk mengiyakan ucapan Flora. *** Luna baru saja akan tidur ketika ponselnya berdering, ada nama ibunya di layar. Dengan segera Luna mengangkat teleponnya dan bersandar di kepala ranjang. “Selamat malam, Bu.” [“Hai, selamat malam, sweety. Maaf Ibu lupa disana sudah larut malam karena disini masih sore. Apa kau sudah tidur?”] “Hampir.” Luna terkekeh kecil. “Ujian hari ini membuatku lelah, Bu.” [“Oh maaf Ibu mengganggumu… Ibu harap ada disana untuk memijatmu.”] Diana terdengar sangat khawatir. Luna tersenyum mendengar suara ibunya yang begitu lembut dan penyayang. Membuat Luna merasa sangat berdosa telah membohongi Diana. “Tidak apa, Bu. Aku hanya perlu tidur. Tidak perlu khawatir, bermesraan saja dengan Ayah di sana.” Diana terkekeh. [“Baiklah, Ibu harap kau juga tidak merepotkan kakakmu, ya.”] “Tentu saja tidak, Bu. Kak Reno bahkan belum pulang malam ini, mungkin dia masih banyak pekerjaan.” [“Oh ya… Lucas bilang hari ini calon tunangan Reno mengadakan pesta ulang tahun, jadi mungkin dia masih di sana. Apa dia tidak mengabarimu?”] Deg “C-calon tunangan?” Luna membulatkan matanya terkejut mendengar ucapan Diana. [“Ya, calon tunangannya bernama Jessie Stefanie. Dia datang saat pernikahan Ibu. Apa Reno belum mengenalkannya padamu waktu itu?”] Jessie Stefanie? Jadi, wanita yang terus berada di sisi Reno saat pernikahan orang tua mereka adalah calon tunangannya? Luna terdiam beberapa saat. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya sekarang. Ia menekan dadanya yang tiba-tiba sesak. Menghela napas, Luna mencoba menahan segenap emosi yang berkecamuk. [“Luna? Apa kau masih di sana?”] Suara Diana menyadarkan Luna. “Ya, Bu. Sepertinya aku sudah sangat mengantuk. Aku ingin tidur sekarang, aku tutup teleponnya ya. Bye, Bu.” Bohong Luna. [“Oh, baiklah. Bye, sweety.”] Luna meremas ponselnya di dada. Air matanya jatuh begitu saja. Ia tak menyangka jika selama ini Reno telah memiliki calon tunangan, lantas bagaimana dengan yang terjadi diantara mereka? Apa Reno hanya mempermainkannya? Bukan tidur, tapi Luna membuka pesan terakhir yang dikirim Reno padanya. [Aku sepertinya pulang larut malam ini. Padahal aku sangat merindukanmu. Jangan menungguku. Selamat tidur, sayang.] Rasa kantuk dan lelah seketika lenyap begitu saja. Yang ada hanya rasa sakit. Merindukanku? Luna berdecih. Kepalanya menggeleng tak habis pikir, ternyata perasaannya hanya permainan bagi Reno. Luna tak membalas pesan kakaknya itu, dia memilih untuk bersiap keluar rumah, dia perlu menenangkan diri. Apapun itu Luna hanya ingin menghapus Reno dalam pikirannya!Luna terus duduk di tepi sungai hingga menjelang sore. Beberapa hal yang terjadi antara ia dan Reno terus mengusiknya. Sesekali Luna memainkan cincin berlian di jari manis. Luna merasa cincin mahal itu semakin tak pantas dia miliki. Ia telah mengkhianati Brian sedemikian buruk. Sungguh pria itu tidak pantas menerima perlakuan seburuk ini darinya. Brian pantas mendapatkan wanita yang terbaik, dan itu bukan dia. Luna menarik napas panjang. ‘Tuhan, aku tidak ingin menyakiti hatinya lebih dalam lagi …’Dalam hati Luna berjanji pada dirinya sendiri, jika dia berhasil selamat dari hutan ini, ia akan bicara dengan Brian dan menyelesaikan hubungan mereka secara baik-baik. Luna tidak mau terus berpura-pura dan membohongi perasaannya. Seberapapun dia memaksa untuk mencintai Brian, nyatanya dia tidak pantas bersanding dengan pria itu. Dia akan jujur dan melepas Brian untuk menemukan wanita yang lebih baik darinya. Tiba-tiba Luna merasa seseorang duduk di sampingnya. Dan tanpa melihat, tentu
Luna masih terengah dengan rasa panas di sekujur tubuhnya. Pertanyaan Reno sejujurnya sangat mudah untuk ia jawab, tapi mengapa lidahnya terasa sangat kelu sekarang. Akhirnya tanpa memberi jawaban, Luna mendekatkan wajahnya ke wajah Reno untuk berciuman kembali karena itulah yang saat ini benar-benar ia inginkan. Luna melingkarkan lengannya di leher Reno dan hanya mengangguk saat Reno kembali menatapnya untuk menuntut jawaban. Bibir Reno melengkung ke atas setelah mendapat persetujuan dari Luna. Lalu dengan perlahan dia melepas seluruh benang yang melekat di tubuh Luna, hingga kini wanita itu telanjang di bawah kungkungannya. “Aku sangat merindukan ini.” Tatapan memuja Reno padanya membuat gairah Luna semakin meningkat. Dia juga ingin melihat tubuh telanjang Reno, jadi Luna segera bergerak menarik dua tepi kaos lengan pendek Reno ke atas kepala, setelah itu ia menghela napas dalam-dalam saat Reno melepas celananya juga, hingga akhirnya Luna bisa mengagumi tubuh atletis Reno seutu
“Reno, tolong ada ular. Aku takut!” Mendengar jeritan Luna, Reno tidak berpikir dua kali untuk mendekat. Tak peduli wanita itu hanya mengenakan tanktop dan celana dalam. Keselamatan Luna nomor satu untuknya. “Dimana ularnya, Luna?!” Luna dengan mata terpejam ketakutan, menunjuk ke arah sesuatu yang mengambang di atas air. Reno melihat ke arah yang sama dan keningnya mengernyit. Dengan perlahan ia masuk ke dalam air lalu mendekat untuk memastikannya. Dan seutas senyum terbit di bibir kala ia sadar bahwa sesuatu yang mengambang di atas air itu hanyalah seutas tali. Reno mengambil tali panjang berwarna hitam kemudian membuangnya ke pinggir dan mendekat ke arah Luna. “Luna, tidak apa-apa, buka matamu.” Luna membuka mata perlahan. Tubuhnya gemetar, bahkan matanya berkaca-kaca karena saking takutnya. “Tidak apa-apa. Itu bukan ular hanya seutas tali. Tidak ada yang berbahaya. Kau aman,” ucap Reno dengan lembut, berusaha menenangkan. “Aku takut, Reno. Itu seperti ular sun
Luna hampir frustasi karena tak kunjung melihat Reno, dia ingin menyusuri hutan untuk menemukan Reno, tapi ia takut kemungkinan dia pun akan ikut menghilang karena tersesat di hutan. Luna benar-benar tidak ingin hal buruk terjadi pada Reno karena ia yakin tanpa Reno, dia tidak akan bisa bertahan di sana sendirian. Namun, jantung Luna yang sejak tadi berdegup kencang itu seketika berhenti berdetak saat ia mendengar langkah kaki di belakang. Luna dengan cepat berbalik dan detik itu dia langsung berhadapan dengan Reno. Tangisan Luna pecah saat itu juga bersamaan dengan perasaannya yang begitu lega melihat Reno kembali dalam keadaan hidup. “Hei, kenapa kau menangis? Apa kau mencariku?” Reno terkejut saat melihat Luna menangis histeris dan lebih terkejut lagi ketika dalam hitungan detik Luna memeluk tubuhnya dengan sangat erat. “Kau benar-benar gila, Reno! Kau membuatku ketakutan setengah mati!” Kening Reno mengernyit. “Ketakutan karena apa?” Dia juga memeluk Luna, berusaha memenangk
Hari telah beranjak malam. Beruntung dingin yang kian menusuk kulit sedikit terhalau dengan hangatnya api. Reno menatap pancaran wajah cantik Luna yang diterangi api unggun di hadapannya. “Maaf, aku janji besok akan mendapatkan ikan lebih banyak untuk kita makan,” ujar Reno, sedikit merasa bersalah karena Luna terlihat sangat lapar dan dia hanya bisa menangkap satu ekor ikan untuk mereka makan berdua. “Tidak apa, tubuhmu masih lemas. Setidaknya perut kita tidak kosong lagi.” Luna mengangguk, lalu dia menguap. “Sepertinya kita harus tidur karena aku merasa lelah dan seluruh tubuhku benar-benar sakit.”“Ya, aku juga merasakannya … kita memang perlu tidur. Aku sudah menyiapkan beberapa lembar daun besar di atas rumput. Tidak empuk, tapi semoga saja kita bisa tidur,” ujar Reno. Reno kemudian berbaring lebih dulu di atas rerumputan yang telah ia lapis daun pisang yang ditumpuk menjadi lebih lebar dan tebal.Kemudian dia mengambil
“Sshhttt … aw …”Luna tidak berhenti meringis sejak tadi. Akibat gengsinya yang terlalu tinggi dan tak mau menerima uluran tangan Reno, kaki Luna tidak sengaja terkilir saat berjalan. Jalan hutan yang curam membuat langkahnya tidak seimbang dan akhirnya kaki sebelah kiri Luna yang menjadi korbannya. “Apa kau bisa berdiri?” tanya Reno dengan khawatir. “Kakiku sakit sekali.” Luna mengeluh kesakitan dan Reno tak punya pilihan selain menggendong tubuh Luna. “Ayo, naik ke punggungku,” ucap Reno sambil berjongkok memunggungi Luna. “T-tapi lenganmu?”Reno menghela napas kasar. “Cepatlah naik, lebih baik kita kembali ke mobil sebelum hari mulai gelap.”Tak memiliki pilihan lain membuat Luna menerima tawaran Reno dan kini ia berada di atas punggung pria itu. “Kenapa kita kembali?” tanya Luna ketika Reno berbalik arah. Tidak menuju ujung tebing lagi. “Kita tidak bisa memanjat tebing dalam keadaan seperti ini, Luna. Kakimu terkilir, dan kondisiku juga tidak sefit itu untuk memanjat tebing