Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.
Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese. Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawat. Piring-piring kotor terlihat bertumpuk di sudut ruangan. Namun yang lebih mengejutkan adalah suara keras dari dalam rumah. Reiner menegang. Elise, yang tadinya tampak tenang, terlihat terkejut mendengar suara ribut dari dalam rumah. “Ayah, apa yang terjadi?” Elise bertanya, suaranya agak gemetar. “Jangan keluar dulu!” terdengar suara berat seorang pria. Tubuhnya besar, wajahnya kasar, dan matanya dipenuhi amarah. Dia memegang sebuah pisau besar yang mengkilat, mengarahkannya ke arah Elise. Di belakangnya, seorang pria paruh baya yang terlihat ketakutan sedang mendekat, bersama seorang anak kecil yang tampak bingung. Reiner bergerak cepat. Tanpa memberi peringatan lebih lanjut, dia langsung melangkah masuk ke dalam rumah, menyaksikan situasi yang jelas-jelas tidak menguntungkan. Sebelum orang itu sempat menyentuh Elise, Reiner sudah ada di sana, menghalangi dan menatap tajam ke arah pria yang memegang pisau. “Lepaskan dia,” ujar Reiner dengan suara dingin, matanya tajam menatap pria itu. Pria itu terkejut, tak menyangka ada orang lain yang datang begitu cepat. Ia merenggut pisau itu sedikit, lalu mengarahkannya kepada Reiner. "Kau pikir siapa kau? Jauhkan dirimu!" Reiner hanya tersenyum dingin, langkahnya sigap. Dengan satu gerakan cepat, ia menangkis pisau itu dengan tangan kosong, membuat pria tersebut kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, Reiner menghantamnya dengan pukulan keras yang membuat pria itu terjatuh ke lantai. "Pergi!" seru Reiner, suaranya rendah namun penuh kekuatan. “Jangan pernah datang ke sini lagi.” Pria itu, yang sudah tak mampu melawan, segera melarikan diri ke luar rumah, meninggalkan Elise, ayahnya, dan adiknya yang terpojok dengan ketakutan. Reiner menatapnya sejenak, memastikan bahwa dia tidak akan kembali. Ketegangan perlahan mereda. Reiner menoleh ke Elise, yang sudah berjongkok di samping ayah dan adiknya, memegang tangan mereka dengan cemas. Reiner bisa melihat betapa tubuh Elise gemetar, tetapi wajahnya penuh rasa terima kasih yang dalam. Elise menatap Reiner dengan mata yang penuh haru. Namun, tidak ada kata yang terucap darinya. Hanya keheningan yang mengisi udara. Sesaat, Reiner merasakan kegelisahan di hati Elise, meskipun dia mencoba menutupi perasaan itu. Elise bangkit perlahan dan berjalan ke arah keluarganya. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lirih. Ayah Elise, yang masih memegangi perutnya yang terluka akibat dorongan sebelumnya, mengangguk lemah. "Terima kasih, Nak," ujarnya, wajahnya penuh syukur. Adiknya hanya diam, masih terkejut. Reiner berdiri diam di tempatnya, memperhatikan mereka. Meski dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, ada rasa puas dalam dirinya. Baginya, kejadian ini hanya sebuah kejadian biasa. Namun, dalam benaknya, ada hal yang membuatnya berpikir lebih dalam tentang Elise dan keluarganya. Elise yang tadinya tampak begitu tegas, kini terlihat lebih rapuh di hadapan keluarganya. Reiner yang merasa sedikit tak nyaman, memutuskan untuk pergi. “Aku akan pergi sekarang,” katanya datar, seperti biasa. Namun sebelum dia berbalik, Elise berteriak pelan, "Terima kasih, Tuan Reiner." Reiner menoleh dengan singkat, memberikan senyuman tipis yang lebih seperti ekspresi keingintahuan daripada tanda terima kasih. Dia melangkah keluar dari rumah yang penuh dengan kenangan kelam ini, meninggalkan Elise dengan keluarganya yang kini lebih tenang, meski masih terhimpit rasa cemas. Sekilas, Elis melihat luka sayatan di lengan Reiner. Sebelum Reiner keluar, Elise buru-buru menyusul. "Tunggu, Tuan!" Reiner berhenti. Dia tampak meringis, mungkin menahan rasa perih pada lengannya. "Kenapa lagi?" tanyanya ketus. "Anda terluka, Tuan. Biarkan saya mengobati." "Tidak perlu. Kamu urus saja dulu keluargamu di dalam." Elise terdiam lalu menoleh ke belakang. Dia melihat adik dan ayahnya masih terduduk saling menguatkan di sana. Kemudian, Elise hanya bisa menunduk. "Sekali lagi saya minta maaf, Tuan." Reiner tidak menanggapi, melainkan masuk ke dalam mobil. Ketika Elise membungkukkan badan, Reiner membuang muka seolah-olah acuh. ****Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d