“Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”
Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.
“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.
“Tapi tidak ada kuncinya.”
“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”
“Hmm ... benar juga.”
Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.
“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”
Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.
“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”
Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.
Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.
“Nah, ada satu kamar lagi yang kosong. Sudah Nenek bersihkan. Bold bisa tidur di sana,” kata Gracie sambil mengelap tangan usai mencuci piring dibantu Bold.
Shaw menelungkup di ranjang kayu, menerima pengobatan dari Spencer. Edvard telah mengajari sang kakek cara membaluri luka Shaw.
“Bold tidur di kamarku saja, Nek. Ranjangnya lebih besar dan kasurnya lebih empuk.”
“Ya sudah, kalian atur saja bagaimana baiknya.”
Gracie melirik meja dan area dapur sepintas lalu, memastikan semua telah bersih dan rapi, kemudian mengecup kening Shaw dan mengusap kepalanya.
“Selamat malam.”
Spencer yang sudah selesai membaluri luka Shaw pun melakukan hal yang sama seperti istrinya dan keduanya lekas masuk ke kamar mereka.
“Biar saya saja yang tidur di kamar itu. Tuan tetaplah tidur di kamar Tuan.” Bold akhirnya membuka suara setelah sedari tadi hanya menyimak.
Shaw mendengkus kesal, mengubah posisi duduk menjadi menghadap Bold sepenuhnya. Sejenak ia menghirup udara dalam dan mengembuskannya agak kasar.
“Bold, dengarkan aku. Pertama ….”
Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya.
“Aku sudah teramat sangat sering tidur di sana,” katanya, menekan saat mengucapkan 'teramat sangat sering'. “Bisa dibilang aku sangat jarang dan hampir tidak pernah tidur di kamar sebelah karena kamar itu selalu dikunci dan kuncinya bukan aku yang pegang. Kedua ….”
Shaw mengangkat jari tengah.
“Tidurku tidak banyak bergerak karena lukaku masih belum sembuh. Jadi, kau tidur di kamarku saja. Ketiga ….”
Shaw mengangkat jari manis dan menampilkan wajah kesal.
“Hentikan sikapmu yang seperti itu! Sudah kukatakan aku tidak menyukai perubahanmu. Jadi, bersikaplah seperti biasanya. Aku lebih suka begitu.”
Bold menghela napas. Mungkin karena Shaw masih anak-anak dan tidak terbiasa, jadi, justru tidak suka ketika orang lain bersikap demikian padanya.
Lumrahnya orang dewasa di Zanwan akan biasa saja dan bahkan senang jika ada yang mau menjadikan mereka sebagai tuan atau majikan, terlebih oleh Bold yang seorang prajurit tersohor di Zanwan. Baik distrik Aloclya maupun distrik Acilav, kedua penduduknya sudah tidak asing dengan nama Bold.
“Ya sudah, cepatlah tidur. Malam semakin larut.”
Bold mengalah, merasa akan percuma saja menjelaskan. Mau bagaimanapun, anak seusia Shaw, seperti Shaw, lebih membutuhkan seorang teman dibandingkan seorang budak.
Shaw mengangguk, turun dari ranjang kayu dan berjalan ke kamar. Ia berhenti di ambang pintu, menoleh pada Bold.
“Selamat malam, Bold. Tidurlah yang nyenyak. Besok kita akan melakukan perjalanan panjang,” ujar Shaw seraya tersenyum, lalu memasuki kamar.
Bold bergeming sesaat sebelum menyusul meninggalkan dapur, pergi ke kamar Shaw. Di pembaringan, ia mulai melamun.
Untuk ke sekian kali, sekaligus yang terakhir di hari ini karena tidak lama lagi pergantian hari, Bold termenung. Terdiam ia, kehabisan kata-kata, memandangi awang-awang dalam bisu, membiarkan sang malam menyelimuti. Yang dirasakannya, sudah lama sekali Bold tidak tinggal bersama sebuah keluarga seperti sekarang. Berada di dalam sebuah keluarga yang hangat. Bold bahkan sudah menyerah untuk merasakan itu lagi, memilih fokus latihan dan latihan, pun tidak pernah terlintas akan mengalaminya lagi karena ia tahu benar ia bukan seseorang yang mudah terbuka dan bergaul.
Mata terpejam dalam bahagia kalbu. Jernih pikiran dan ringan beban di pundak menyebabkan senyum tergurat lebih lebar. Beberapa bulir air mata hasil perpaduan rindu, bahagia, dan haru menjadi penutup terjaga Bold sebelum hari berganti.
Jika saja ada rasa yang bisa dibeli selain cokelat, stroberi, vanila, atau sejenisnya, para pencari kebahagiaan akan bersuka hati menukar harta mereka dengan rasa bahagia. Ketenteraman dan ketenangan yang sukar dirasa pun akan masuk ke dalam daftar jajaran yang paling dicari. Maka dari itu, bersyukurlah jika semua masih dalam dekap sebab tidak semua orang seberuntung itu untuk memilikinya. Entah siapa yang salah. Merekakah yang dulu terlalu egois dan membudak diri pada ambisi tanpa peduli benar salah, semesta dan waktukah yang berkata bagian mereka telah cukup untuk sementara.
Pagi harinya, awal sekali Shaw bangun. Ia tidur lebih cepat semalam, merasa kamar dan tempat tidurnya begitu hangat dan nyaman.
“Ayo, makan yang banyak, ya!”
Shaw sedang di halaman.
Rumput-rumput segar teronggok di kotak kayu persegi rendah 1x1 meter setinggi sepuluh sentimeter dengan bagian atas terbuka. Shaw membagi sama rata rumput di kedua kotak agar kedua kuda mendapat makan yang sama banyak dan tidak merasa Shaw berat sebelah.
Tidak peduli apa, Shaw selalu meyakini bahwa hewan-hewan memiliki perasaan yang juga bisa sensitif, dapat mengingat hal-hal kecil yang justru seringkali terlewatkan oleh beberapa manusia.
“Shaw, minum dulu tehnya selagi hangat!” Gracie berseru dari dapur, terlihat mencuri pandang dari jendela berjeruji di sana.
“Iya, Nek.”
Sekali lagi rumput dikeluarkan dari karung, ditaruh ke kedua kotak makan kuda. Selesai, Shaw beranjak mengambil dua ember diisi air, menaruhnya di masing-masing sisi kayu persegi. Ia lantas pergi lagi menuju sebuah tiang bambu yang kokoh beberapa meter di belakang kuda, memastikan tali kekang terikat kuat dan masuk ke dapur setelahnya.
“Sudah hampir dingin,” gumam Shaw, menjatuhkan diri di kursi meja makan dan meminum tehnya.
Derit pintu depan terdengar, muncul dari baliknya Spencer dan Bold. Pagi-pagi pula Bold sudah bangun, mengantar Spencer ke pasar yang teringin mencari daging atau ikan.
“Lihat apa yang Kakek bawa!” Spencer berseru semangat, mengangkat ikan salmon sepanjang lengan orang dewasa.
“Wooaaahhhh ... besar sekali, Kek!”
Shaw turun dari kursi dan berlari mengampiri Spencer, melihat ikan itu dari dekat.
“Kakek dapat di mana?”
“Dari pedagang di pasar. Kebetulan ada yang baru pulang melaut, hasil tangkapannya banyak dan dia memberikan ini pada Kakek cuma-cuma. Katanya sebagai tanda terima kasih karena dulu Kakek membantunya membuat kapal.”
“Ooh ... yang dulu itu? Kakek membantunya cuma-cuma juga, 'kan? Kata Kakek orang itu sedang tidak punya uang.”
“Benar.”
Spencer berjalan ke tempat pencucian baju. Satu area berukuran 2x2 meter dekat kamar mandi dengan dua keran yang tingginya satu meter dari lantai.
“Dia sangat ingin melaut karena perairan Zanwan kaya akan sumber daya alam bawah laut terutama ikan. Meski harus melalui proses cukup panjang dan memakan waktu untuk mengurus izinnya, dia tetap bersikeras. Bersyukur akhirnya mendapat izin untuk melaut dan mendapatkan banyak ikan setiap kali pulang,” tutur Spencer sambil membersihkan dan memotong ikan. Bold membantu.
“Begitu yaa ....” Shaw manggut-manggut. Matanya beralih pada Bold. “Waaahhh ... kau pandai memotong ikan, Bold! Sejak kapan?”
Shaw masih saja mengekor. Ia berjongkok di luar area pencucian, menatap antusias. Wajah Shaw berseri-seri.
“Aku dulu biasa memotong ikan. Pernah ikut melaut juga," jawab Bold dengan suara datar tanpa menoleh, sibuk menggerakkan pisau membelah ikan bersama Spencer.
“Kalau kata Nenek, Bold itu petualang sejati. Pengalamannya banyak meski usianya masih muda. Dia sudah mencoba banyak hal sejak kecil sebelum berakhir di pasukan elite,” kata Gracie, menimpali sambil memindahkan sayur dari panci ke mangkuk berukuran sedang.
Shaw menganga, mengedipkan mata dua kali, lalu mengembalikan pandangan ke depan.
“Benarkah?”
“Benar. Dulu Kakek sering melihat Bold berjualan di pasar, bercocok tanam di ladang, menggembalakan kambing di bukit, mencari panasea di luar bukit, membantu konstruksi pembangunan, dan masih banyak lagi. Bold rajin lagi pekerja keras,” puji Spencer.
Shaw menganga lagi dibuatnya. Ia berucap dalam pikirannya, “Kalau begitu, Bold mungkin tahu banyak tentang Zanwan. Setidaknya geografisnya.”
Bagian salmon yang selesai dipotong-potong dan telah mencapai satu rantang penuh dicuci bersih, lalu dibuat olahan daging bakar berbalut bumbu rempah untuk dibawa Shaw dan Bold sebagai bekal. Buah-buahan pun tidak luput dimasukkan ke dalam ransel untuk bekal. Bekal yang cukup banyak karena perjalanan mencari panasea ke luar desa secepat-cepatnya memakan waktu dua hari.
Siap pergi setelah makan siang, Spencer dan Gracie mengantar ke luar dari pintu dapur karena kuda masih di tempat makannya.
“Bekal sudah Nenek masukkan semua di ransel. Nanti makan kalau sudah waktunya makan. Jangan terlambat. Mengerti?”
Gracie merapikan pakaian Shaw termasuk topi yang dikenakannya. Shaw hanya melempar anggukan patuh dengan jawaban singkat.
“Mengerti, Nek, terima kasih.”
“Bold, nanti tolong bantu Shaw mengganti obat, ya. Nenek juga sudah masukkan obatnya di ransel.”
“Baik.”
Spencer mendekat, mengambil tempat di samping Gracie.
“Pesan Kakek cuma tiga, menambahkan dari Nenek. Jaga diri baik-baik, jaga sikap, dan berhati-hati. Adapun manikam itu jika dijatuhkan ke dalam limbahan sekalipun, niscaya tidak hilang cahayanya. Maksudnya, seseorang yang asalnya baik, jika ia sedang kekurangan atau miskin sekalipun, menjadi suruhan, bawahan, atau budak orang, maka tabiatnya, kelakuannya, dan budi bahasanya akan tetap baik. Tata krama adalah kualitas yang tidak akan pernah kedaluwarsa. Maka dari itu, kalian harus bisa menjaga sikap, mengontrol emosi, dan mengendalikan diri. Mengerti, 'kan, maksud Kakek?”
“Mengerti, Kek, terima kasih.”
Shaw memeluk Gracie, bergilir dengan Spencer sementara Bold bergeming.
Bold melangkah ketika Spencer memintanya mendekat, lalu menahan napas saat kakek Shaw itu mendekap erat, berganti dengan Gracie.
“Kami pergi dulu!”
Shaw memutar balik kuda dan menghentaknya ke pekarangan depan, lalu menjauh, menuju pemukiman distrik Acilav.
Dari distrik Acilav, luar desa bagian timur dan utara didominasi hamparan padang rumput. Tidak banyak panasea di sana. Adapun sisi barat yang cukup melimpah panaseanya sengaja Shaw hindari untuk dituju lebih dahulu sebab bisa mendatangkan curiga orang lain dan para jagawana. Karena itu, Shaw dan Bold memutuskan memulai perjalanan dari selatan, daerah satu-satunya di mana terdapat gunung tertinggi dan terbesar di Zanwan, air terjun, sungai, serta hutan yang lebat.
Tapal kuda nyaring penuh semangat menghentak jalanan. Anginnya sejukkan semua yang sudah memulai beraktivitas di luar rumah, berpadu dengan hangatnya sinar matahari pagi, mengembuskan helaian rambut Shaw dan Bold, membuatnya menari-nari.
“Dari caramu berkuda, kau bisa menjadi panglima di kemudian hari. Hanya jika kau menapaki jalan itu,” kata Bold dalam hati, memandang Shaw dari belakang.
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.