Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.
Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin. Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka. “Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis. “Entahlah,” jawab pelayan lain, “Mungkin hanya akting. Kita lihat saja berapa lama dia bertahan.” Namun, Elise tidak menggubris komentar itu. Dia tahu, menjadi pelayan di rumah keluarga Barack adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan, gaji yang diatas rata-rata, semua orang tentu berlomba-lomba untuk bisa masuk ke rumah ini. Ketika tiba di ruang keluarga, Tuan Abraham sudah duduk di kursi rodanya, ditemani setumpuk koran pagi. Pria itu menegakkan punggungnya, meski kulit keriputnya menunjukkan usianya yang sudah mendekati sembilan puluh tahun. “Teh Anda, Tuan,” Elise berkata lembut, meletakkan cangkir di meja kecil di sebelah pria itu. Tuan Abraham mendongak, menatap Elise dengan tajam selama beberapa detik, sebelum senyumnya tiba-tiba muncul, mengejutkan siapa pun yang melihatnya. “Ah, Elise,” katanya, suaranya lebih hangat dari biasanya. “Kau tahu bagaimana caranya membuat teh ini tepat seperti yang aku mau. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis.” Elise tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa gugupnya. “Terima kasih, Tuan. Saya hanya mengikuti petunjuk Anda.” Pria tua itu tertawa kecil. “Kau terlalu rendah hati. Kau tahu, selama bertahun-tahun, tidak ada pelayan yang berhasil membuat teh seperti ini.” Ia mengangkat cangkirnya, mencicipi teh itu dengan penuh penghargaan. Elise tidak tahu harus menjawab apa. Sementara itu, Greta, yang kebetulan melewati pintu ruang makan, berhenti di tempat. Matanya membulat. Tuan Abraham, pria yang terkenal galak bahkan pada keluarganya sendiri, justru bersikap ramah pada Elise. “Dia pasti sedang tidak enak badan,” gumam Greta dengan nada iri. Kembali ke ruang keluarga, Elise memberanikan diri bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan Abraham?” Pria tua itu menggeleng, masih tersenyum. “Hanya ini. Tapi duduklah sebentar, temani aku membaca. Kau punya suara yang tenang, bagus untuk membaca berita politik hari ini.” Elise terkejut mendengar permintaan itu, tapi ia segera menurut. Dengan hati-hati, ia mengambil salah satu koran dan mulai membacakannya. Suaranya lembut, dan Tuan Abraham mendengarkan dengan tenang, sesekali mengangguk atau mengajukan komentar singkat. Dari kejauhan, Reiner berdiri di balik pintu, mengamati interaksi itu. Ia hampir tidak percaya melihat kakeknya bersikap selembut ini pada seseorang. Biasanya, kakeknya mengusir pelayan baru dalam waktu seminggu, tapi Elise tampaknya adalah pengecualian. “Apa yang spesial dari dia?” gumam Reiner pelan, matanya terus mengawasi Elise. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya penasaran, meski egonya menolak untuk mengakui perasaan itu. ---- Ruangan keluarga sudah mulai sepi ketika Abraham memberi isyarat kepada Elise untuk mendekat. Dengan langkah ragu, Elise berjalan menghampiri pria tua itu. Di sisi lain ruangan, Reiner sedang duduk di sofa, menyesap segelas anggur dengan santai, tapi tatapannya terus mengamati kejadian tersebut. “Elise,” suara Abraham terdengar lembut tapi tegas, “sudah malam. Tidak aman bagimu pulang sendiri. Reiner akan mengantarmu.” Reiner segera meletakkan gelasnya dengan suara keras yang disengaja, menatap kakeknya dengan sorot keberatan. “Kakek, aku yakin dia bisa pulang sendiri. Biarkan dia memanggil taksi atau penjaga rumah bisa mengantarnya. Aku tidak ada waktu untuk itu.” Abraham hanya melirik sekilas ke arah Reiner, senyum kecil di wajahnya yang seakan berkata kau tak punya pilihan, Nak. “Aku tidak peduli bagaimana caramu menghabiskan waktu, Reiner. Kau akan mengantarnya.” Elise, yang merasa menjadi beban, langsung angkat bicara. “Tuan Abraham, terima kasih atas perhatiannya, tapi saya bisa pulang sendiri. Tidak perlu merepotkan Tuan Reiner.” “Tidak ada debat, Elise,” potong Abraham, suaranya tak menyisakan ruang untuk penolakan. “Aku tidak ingin ada masalah terjadi padamu. Reiner akan memastikan kau pulang dengan selamat.” Sadar bahwa membantah hanya akan memperburuk situasi, baik Elise maupun Reiner akhirnya menyerah. Suasana di dalam mobil terasa mencekam, terutama dengan keheningan yang pekat. Reiner memegang kemudi dengan sikap santai tapi tegang, sesekali melirik Elise melalui kaca spion. Elise duduk dengan tangan di pangkuan, pandangannya tertuju pada pemandangan kota yang samar di luar jendela. Setelah beberapa menit berlalu, Reiner akhirnya membuka suara. “Jadi...,” ia mulai dengan nada datar, “Bagaimana kau bisa bekerja di pesta waktu itu? Tidak mudah, aku tahu. Para pelayan di sana tidak hanya harus melayani makanan. Beberapa bahkan diminta melakukan hal-hal... lain.” Nada sinis dalam suaranya tidak terlewatkan oleh Elise. Dia menoleh perlahan ke arah Reiner, matanya menatap pria itu dengan tenang. “Apa maksud Tuan Reiner?” tanyanya tanpa emosi. Reiner mengangkat bahu, tak menoleh dari jalan. “Kau tahu maksudku. Pekerjaan seperti itu bukan untuk wanita baik-baik. Aku paham betul orang-orang di sana.” Elise tersenyum kecil, bukan karena terhibur, tapi karena terbiasa dengan prasangka semacam itu. “Tuan Reiner, saya hanya bekerja untuk menghasilkan uang. Apa yang orang lain pikirkan atau lakukan, bukan urusan saya. Saya di sana untuk bekerja, bukan untuk menilai atau dinilai.” Jawaban itu membuat Reiner terdiam. Ia tak menyangka Elise akan menanggapinya dengan tenang tanpa sedikit pun terguncang oleh ucapannya. Alih-alih merasa puas, ia justru merasa sedikit... gelisah. “Elise,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan, “Kau tidak menjawab pertanyaanku. Bagaimana kau bisa bekerja di sana?” Elise menatap ke luar jendela lagi, seolah tidak mau melanjutkan pembicaraan. Tapi setelah beberapa detik, dia menjawab dengan nada datar. “Seseorang merekomendasikan saya. Saya butuh uang, dan pekerjaan itu membayar dengan baik.” Reiner mendengus pelan, setengah mengejek. “Jadi kau benar-benar hanya mengandalkan keberuntungan. Ah... atau memang uang bisa membelimu.” Elise tersenyum tipis, menahan rasa tak enak mendengar sindiran itu. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Elise membuka pintu dan keluar dengan gerakan anggun, lalu menoleh ke arah Reiner. “Terima kasih sudah mengantar, Tuan Reiner. Selamat malam.” Reiner hanya mengangguk kecil, tapi matanya masih mengikuti Elise yang berjalan masuk ke rumahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa penasaran. Wanita itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Dan untuk alasan yang tak ia pahami, hal itu mengganggunya. Sebelum mobil melaju, suara benda keras seperti terjatuh dari ketinggian. Reiner melihat Elise masuk ke dalam rumah dengan cepat seperti terjadi sesuatu. ----Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d