Mimpi Buruk.
Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan siang sudah siap. Apakah Anda ingin makan di sini atau di ruang makan?" tanya seorang pelayan yang mendekat dengan sopan. Aleena tidak segera mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah ia baca. Dengan suara santai namun sedikit malas, dia menjawab, "Aku akan makan di sini saja. Berjalan ke ruang makan sangat melelahkan—jaraknya benar-benar menguras tenaga." Pelayan wanita itu hanya menggelengkan kepala kecil, mencoba bersabar. "Baiklah, Nona Morris. Mohon tunggu sebentar, makan siang akan segera diantarkan. Oh, dan jangan ke mana-mana, pengawal sudah berjaga di luar." Pelayan itu pun beranjak pergi, meninggalkan Aleena yang kembali terlarut dalam pikirannya. Dia tahu bahwa di mana pun dia berada di mansion ini, para pengawal selalu mengawasinya. Seolah Pavel tidak ingin memberikan celah sedikit pun bagi Aleena untuk kabur. Atau mungkin, memang begitulah ketatnya penjagaan di kediaman Ellington. Namun, pikirannya buyar saat mendengar suara langkah kaki berat mendekat. Mau tak mau, Aleena menoleh ke belakang. Di sana berdiri seorang pria dengan penampilan rapi, mengenakan setelan kantor. Tanpa aba-aba, pria itu membungkuk sedikit di depan Aleena, menunjukkan kesopanan yang berlebihan. "Selamat siang, Nona Morris. Perkenalkan, saya Owen Fletcher, orang kepercayaan Tuan Ellington," ucapnya dengan nada hormat yang membuat Aleena bertanya-tanya. Kemudian Owen melanjutkan, "Saya di sini untuk menyampaikan mandat dari Tuan Ellington. Anda diperkenankan melakukan aktivitas di luar kediaman, dengan syarat: Anda harus menggunakan pengawalan dan ditemani dua pelayan dari rumah ini. Jika ada pertanyaan atau protes, maaf, saya tidak diperintahkan untuk mendengarkan itu." Aleena mengerjap pelan, lalu berdiri dengan wajah terkejut. "Apa maksudnya? Kenapa dia tiba-tiba memberiku 'kebebasan bersyarat' seperti ini?" tanyanya, berusaha menahan emosi. Namun, Owen hanya menatapnya datar. "Saya sudah bilang, Nona. Saya tidak diinstruksikan untuk mendengarkan protes Anda. Jadi, saya rasa itu cukup. Selamat siang, Nona Morris. Semoga hari Anda menyenangkan." "Tunggu!" sergah Aleena, menghalangi jalan Owen. "Kalau begitu, di mana Tuan Pavel? Kenapa dia tidak pulang? Ini rumahnya, kan? Apa dia marah padaku?" Di balik sikap dingin Pavel, Aleena tetap merasa penasaran sekaligus khawatir. Entah kenapa, meskipun dia tahu seharusnya tidak peduli, dia justru bertanya-tanya tentang keberadaan pria itu. Tanpa banyak bicara, Owen merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel, lalu menyodorkannya kepada Aleena. "Maaf, Nona Morris. Hampir lupa, ini untuk Anda. Jika Anda penasaran di mana Tuan Pavel, silakan tanyakan langsung kepadanya melalui ponsel ini. Tapi ingat, hanya ponsel ini yang boleh Anda gunakan." Aleena memandangi ponsel itu dengan ragu. Jelas ada sesuatu yang aneh dengan Pavel, tetapi dia tidak tahu apa. Perlahan, dia meraih ponsel tersebut, merasa seolah-olah sedang menyerahkan dirinya pada permainan yang tidak ia mengerti. "Apa ini cara dia mengawasiku lagi?" gumam Aleena pelan. Owen, yang masih berdiri di hadapannya, tampak tak terganggu oleh pertanyaan retoris itu. Dengan anggukan singkat, dia kembali berbicara, "Jika Anda membutuhkan sesuatu, saya ada di ruang kerja di ujung lorong sebelah perpustakaan ini. Namun, mohon ingat, semua keperluan harus disampaikan melalui jalur resmi." Tanpa menunggu jawaban, Owen berbalik pergi, meninggalkan Aleena yang masih berdiri diam, menatap ponsel di tangannya. Ketika sunyi kembali melingkupi ruangan, Aleena mendesah pelan. Jarinya dengan hati-hati menyentuh layar ponsel itu. Hanya ada satu kontak di dalamnya, tertera nama Tuan Ellington. Sejenak, dia merasa ragu. Apakah dia benar-benar ingin berbicara dengan pria itu? 'Kalau dia tidak ingin aku tahu di mana dia, kenapa dia memberikan ini padaku?' pikir Aleena. Namun rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya. Dengan perlahan, dia menekan tombol panggil. Bunyi dering terdengar, lama, hingga akhirnya sebuah suara berat dan dalam menjawab di seberang sana. "Akhirnya kau menelepon," ujar Pavel, tanpa basa-basi. Aleena terdiam sesaat. Nada suaranya tidak berubah—tenang, dingin, namun ada sesuatu yang membuatnya merinding. "Kau... di mana?" tanyanya langsung, suaranya bergetar tipis meski ia berusaha terdengar tegar. "Di tempat yang tidak bisa kau bayangkan, Aleena," jawab Pavel samar. "Apa aku merindukan rumah? Tidak. Apa aku merindukanmu? Mungkin. Tapi aku masih punya urusan yang harus kuselesaikan." Kening Aleena berkerut. Bukan karena tebakan Pavel, melainkan hal lainnya. Dia bisa mendengar suara samar di belakang Pavel—seperti deru kendaraan dan orang-orang yang berbicara dalam bahasa asing yang tidak ia kenali. "Apa yang sebenarnya kau lakukan, Tuan? Apa urusan yang begitu penting sampai kau harus meninggalkan rumah ini? Meninggalkan aku di sini dan membiarkan semua persyaratan demi merasakan kebebasan, seakan aku adalah tawananmu?" Nada suaranya berubah, ada kemarahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Namun Pavel hanya tertawa kecil, membuat darah Aleena mendidih. "Kau mulai peduli, ya?" godanya. "Aku tidak peduli!" balas Aleena tajam, meskipun dia tahu itu kebohongan. "Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dan hanya peduli pada diriku sendiri. Apa kau sengaja meninggalkanku di sini untuk membuatku gila?" Pavel terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, suaranya berubah lebih serius. "Aleena, ada alasan kenapa aku meninggalkanmu di sana. Alasan kenapa kau harus tetap di rumah itu. Dunia di luar terlalu berbahaya untukmu sekarang. Dan aku... sedang memastikan kau tetap aman." Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Aleena merasa lebih bingung daripada sebelumnya. Apa yang Pavel maksud dengan 'bahaya'? Dan kenapa dia begitu yakin bisa menjaganya tetap aman dari kejauhan? Sebelum Aleena sempat bertanya lebih jauh, Pavel melanjutkan, "Aku harus pergi. Jangan coba-coba melanggar aturan, Aleena. Kau tidak akan suka konsekuensinya." Telepon terputus. Aleena menatap ponsel di tangannya, perasaannya berkecamuk antara marah, bingung, dan entah kenapa... sedikit khawatir. Apa yang Pavel sembunyikan darinya? Dan seberapa besar 'bahaya' yang sebenarnya sedang menanti di luar? Satu hal yang pasti—ini bukan akhir. Pavel mungkin telah memutuskan telepon, tapi Aleena tidak akan berhenti mencari jawabannya. Dirinya terkurung dan kini bebas merasakan udara di luar sana saja diharuskan oleh pria itu dengan membawa pengawal dan pelayan, persyaratan yang merepotkan baginya. Jadi, Aleena akan berniat mencari siapa Pavel sebenarnya, walau dirinya mungkin... mendapatkan hukumannya.Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima
Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me
Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har
Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje
Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas