Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.
Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan. "Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal. Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri." "Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini." Elise berhenti sejenak, "Dan apa yang akan Ayah lakukan sekarang? Menunggu mereka kembali besok? Atau lari lagi seperti dulu?" Eddie mendengus, lalu menarik tangannya dari Elise dengan kasar. Ia duduk bersandar di ranjang reyot, pandangannya terpaku pada langit-langit yang penuh retakan. Eddie: "Aku takkan lari. Tapi kita butuh uang, Elise. Banyak uang. Kalau tidak, kita semua tamat. Harusnya kau sudah dapat uang sekarang." Elise berusaha tenang, "Aku sudah bekerja keras untuk Ayah dan Lily. Gaji dari Tuan Abraham cukup untuk makan dan kebutuhan lainnya. Kita tidak perlu uang tambahan kalau Ayah bisa lebih hemat. Tapi... tunggu bulan depan, aku bahkan baru mulai kerja hari ini." Kata-kata Elise seperti memercikkan api. Eddie menoleh dengan tatapan tajam, wajahnya memerah. "Cukup?! Kau pikir itu cukup untuk membayar utang kita? Kau tidak tahu apa-apa! Mereka akan kembali, Elise. Dan kali ini mereka tidak akan hanya mengancam—mereka akan menghancurkan kita!" Suara Eddie menggema di kamar yang sempit, membuat Elise terdiam. Ia menunduk, tangannya menggenggam perban yang belum selesai ia lilitkan di luka Eddie. "Aku melihat lelaki itu tadi. Orang yang mengantarmu pulang. Mobilnya mewah. Wajahnya tidak asing bagiku. Aku baru ingat, dia cucu Abraham Barack, kan? Tuan Reiner itu, pemilik perusahaan tambang minyak yang sering muncul di berita." Elise tertegun. Ia merasa ada sesuatu yang berat dalam suara ayahnya, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Tidak mau berpikir jauh, tapi Elise tahu bagaimana pemikiran sang ayah. "Kau tahu, Elise, ini kesempatan langka. Kau tinggal di rumah mereka, bekerja untuk mereka. Kau bisa… mendekati dia. Reiner pasti punya uang lebih dari cukup untuk membantu kita." Elise dengan tegas, menyahut, "Ayah, aku tidak akan melakukan itu. Aku bekerja untuk kakeknya, bukan dia. Dan aku tidak mau memanfaatkan siapa pun. Tuan Reiner bukan orang sembarangan." Eddie memukul lututnya dengan frustrasi. "Kau keras kepala seperti ibumu! Kau pikir harga dirimu bisa menyelamatkan kita dari kehancuran? Kau mau adikmu hidup seperti ini? Tanpa masa depan? Kalau kau tidak melakukan sesuatu, kita semua akan hancur!" Elise merasakan dadanya sesak. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa ini semua adalah kesalahan Eddie sendiri, tapi ia tahu kata-kata seperti itu tidak akan berguna. Di balik amarah ayahnya, ada ketakutan yang nyata. Ketakutan akan kehilangan segalanya, termasuk nyawa keluarganya. Elise mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan namun tegas. "Ayah, aku akan tetap bekerja untuk Tuan Abraham. Itu cara terbaik untuk membantu kita. Aku tidak butuh bantuan dari siapa pun, apalagi Tuan Reiner. Aku juga tidak mau cari masalah." Eddie hanya mendengus, tidak puas, tapi juga tidak membalas. Elise berdiri dan merapikan kotak obat yang ia bawa, lalu meninggalkan kamar tanpa menoleh ke belakang. Saat pintu tertutup, air matanya mengalir tanpa suara. Di luar kamar, Elise bersandar pada dinding dingin, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Ia tahu ayahnya tidak akan berhenti memaksanya. Dan di dalam hati kecilnya, ia mulai merasa goyah. --- Elise duduk di tepi ranjangnya, mencoba meredakan hatinya yang masih bergemuruh. Kamar kecil itu adalah satu-satunya ruang yang memberinya sedikit ketenangan di rumah yang penuh konflik. Namun, malam ini, ketenangan itu hanya sesaat. Ketukan pelan di pintu menyentaknya dari lamunannya. Lily ragu-ragu muncul dari balik pintu, "Kak Elise, aku boleh masuk?" Elise segera mengusap air matanya dengan punggung tangan, memastikan wajahnya terlihat biasa saja. "Tentu, masuk saja, sayang." Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok mungil Lily Morgan yang berdiri ragu. Bocah sepuluh tahun itu mengenakan pakaian tidur sederhana, rambutnya yang sedikit kusut membingkai wajah kecilnya yang tampak sayu. Lily berjalan mendekat, lalu berhenti di depan Elise. Matanya yang bulat mengamati kakaknya dengan cermat. "Ayah tidak melukai Kakak lagi, kan?" Elise tertegun. Pertanyaan polos itu seperti tusukan di dadanya. Lily terlalu kecil untuk harus menyaksikan semua ini, terlalu muda untuk memahami beban yang dipikul keluarganya. Elise memaksakan senyuman tipis, meskipun hatinya terasa berat. Elise menjawan dengan lembut, "Tidak, Ayah tidak melukaiku. Kakak hanya lelah saja." Lily tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Elise buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Kau sudah makan malam, Lily? Kalau belum, kita masak sesuatu, ya?" Mata Lily berbinar sedikit, meskipun ia masih tampak khawatir. "Aku belum makan… tapi kita masih punya bahan untuk masak, Kak?" Elise mengangguk, bangkit dari ranjang, dan menggenggam tangan Lily dengan lembut. Elise: "Ayo kita lihat. Pasti ada sesuatu yang bisa kita masak bersama." ---Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d