“Dasar lambat! Ayo, cepat!”
Ctash!
“Ba … baik, Tuan.”
“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”
Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.
Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.
Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.
“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.
Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya menerka apakah perlakuannya terhadap sang anak tadi adalah masalah.
Wajah Shaw sekilas terangkat ke atas, menatap langit yang cerah dengan matahari yang sudah di atas kepala, lalu tertunduk menatap kedua kaki sang anak. Samar terlihat garis lepuh di bawah samping telapak kakinya.
Otak dan hati Shaw gemas berkomentar, “Ini pasti bukan kali pertama.”
“Siapa Tuan? Siapa anak itu?” Alih-alih merespon pertanyaan dengan jawaban, Shaw justru merespon dengan pertanyaan lagi seraya turun dari kuda.
Merasa kaku oleh kehadiran Bold, sang pria berdeham.
“Nama saya Eroth Stedd. Dia budak saya.” Kehati-hatian jelas terdengar dari suara Eroth.
“Apa dia melakukan kesalahan? Mengapa kakinya dirantai dengan bola logam dan tanpa alas kaki?”
“Dia membuat roti gosong dan dapur berantakan, juga tidak menyelesaikan memotong kayu dan membuat kayu-kayunya kembali basah oleh embun.” Sang pria menjadi lebih gugup.
Jika alasannya lebih masuk akal seperti karena mencuri, melakukan hal buruk lainnya sampai merusak nama baik dan merugikan orang mungkin lebih wajar. Di Zanwan pun tak jarang menerapkan hukum sepadan seperti pencuri dipotong tangannya, pengumpat dan penghina petinggi desa diberi racun penghilang suara, dan sebagainya. Terkadang juga hukumannya lebih kejam lagi. Namun, ini? Hanya karena menggosongkan roti, membuat dapur berantakan, dan tidak menyelesaikan memotong kayu. Shaw tidak mengerti lagi.
Geram terasa dalam batinnya, Shaw tahan agar tidak meledak. Ia menghirup udara dan mengembuskannya pelan, berusaha menjaga ketenangannya.
“Jika ada yang ingin membelinya, berapa patokan yang Tuan akan tetapkan?”
Kaget terlihat pada wajah Eroth, budaknya, juga Bold. Eroth menimang-nimang, lalu mulutnya bergerak, memberikan angka 100 ribu untuk harga budaknya. Ia menaikkan 10 kali lipat dari harga budak di pasaran.
Harga budak di Zanwan terkesan murah memang, tetapi terbilang cukup mahal sebab mayoritas penduduknya, terutama di distrik Acilav, masih hidup dengan cara tradisional. Keluarga Eroth juga tengah butuh uang banyak untuk persiapan kembali ke rumah yang mereka tinggalkan di barat Zanwan karena mengungsi.
Shaw melepas ransel yang ia gendong, mengeluarkan sebuah kantung kecil berwarna merah. Ia mengambil sepuluh lembar uang darinya, kemudian menyodorkannya pada Eroth yang mengambilnya ragu-ragu dan masih dengan ekspresi terkejut. Setelah menghitung, Eroth memasukkan uangnya ke saku dan mengeluarkan kunci, lalu berjongkok dan melepas rantai di kedua kaki anak yang kini resmi jadi mantan budaknya.
“Lepaskan karung yang kau panggul dan kemarilah,” kata Shaw, menutup kembali ransel dan menggendongnya.
“Tuan ….” Shaw kembali menatap Eroth.
“Roti yang gosong masih bisa dimakan. Oleskan madu jika terasa pahit. Dapur yang berantakan juga bisa dibersihkan lagi. Kayu yang basah pun bisa dikeringkan lagi dengan dijemur, tetapi sebuah nyawa ….”
Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya, menggoyangkannya ke kanan dan kiri sebagai tanda 'tidak'.
“Sebuah nyawa tidak akan bisa dikembalikan sekali saja ia hilang. Jika Tuan tidak bisa melihat dia sebagai seseorang yang layak untuk diperlakukan dengan baik, cobalah lihat dia sebagai manusia yang berhak dihargai.” Shaw berkata dengan nada tenang yang terdengar lembut di telinga.
“Saya mengerti.”
Eroth menunduk dalam, sama sekali tidak membantah. Reaksi menurut yang ia tunjukkan bagai mengatakan bahwa ia terhipnotis oleh kata-kata Shaw dan pembawaannya.
“Kami pamit, Tuan.”
Kuda kembali ditunggangi. Dari atas, tangan Shaw terulur pada sang anak, memintanya naik.
Amarah yang sempat bersembunyi kembali lagi seusai kuda melaju menjauh. Namun, seakan-akan terkikis juga, tidak lagi membubung dengan emosi yang sama. Eroth, sedikit kesadaran muncul dalam dirinya.
Merasa hari makin panas, Shaw melirik sedikit ke belakang, meminta sang anak berpegangan padanya agar tidak jatuh karena ia mempercepat laju kuda.
Area penghujung selatan adalah yang paling sederhana di Zanwan. Perumahan dan penduduknya adalah yang paling sedikit dibandingkan area lain di sana. Di bagian ujung terdapat banyak pasang tenda pengungsian para keluarga yang rumahnya rusak maupun hancur di daerah barat Zanwan. Keluarga Eroth adalah salah satunya.
“Sebentar lagi kita berhenti. Tetap berpegangan padaku dan jangan sampai jatuh, ya,” kata Shaw agak lantang.
Sang anak mengangguk kecil di belakang Shaw.
Terasa oleh Shaw, anak di belakang berantuk dengan punggungnya. Mematuhi ucapan Shaw, kedua tangan anak itu akhirnya bertengger mencengkeram bagian pakaian Shaw di kanan kiri, area pinggang.
Memasuki hutan, siang yang terik menjadi terasa sore. Makin dalam, suasana makin gelap sebab sinar matahari tidak sepenuhnya masuk. Samar gemericik air makin lama makin terdengar hingga sungai terlihat oleh mata. Shaw mengarahkan kuda ke sana, lalu berhenti di tepian.
“Nah, kita berhenti di sini. Bold, tolong ... bisakah bantu dia turun?”
Tanpa perlu mengucap dua kali, Bold turun dari kuda, membantu sang anak turun. Shaw melompat setelahnya.
“Haaaahhhh ... segarnyaa!”
Shaw memejam, menghirup udara sesaat sebelum tungkainya melangkah mendekati sungai, berjongkok dan memasukkan tangan ke dalam air.
“Oh, iya!”
Selesai membasuh muka, Shaw hampiri sang anak yang terduduk memeluk siku. Dikeluarkannya kotak makan dari ransel, menyodorkannya pada sang anak.
“Ini, makanlah.”
Kotak makan yang Shaw sodorkan berisi kentang rebus yang diiris tipis bercampur salmon bakar. Botol air ditaruh pula di tengah-tengah mereka.
“Te ... ri ... ma ... ka ... sih ...,” ucap sang anak, pelan, kepalanya menunduk.
Shaw tersenyum.
“Apa kita akan bermalam di sini?” Bold mendekat seusai menalikan kedua kuda.
Shaw melirik Bold, lalu menatap sekeliling.
“Bagaimana kalau melanjutkan perjalanan?”
“Bisa.” Bold mengangguk. “Kurasa cukup waktu untuk keluar dari hutan sebelum hari gelap. Kita bisa bermalam di perbukitan.”
“Baiklah, kita bermalam di sana. Makan, Bold.”
Satu kotak makan dengan isi yang sama disodorkan pada Bold. Shaw membagi serta sendok untuk mereka bertiga makan.
“Terima kasih.”
Shaw mengangguk singkat dan mengambil kotak makannya. Bekal yang dibawakan Gracie memang lebih banyak. Nenek Shaw itu tahu persis kalau Shaw mungkin saja akan membaginya dengan orang lain yang ditemui di perjalanan.
“Siapa namamu?” tanya Shaw, menoleh pada sang anak. Baru Shaw tahu, anak di sampingnya itu makan sangat pelan, bahkan lebih terkesan elegan.
“Mi ... val ... Rei ... thel ...,” jawab sang anak, masih dengan suara pelan dan menunduk.
“Mival Reithel. Namamu bagus. Usiamu berapa?”
“De ... la ... pan ... ta ... hun ....”
“Delapan tahun, ya? Kau tinggi untuk anak seusiamu. Benar, 'kan, Bold?” Shaw melirik Bold.
“Hum, dan kuat.”
Mival yang mendengarnya tidak merespon selain mengucap terima kasih.
“Baiklah. Makanlah dengan lahap. Tidak perlu sungkan.”
Shaw mengusap kepala Mival sesaat dan melanjutkan makan. Mival yang mendapat usapan di kepala terdiam sejenak, terkejut, tetapi lebih cepat menguasai diri.
Matahari sudah melewati atas kepala. Shaw, Bold, dan Mival masih terduduk menunggu makanan di perut mereka turun lebih dahulu. Usai mencuci dan memasukkan kembali dua kotak makan, Shaw mengambil air sungai dengan satu kotak lain dan kembali. Ia berjongkok di depan Mival yang memasang wajah bingung.
“Boleh kulihat telapak kakimu?” Shaw menatap lembut.
Mival masih bingung, tetapi membiarkan Shaw mendapat inginnya.
Benar perkiraan Shaw. Telapak kaki Mival melepuh dan mengelupas. Di beberapa bagian bahkan sampai ke lapisan dalam.
Shaw mengeluarkan kotak obat dari ransel, mengambil kain kecil dan menyelupkannya ke air di kotak makan, kemudian mengoleskannya ke kaki Mival.
“Kalau aku boleh tahu, kenapa kau bisa menjadi budak Tuan Eroth?”
Mival tertegun dengan perlakuan Shaw. Ia ingin menarik kakinya, tetapi tidak ingin melawan. Pada akhirnya, ia membiarkan Shaw mengobati kakinya.
“Orangtuaku mendapat hukuman mati beberapa tahun lalu karena terlibat perselisihan dengan salah seorang petinggi desa.” Suara Mival lebih stabil, tidak lagi sepelan tadi. “Aku dijual sebagai budak di pasar sebagai ganti hukuman mati karena katanya aku masih terlalu kecil.”
“Lalu Eroth membelimu?” Itu Bold, ikut penasaran.
Mival mengangguk.
“Apa kau selalu diperlakukan seperti tadi setiap hari?” tanya Bold lagi.
Mival mengangguk lagi.
“Tuan Eroth memiliki anak lelaki sebayaku. Anak itu seperti membenciku. Dia selalu menggangguku, selalu membuat ulah dan menuduhku pelakunya. Tuan Eroth memberiku makan sehari sekali saat siang, tapi anak itu kadang mengambil makananku dan menumpahkan atau membuangnya di tempat lain.” Suara mival mulai menyendu. Seketika ia teringat pada orang tuanya.
“Kalau aku melakukan kesalahan sedikit saja, aku tidak akan mendapat makan hari itu atau esoknya. Rantai dengan bola logam akan dipasangkan di kedua kakiku, lalu aku akan disuruh memanggul sekarung sayuran, jagung, buah, atau pasir kalau Tuan Eroth sedang sangat marah.”
Tidak disadari Mival, air matanya berderai.
“Di mana rumahmu? Apa kau punya anggota keluarga lain? Paman atau Bibi misalnya?” Shaw bertanya.
“Dulu di distrik Aloclya. Aku dan orangtuaku tidak dianggap bagian dari keluarga besar lagi saat hukuman itu ditetapkan. Rumah kami disita petinggi desa.”
“Pasti sangat berat. Kau sangat tangguh bisa melewatinya dan bertahan sampai hari ini. Terima kasih, Mival. Kau benar-benar hebat!” Tulus Shaw memuji.
Mival tersenyum, tetapi di saat yang sama, air matanya makin berambai.
“Aku … rindu orangtuaku.”
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.