Share

Mencari Informasi

Penulis: Osaka ois
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-25 10:30:19

Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel.

Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya.

Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!"

Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Morris. Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu?"

Perlahan Aleena mulai menenangkan dirinya supaya terlihat alami. Kemudian bertanya, "Kata Tuan Pavel kau memegang kunci cadangan kamarnya. Aku menyampaikan padanya, jika aku membutuhkan sesuatu untuk tugas kuliah dan dia memberikan izin padaku mengambil buku yang katanya akan sangat membantuku." Lalu Aleena melanjutkan, "Apa kau bisa memberikan kuncinya?"

Mata Kenji semakin sipit karena memicingkan matanya secara tajam, seakan-akan menilai, ada kemungkinan Aleena mencoba membohongi dirinya. Namun, dirasa tak menemukan apa-apa, Kenji menghela napas dan mengeluarkan kunci dari saku celana. Dia hendak memberikannya, tapi langsung ditarik kembali.

"Tapi Tuan tidak mengatakan apa-apa pada saya," ungkap Kenji. Dia terus menatap sosok Aleena, gadis itu bahkan tampak tenang sebagai seorang pembohong.

"Justru itu, dia sedang sibuk. Barusan kami baru saja saling melakukan panggilan telepon," balas Aleena sembari mengangkat ponsel yang diberikan Owen. Lalu dia membuka kunci layar dan memperlihatkan riwayat panggilan, tertera di sana nama Tuan Ellington dengan waktu terlampir, jika panggilan itu baru beberapa menit lalu.

Kenji sempat menghela napas, kemudian dia memutuskan, "Baiklah. Saya akan menemani anda, mari."

Wajah Aleena bertambah cerah karena Kenji percaya, meski ada rasa skeptis di dalam hati pria itu. Dengan tenang Aleena mengikuti Kenji menuju kamar Pavel.

Di saat keduanya telah tiba di depan kamar Tuan Ellington tersebut, Kenji tidak langsung membuka pintu. Tatapannya serius, lalu tak lama suaranya terdengar tegas mengudara sebelum membuka pintu di depan mereka.

"Ingat Nona, jangan lama dan saya akan menunggu anda di depan pintu. Waktu terbatas," tegas Kenji, tangannya membuka pintu melalui kunci yang ada di tangannya.

"Yah, aku dengar dan ingat, tolong tunggu aku." Tanpa menunggu balasan dari Kenji, Aleena bergegas masuk ke dalam kamar tidur Pavel.

Bukan saatnya untuk terpesona dengan gaya kamarnya, melainkan matanya menatap sekitar ketika kakinya masuk semakin dalam ke kamar tersebut. Memang seperti kamar pada umumnya, yang membedakan hanya kamar Pavel tampak lebih besar dan lebih mengarah ke fungsional. Dikarenakan ada meja yang seperti meja kerja, mungkin Pavel tidak memiliki ruang kerja dan memanfaatkan sisi kosong kamarnya untuk lebih bermanfaat bagi pria itu.

Aleena berdiri diam di tengah kamar Pavel, menatap dokumen-dokumen dan foto-foto di atas meja kerja. Semua ini terasa seperti puzzle yang belum lengkap.

Nama-nama di dokumen itu terdengar asing baginya, tapi beberapa lokasi pelabuhan membuatnya berpikir. Senjata ilegal, itu sudah jelas. Pavel bahkan tidak berusaha menyembunyikan bahwa dia memiliki bisnis gelap. Tapi... apakah mungkin dia lebih dari sekadar pedagang senjata?

Aleena menggigit bibirnya. 'Tidak,' pikirnya. Pavel adalah pria yang arogan, sombong, dan penuh rahasia, tapi itu tidak berarti dia seorang mafia.

"Dia mungkin hanya pengusaha sukses yang bermain di area abu-abu," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Bisnis gelap, ya, tapi itu saja. Dia tidak mungkin... lebih buruk dari itu."

Tapi pandangannya kembali tertuju pada foto di meja. Foto itu menunjukkan Pavel dengan beberapa pria yang wajahnya tidak bersahabat. Salah satu dari mereka memegang senjata otomatis, dan senyuman mereka tidak ramah—senyuman seperti orang yang sudah terbiasa dengan kekerasan.

Aleena merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Pria-pria ini bukan sekadar rekan bisnis biasa. Bahkan Pavel di foto itu terlihat... berbeda. Bukan Pavel yang sering dia lihat bercanda sinis di rumah, tapi seseorang dengan tatapan dingin dan penuh kuasa.

Dia mencoba mengabaikan rasa takut yang merayap di dalam dirinya. "Mungkin mereka hanya kliennya. Atau... mitra dagang?" pikirnya. "Ya, Pavel hanyalah pria yang menjual senjata ilegal untuk orang-orang seperti mereka. Itu tidak berarti dia bagian dari organisasi besar atau semacamnya."

Namun, semakin dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin sulit untuk mengabaikan rasa tidak nyaman di dadanya.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya.

"Nona Morris, waktu Anda sudah habis," suara Kenji terdengar tegas dari balik pintu.

"Sebentar lagi," jawab Aleena buru-buru, menyelipkan foto itu ke balik bajunya tanpa berpikir panjang.

Aleena melangkah keluar dari kamar, dan seperti perkataan kepala pelayan itu, dia berdiri di sana dengan ekspresi dinginnya. "Ada yang Anda butuhkan lagi, Nona?" tanyanya.

Aleena menggeleng. "Tidak, terima kasih. Itu saja."

Kenji tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya seolah mengawasi setiap gerak-gerik Aleena. Dia merasa semakin terjebak di rumah ini—bukan hanya oleh dinding-dinding besar dan pengawal yang mengintai setiap sudut, tapi juga oleh rahasia-rahasia yang terus menghantuinya.

Saat kembali ke kamarnya, Aleena menarik napas panjang dan mengeluarkan foto itu. Matanya menelusuri setiap detail, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan siapa Pavel sebenarnya. Tapi yang ia temukan hanyalah lebih banyak pertanyaan.

Dia memandang keluar jendela, ke arah taman yang luas namun terasa seperti penjara.

"Tuan Pavel... siapa dia sebenarnya?" gumamnya pelan.

Mungkin Pavel hanyalah seorang pria kaya yang menyembunyikan bisnis gelapnya dengan cermat. Tapi untuk pertama kalinya, Aleena mulai merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar—dan lebih berbahaya—dibalik semua itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tenang Dalam Penderitaan

    Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Jebakan

    Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ternyata Punya Keluarga Kecil

    Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Dari Tuan Ellington

    Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Harus Tenang

    "Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Yang Hilang Belum Tentu Kembali

    Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status