“Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.
“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”
Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.
“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”
Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.
Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.
“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”
Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap akan timbul.
“Tapi, Tuan Muda ….”
“Turuti kata-kataku kalau tidak ingin sesuatu terjadi pada kalian. Ayah mungkin akan mempertimbangkan dirimu, Bexter, tapi aku tidak jamin akan berlaku sama pada orang-orang yang datang bersamamu.”
“A ….”
Memang itu yang memenuhi pikiran Bexter. Ia merutuki diri karena terlambat datang. Hukuman pantas dijatuhkan untuknya. Di sisi lain, akan terlalu dalam sesal baginya kalau para prajurit yang datang bersamanya harus mengalami hal serupa atau mungkin lebih buruk.
“Baiklah. Maaf dan terima kasih, Tuan Muda.” Sepenuh hati Bexter mengatakannya.
Bexter lekas menunggangi kudanya.
“Silakan naik, Tuan Muda.”
Bailey menyarungkan pedang dan mengambil anak panah, lalu menaiki kuda yang ditunggangi Bexter.
Tatap khawatir Ascal menyambut begitu Bailey memasuki mansion. Hampir saja Bailey bertanya, 'Anda siapa?' karena terlalu terkejut dengan reaksi Ascal. Namun, tidak ada kata-kata yang keluar baik dari mulut Bailey maupun Ascal.
Melalui Jillian, Ascal melarang Bailey untuk pergi lebih jauh sementara waktu tersebab penyelidikan masih berlangsung. Sesudah penyelidikan selesai, memastikan tidak ada lagi tahanan yang kabur ataupun prajurit yang berkhianat, melalui Jillian pula Ascal mengizinkan Bailey pergi ke luar distrik Aloclya lagi karena Bailey terus merengek pada ibunya.
Terkadang Ascal berpikir bahwa mengizinkan Bailey tentang suatu hal adalah keputusan yang kurang tepat. Semua karena putranya itu akan datang lagi setelahnya dengan permintaan izin untuk hal yang lebih besar. Jillian akan selalu meledek tiap kali Ascal mengomel tentang itu. Seperti saat ini.
“Sudahlah ... biarkan saja. Kau dulu juga begitu dan kau sama tidak sukanya ketika keinginanmu dipersulit,” kata Jillian, berkomentar usai puas tertawa, duduk di depan meja rias seraya menyisir rambut. Berperantarakan cermin, mata Jillian sesekali melirik Ascal yang terduduk di peraduan sembari membaca buku.
“Kau selalu menggunakan itu,” balas Ascal tanpa menoleh.
“Aku tidak akan menggunakannya kalau itu tidak benar, tetapi faktanya selalu mengatakan iya. Bailey persis sepertimu dalam banyak hal. Kalau saja aku lupa bahwa kau sudah dewasa, aku pasti akan berpikir Bailey adalah dirimu setiap kali aku melihatnya.”
“Baiklah … baiklah, kuizinkan. Besok pagi kau sampaikanlah padanya.”
Ascal menutup buku, menaruhnya di nakas dan berbaring. Ia menatap Jillian yang berdiri dan berjalan menghampiri, lalu menjatuhkan diri di sebelahnya.
“Besok aku akan langsung ke dungeon. Tahanan itu masih tidak mau buka mulut. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan sendiri sebelum eksekusi jatuh padanya. Aku akan makan sekembalinya dari sana.”
Ascal menarik selimut sebatas dada dan memejam.
Jillian berbaring menghadap Ascal. Lekat-lekat ia tatap suaminya. Andai hatinya bisa bicara selantang mulut atau setidaknya bisa didengar orang lain, siapa pun, si pendengar pastilah akan sering mendengar senandung puisi kesedihan darinya.
Bukan Jillian menyesal atas keputusannya menikahi Ascal, ia tahu benar itu adalah keputusan yang tepat, menurutnya. Namun, pengandaian yang acapkali bertandang menjatuhkan dirinya lagi dan lagi pada titik sendu yang pahit.
Tidak jauh berbeda dengan Ascal, Jillian pun masih kerapkali melanglang ke masa lalu, menggemakan dua nama dalam hatinya bersama rindu dalam sayatan kepedihan. Tidak peduli betapapun indah kenangan yang diingat ketika menggaungkan dua nama itu, pada akhirnya Jillian selalu menangis.
Tidak ia tunjukkan di depan orang lain, tentu saja. Jillian harus terlihat tegar di depan orang lain, termasuk Ascal, walau air mata akan ia biarkan meluruh jika Ascal tidak melihatnya.
“Hao Yi ... Maru.” Jillian membatin, lirih nan sendu, membiarkan satu dua tetes air mata meluruh, kemudian ia memejam.
Rindu memanglah indah. Namun, terasa kejam bagi beberapa orang. Harap terobati dengan temu, fakta justru membawa pada bayang semu. Tidak bisa diraih, tidak jua bisa digenggam. Hanya bisa diingat dan ditangisi. Irama senandung yang syahdu lagi pilu membahana tanpa suara, mengguncang sukma yang makin meraung. Teringin diri mendekap raga sang pemilik rindu, tetapi hanya mampu menyentuh fatamorgana.
Pagi menjelang, rona Jillian telah kembali seperti sedia kala. Sesekali ia terkekeh menyaksikan Bailey menyantap sarapan. Kegiatan yang menunggu telah mempercepat tempo sarapan Bailey.
Usai sarapan, Bailey segera pergi ke kamarnya. Dalam sekejap ia sudah keluar lagi.
“Bu, aku pergi dulu.”
“Hum. Hati-hati!”
“Tentu!”
Satu pelukan singkat Bailey berikan pada Jillian, kemudian bergegas keluar melalui pintu samping rumah dan berlari ke kandang kuda.
Jillian beranjak ke samping rumah di sisi yang lain, menghampiri seseorang yang terduduk di salah satu dahan, tersembunyikan oleh rindangnya dedaunan dan cabang-cabang dahan lain.
“Ikuti!” titah Jillian lirih tanpa menoleh.
Seperti tidak ada apa-apa, Jillian memetik bunga lavender di taman dekat pohon itu. Sang sosok menunduk sesaat melihat Jillian mendekat, lalu mengangguk kecil mendengar titah yang diberikan padanya. Segera ia melompat dari dahan, keluar pagar secepat kilat.
Jillian membawa masuk bunga-bunga lavender yang ia petik, mencuci dan menaruhnya di beberapa vas bunga. Bunga-bunga yang ia cabut dari vas ia bawa keluar, meminta tukang kebun menaruhnya di tempat limbah untuk pupuk.
Sesudah itu, Jillian pergi ke gazebo di halaman belakang, menghampiri Selise dan putrinya. Ia mengambil alih Bariela, mendudukkannya di pangkuan agar Selise bisa pergi untuk sarapan.
“Ipuuu!”
Bariela memainkan pipi Jillian sambil meracau. Jillian menanggapinya dengan kekehan.
“Itu namanya bunga matahari.”
Jillian mengangkat tangan kanan Bariela, menunjuk pada hamparan bunga matahari di samping gazebo. Sekelumit kenangan terlintas di ingatan, Jillian terdiam.
“Kau tahu? Bunga matahari itu cocok untukmu,” ujar seorang remaja lelaki yang duduk di bawah pohon, menunjuk hamparan padang bunga matahari di depannya.
“Benarkah? Mengapa?” Remaja perempuan di sampingnya bertanya.
“Bunga matahari bisa membantu menangkal radiasi, membuat udara di sekitarnya menjadi lebih bersih. Sepertimu.” Sang remaja laki-laki mengulas senyum. “Kau selalu bisa membuat suasana menjadi cerah dan hangat. Kehadiranmu membawa atmosfer yang bagus hingga membuat orang-orang menemukan senyum mereka lagi.”
“Be … begitukah?" Remaja perempuan bertanya lagi dengan suara yang lebih pelan. Tersipu ia, menahan gugup seiring semburat merah muncul di kedua pipi.
“Nyonya, ini tehnya.”
Suara kepala pelayan menarik atensi Jillian. Tersadar ia dari lamunan.
“Eh? Ah, ya, terima kasih, Bibi.” Jillian tersenyum kikuk.
Myriam, sang kepala pelayan, memandang bingung pada reaksi dan pipi Jillian yang merona, tetapi kemudian mengerti ketika menyadari Jillian tengah duduk menghadap hamparan bunga matahari.
“Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.”
Myriam menundukkan kepala sekilas. Tata krama bagai lem yang melekat padanya.
“Bibi Myr ….”
Panggilan Jillian mencegah Myriam yang hendak berbalik.
“Iya, Nyonya?”
“Apa Bailey sudah pergi? Bagaimana Ascal? Dia sudah pulang?”
“Tuan Muda baru saja pergi dan Tuan Besar sudah pulang. Tadi saya lihat pergi ke ruang kerjanya bersama Profesor Baldric.”
Jillian mengangguk. Myriam kembali pada aktivitasnya. Di detik berikutnya, Jillian tersadar kalau Bariela tidak lagi ada di pangkuannya, begitu pun di dalam gazebo.
“Bariela?!”
Jillian berdiri, mengedarkan mata ke sekeliling dengan panik. Tidak lama dari itu, ocehan Bariela terdengar.
“Mataali … mataali.”
Jillian hampiri sumber suara sambil memperhatikan tiap celah tangkai bunga di sekeliling, lalu dilihatnya Bariela terduduk dengan kedua tangan menyentuh-nyentuh bunga matahari.
“Oh, kau membuat Ibu khawatir.”
“Mataali … mataali.”
Jillian berjongkok, membiarkan dan menemani Bariela memainkan bunga matahari dan terus berceloteh. Baru ia gendong dan bawa Bariela ke gazebo saat merasa matahari sudah meninggi bersamaan Selise yang kembali dari kegiatan paginya.
“Ada sesuatu yang terjadi? Tidak biasanya kau pergi cukup lama dan kembali dengan wajah kusut.”
Jillian menyesap tehnya.
“Teresa meminta saya untuk menemaninya pulang sebentar, lalu saat hendak kembali, kami melihat kerumunan di alun-alun. Ternyata ada seseorang yang telah mendapat penggal kepala dan itu membuat saya mual karena sedang makan kue ketika tidak sengaja melihat kepala yang tergantung itu.”
“Kau makan kue sambil berdiri?”
Selise mengangguk lesu. Masih tercetak jelas di pikirannya, bayangan kepala yang digantung di alun-alun. Sesaat kemudian ia bergidik.
“Siapa suruh makan sambil berdiri.” Jillian berujar enteng, setengah menegur setelah meledek, lalu terkekeh melihat wajah Selise yang makin kusut.
Selise mengambil tempat di dekat Bariela. Kelopak bunga matahari berceceran di sekitar bocah itu. Ketiganya menghabiskan waktu di gazebo sampai matahari meninggi. Rengekan Bariela yang ingin buang air mengusaikan cerita panjang lebar Selise dan Jillian, juga mengakhiri waktu bersantai mereka di gazebo.
“Nyonya akan merajut lagi?” tanya Selise sambil menggendong Bariela, mengiringi langkah Jillian yang membawa peralatan menyulam di tangan.
“Hum. Kau mau belajar?”
“Bolehkah?” Binar antusias terpatri di wajah Selise saat ia bertanya.
“Tentu saja.”
Merasa bosan setelah makan siang dan tidak ada sesuatu pun terlintas di benak untuk melakukan apa, Jillian menghampiri peralatan rajutnya.
Di gazebo halaman samping mansion, Jillian mengajari Selise.
Pengalaman mengajar seseorang di masa lalu lebih memudahkan Jillian dalam mengarahkan Selise. Cermat ia memperhatikan gadis itu merajut sembari tangannya sesekali menepuk-nepuk pelan Bariela yang terlelap di tempat tidurnya. Sebuah kasur kecil lengkap dengan bantal dan selimut tergeletak di sebelah Jillian, diambil Selise kala Bariela mulai mengantuk.
“Rajutannya jangan terlalu rapat atau terlalu longgar. Samakan,” instruksi Jillian.
Selise mengangguk, fokus pada rajutannya yang sudah cukup panjang.
Merasa ada pergerakan, Jillian menoleh ke arah depan mansion. Tepat ketika itu, tatapannya bersirobok dengan sepasang mata dari wajah yang setengahnya tertutup serban. Jillian menyipit, menajamkan pandang, lalu terpaku beberapa saat, bahkan ketika mata itu sudah berpaling. Merasa familier, mata Jillian membulat sempurna di saat berikutnya.
Jillian berdiri, berlari ke depan mansion. Sayang, ia terlambat karena sang empunya mata sudah tidak di sana.
“Bu?”
Suara di belakang samping menyadarkan Jillian. Ia menoleh dan mendekat.
“Bailey, siapa yang memakai sorban itu?”
“Itu Shaw.”
“Shaw?” Jillian masih setengah terbengong.
“Iya. Ada apa, Bu? Ibu sampai berlari ke sini.”
“Tidak ....” Jillian mengerjap beberapa kali. “Tidak ada apa-apa. Masuklah, kau pasti lelah.”
Jillian mengulas senyum, mengusap kepala Bailey sebelum kembali ke gazebo. Sambil berjalan, sejenak ia memegangi dadanya, menggumamkan sebuah nama beriring debar yang tiba-tiba bergejolak.
“Hao Yi ….”
“Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.
“Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,
Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya
“Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P