Home / Romansa / Jeratan Panas Tuan Pavel / Pemilik Aleena Morris

Share

Pemilik Aleena Morris

Author: Osaka ois
last update Last Updated: 2024-12-13 06:28:48

"Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku."

Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu."

"Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan.

Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis.

"Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.

Bulu kuduk gadis itu berdiri, dia segera keluar dari mobil mewah milik Pavel, melepaskan cengkeraman tersebut tanpa bersusah payah. Pavel sendiri terkekeh bak iblis melihat ketakutan kentara di wajah gadisnya, pemandangan menyegarkan mata seperti ini akan sering terjadi nantinya. Apa lagi cara Aleena mengambil langkah, itu menggemaskan—tertatih, mengingat kegiatan panas yang hanya terjadi beberapa jam saja tadi malam.

Setelahnya, Pavel tak langsung pergi.

Matanya terpaku sejenak, Aleena Morris. Sesosok gadis yang sedang menempa jenjang pendidikan di salah satu universitas bergengsi berkat jalur beasiswa, poin pentingnya ialah, otak Aleena cukup jenius. University of California Berkeley, jurusan ilmu komputer dan informatika. Mengingat umur tertera di dalam laporan, Pavel sedikit skeptis, namun kemudian tak peduli dengan cepat.

Gadis yang mempunyai semangat berapi-api di dalam dirinya, menambah keinginan Pavel untuk memiliki seluruh jiwa, tubuhnya, seutuhnya, dan seluruhnya. Aleena cocok sebagai penampung benih-benihnya yang unggul, memadukan keduanya, mampu menciptakan keturunan terbaik. Memikirkannya saja membuat miliknya kembali mengeras.

Pavel terus memikirkan Aleena, seolah gadis itu adalah zat adiktif. Dia kecanduan. Tubuh, suara, dan gerakan responsif terhadap sentuhan darinya. Itu benar-benar memabukkan.

Sejenak Pavel terkekeh sinis sambil mencengkeram kuat setir mobil sebelum menyalakan mesin. "Haah, dia... keterlaluan. Aku tak sabar mencicipinya lagi dan lagi sampai hancur berkeping-keping."

Di sisi Aleena. Dia telah tiba di rumahnya. Tak habis pikir dengan kehidupan dia hadapi. Sekejap mata berubah menjadi jurang yang menghadapkan dirinya kepada tantangan tak kasat. "Aku harus hati-hati, dia—tampak berbahaya, meski aku akui sangat tampan. Sial!"

***

Jam sebelas siang, kini Aleena sedang di kampusnya. Kelasnya baru saja selesai. Tapi dua pria di ambang pintu telah menunggunya, tetapi terhalang oleh dosen pembimbing Aleena yang tampak baik dan ramah seperti biasa. Namanya Kyne Foster. Kaki panjangnya melangkah melewati para pria yang hendak menghampiri Aleena, karena Kyne tahu, keduanya adalah pria nakal dan bisa saja membuat Aleena jatuh ke dalam masalah besar.

"Nona Morris, saya ingin mengajak anda makan siang bersama, apa Nona berkenan?" tawar Kyne tiba-tiba, pria itu ramah seperti biasa. Menebar senyum, membuat para wanita tak tahan untuk tidak membalas sikap hangatnya.

"Saya masih ada waktu sebelum pekerjaan paruh waktu saya tiba," balas Aleena tak kalah ramah.

"Baiklah, berarti Nona Morris menerima ajakan saya." Kyne menyimpulkan dan gadis itu mengangguk.

Pria berusia tiga puluh tahun itu memimpin jalan menuju kantin. Keduanya saling berbincang ringan, sesekali Aleena tertawa kecil mendengar lelucon ringan dari Kyne yang tampak mencairkan suasana. Yang tidak Aleena Morris tahu, tatapan Kyne terselip kilatan memuja pada sosok Aleena.

Selang tak lama, mereka sudah memesan dua makanan dan minuman. Ketika keduanya sedang memakan makanan masing-masing, sudut bibir Aleena menyisakan remahan makanan, secara naluri tangan Kyne terangkat menyeka lembut di titik tersebut.

Lantas Aleena membeku dengan jantung berdetak kencang. Pandangannya terangkat menatap Kyne bingung. "Ah, maaf—terima kasih, Tuan Foster," ucapnya canggung, terasa lumayan risih.

Kyne tersenyum bagai malaikat, menghapus perasaan kurang nyaman dari Aleena begitu cepat. "Tidak apa, Nona Morris... ternyata menggemaskan, ya."

"Jika sudah menyangkut makanan, anda nyaris melupakan sekitar," tambah Kyne, sangat tenang.

Pipi Aleena merona, dia sedikit malu. Lalu dengan cepat merubah situasi. "Yah, saya akan fokus ke arah makanan yang menarik perhatian saya sendiri."

Lagi, Kyne tersenyum sambil menggoda. Berkata berani, berucap, "Oh, ya... apa seseorang harus menjadi makanan favorit anda, baru—anda meliriknya karena tertarik? Saya bersedia jika anda yang melahap saya secara bulat-bulat."

Senyum Aleena berubah canggung, dia tertawa renyah tak ada rumor di dalamnya. Kepalanya menggeleng, mulutnya sampai sulit harus bagaimana membalas Kyne. Pembicaraan pria itu lumayan ambigu. Jelas Aleena tahu jelas, dia bukan seorang anak sekolah dasar bahkan anak kecil.

Kantin jadi hening karena kedatangan seseorang. Langkahnya yang tenang dan percaya diri, dengan gagahnya melangkah mendekat ke arah meja Aleena. Tatapannya tajam menghunus langsung tepat ke kepala Aleena secara tak kasat mata, membuat Aleena akhirnya menoleh. Kesialan memang tidak tercatat di kalender. Pavel, bisa-bisanya pria matang itu ada di sini.

"Bangun, kita perlu berbicara, kucing nakal," tegasnya, cara bicaranya kasar dan tak menerima bantahan. Aura dominan menekan kuat di udara sekitar.

Ketika Aleena ingin mengatakan sesuatu, mata Pavel kian tajam. Aleena menoleh ke arah Kyne yang tampak tenang sejak tadi, meski suasana sekitar menegang. "Tuan Foster, terima kasih atas makan siangnya, saya permisi. Selamat siang."

Tanpa menunggu balasan Kyne, Aleena berlari kecil menyusul Pavel. Pria itu melangkah dengan cepat menggunakan kaki jenjangnya, sedangkan di sisi Kyne, dosennya tersebut tengah meremas alat makan penuh emosi. Dia memandang kepergian gadis manisnya mengikuti pria asing tadi.

Kyne menyisir rambutnya ke belakang. Lidahnya berputar-putar di pipi bagian dalam, lalu terkekeh geli sendirian. "Haah, dia membuatku gila," gumamnya pelan.

Di sisi Pavel dan Aleena. Pavel menatap lurus ketika Aleena sudah ada di dalam mobilnya. Keduanya sama-sama terdiam, Aleena menghela napas merasa telah membuat kesalahan, walau pada nyatanya dia tidak melakukan apa pun. Keheningan terpecah oleh suara deru mesin mobil yang menyala, dilanjutkan Pavel membawanya berkendara entah ke mana.

Aleena menoleh ke arah pria matang itu. "Tuan, sebenarnya kenapa anda menemui saya—dan tahu dari mana jika saya ada di sini?"

Pertanyaan berani Aleena akhirnya terdengar, namun Pavel hanya melirik lewat sudut matanya saja. Menyahuti, "Tunggu saja, aku menghukum mu."

Kening Aleena berkerut karena tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, tapi dia langsung ingat sesuatu. "Maaf, jika ini masalah tentang, eem... semalam, saya benar-benar bersalah—"

"Sayang, apa kau bisa diam? Apa perlu mulut kecilmu itu aku sumpal sesuatu yang tak kau inginkan, huh?" sela Pavel. Dia menggeram menahan amarahnya. "Tutup mulutmu, jika tidak ingin menerima konsekuensinya, gadis nakal!"

Mulut Aleena otomatis terkatup rapat. Ancaman Pavel tampak tak main-main, hingga dia memilih patuh, untuk sementara.

Pavel kini mulai serius pada kemudi, matanya menatap tajam ke depan. 'Aku harus mengingatkan tentang siapa pemiliknya. Ya, itu sudah semestinya,' pikirnya berkecamuk.

Janji gelap lainnya tersimpan rapi di dalam kepalanya, dia menikmati ketundukkan Aleena walau sedikit membangkang. Kali ini akan dia mencoba bersikap wajar, terlebih semua ini seperti pertama kalinya di alami gadisnya. Namun, biarlah gadis nakal itu merasakan kekuasaannya sekali pun tidak ada di sisinya.

Mengingat pria tadi yang bersama Aleena, membuatnya kembali kesal. Yeah, dia akan melakukan permainan secara perlahan-lahan, sampai Aleena tak lagi berpaling dan hanya mengingat dirinya, seorang.

Selang belasan menit akhirnya mereka tiba di sebuah rumah megah nan mewah. Dinding-dinding tinggi di bangunan tersebut seperti sulit sekali ditembus atau dihancurkan, jelas hawa dingin merayap sampai ke punggungnya. Meski Aleena terkagum dengan bangunan di rumah itu, mungkin bisa dibilang mansion, tak ayal sesuatu buruk tampak sedang menunggu dirinya di dalam sana bersama Pavel.

Jantungnya berdetak kencang lebih cepat. Tidak, ini bukan karena sensasi untuk merasakan jatuh cinta, melainkan dirinya merasa perasaannya semakin tak beres, termasuk gelagat Pavel yang memang terlalu tenang malah menambah spekulasi buruk tentang pria itu.

"Haah, selamat datang di kediaman Ellington, gadis kecil," cetusnya membuka suara. Mobil sudah berhenti, kegugupan disertai ketakutan berkumpul menjadi jadi satu di diri Aleena. "Tenang saja, sayang, kau hanya perlu tahu tempat mu berada setelah aku beritahu nanti. Aku tak peduli jika kau berniat kabur, itu takkan berhasil."

Pavel keluar dari mobil terlebih dahulu, dia menunggu di luar sana agar Aleena menyusulnya. Sialnya, Aleena seperti tidak diberikan kesempatan untuk menolak. Matanya menatap sekeliling sebelum keluar dari mobil, penjaga berbadan besar berotot berkeliling berjaga dan ada pula menjaga beberapa titik sudut mansion besar miliknya. Menyeramkan.

Kaki Aleena melangkah ragu ke arah Pavel di depan dasbor mobil, pria itu menyeringai melihat ketakutan di mata Aleena, akan tetapi ada sesuatu tentangnya yang ingin memberontak. Jelas, sangat jelas sampai Pavel menahan tawa sinis dari mulutnya.

Dia melangkah maju, mengikis jarak antara gadisnya. Lalu dia mencondongkan tubuhnya ke arah Aleena. "Ikuti aku, kalau kau mencoba kabur... hukuman akan semakin berat. Apa kau mengerti?"

Tatapan mengintimidasi tersebut sangat mengganggu Aleena. Mau tak mau kepalanya mengangguk. "Namun, Tuan, bolehkah saya tahu apa kesalahan saya?"

Pavel tidak menjawab, justru dia melangkah meninggalkan Aleena. Tentunya Aleena harus mengikutinya. Banyak rencana tersusun rapi, khusus untuk Aleena, gadis kecilnya yang nakal.

Sedangkan Aleena, sesungguhnya sangat kesal, tak terima diperlakukan seperti ini. Mengingat ia berada di kandang serigala tanpa belas kasih, keajaiban keluar dari situasi tersebut pastinya kecil kesempatannya, karena dominasi Pavel sangat mempengaruhinya sejauh ini.

"Ya, Tuhan. Semoga aku pulang dengan utuh nantinya," gumamnya, rapalan doa mengudara sambil membawa langkahnya mengikuti Pavel kembali, menyusul pria itu dari belakang punggungnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tenang Dalam Penderitaan

    Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Jebakan

    Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ternyata Punya Keluarga Kecil

    Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Dari Tuan Ellington

    Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Harus Tenang

    "Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Yang Hilang Belum Tentu Kembali

    Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status