Share

Pedang berlumur darah

"Perapian sudah siap!"

"Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.

"Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.

"Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan.

"A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.

Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival; memicingkan mata. Benda putih mendekat, hingga terlihat wujudnya ketika indurasmi mengenainya.

"Itu burung merpatii!! Ahahahahaha ...." Shaw melepas tawa, setelah beberapa saat memicingkan mata dengan serius mengira benda putih itu sesuatu yang asing. Dia sempat berpikir yang tidak-tidak.

"Kenapa ada burung merpati terbang malam-malam? Dan kenapa merpatinya mendekat?" Mival bertanya lagi. Membuat Shaw kembali mengarahkan pandangnya.

Bold masih tak melepas tatap, lalu menyadari sesuatu.

"Merpati pembawa pesan," ujar Bold. Melihat merpati itu mendarat di hadapan Shaw dengan sebuah batang bambu kecil tertali di kakinya.

Shaw melepaskan ikatan di kaki burung merpati, membukanya dan mengambil gulungan kertas dari dalamnya. Mimik wajahnya berubah serius sekaligus bingung ketika membaca kalimat-kalimat yang tertulis di kertas. Lalu ia mengeluarkan buku catatan dan pena dari ranselnya; menuliskan sesuatu. Sejenak ia berhenti, menoleh pada Bold dan Mival yang menatap tanya padanya sedari tadi.

"Surat dari Bailey." Shaw berujar. Mengetahui tatapan penuh tanya dari Bold dan Mival. "Bailey bertanya aku sudah sampai mana, juga mengatakan ada hal yang sangat penting untuk dibahas denganku. Menurutmu bagaimana, Bold?"

"Apa dia memintamu pulang? Atau menuliskan hal yang sangat penting itu?"

Shaw melihat suratnya lagi, membacanya dengan seksama.

"Tidak, dia tidak memintaku pulang. Tapi dia berharap aku pulang lebih cepat. Dan dia juga tidak menuliskan apapun tentang hal yang sangat penting itu selain mengatakan salah satunya berkaitan dengan perang perompak," terang Shaw. Mengangkat wajah lagi menatap Bold.

"Jika saja panasea di rumahmu masih cukup banyak, maka kita bisa segera pulang setelah mendapatkan panasea dari selatan pulau. Tapi karena panasea di rumahmu tinggal sedikit, dan belum tentu di selatan pulau terdapat banyak panasea, maka sepertinya kita akan pulang lebih lama. Mungkin bisa memakan waktu empat sampai lima hari dari sekarang jika kita bergerak cepat."

Shaw mengangguk dan menggerakkan penanya, lanjut menuliskan balasan surat Bailey. Namun kemudian berhenti lagi. Seakan mengerti kebimbangan Shaw, Bold kembali berkata.

"Tidak lama lagi musim panas, dan panasea akan lebih sulit didapatkan. Mungkin saja sudah lebih dulu mengering atau bahkan mati karena kebanyakan panasea di pulau ini berbunga dan berbuah saat musim semi dan pertengahan musim gugur. Jika kita mempercepat pulang dengan panasea seadanya, kita harus menunggu beberapa purnama untuk kembali mendapatkannya. Itupun akan lebih sulit karena saat itu akan ada banyak hujan dan badai."

"Benar juga." Shaw menganggukkan kepala beberapa kali dan lanjut menulis. Surat yang siap dikirim ia gulung dan masukkan ke dalam batang bambu kecil, menalikannya lagi ke kaki merpati di hadapan. Lalu mengangkat lagi merpati dan melemparnya ke udara.

"Ayo makan ... lalu tidur. Kita harus bangun sangat pagi untuk mengejar waktu," tutur Shaw usai melihat merpati terbang menjauh. Menyimpan buku catatan dan penanya ke dalam tas, lalu beranjak bergeser mengambil tempat duduk di samping Mival dan memakan makanannya.

Seperti yang Shaw katakan, ketiganya bergegas tidur saat makanan di perut mereka telah turun. Tenda camp yang dibangun Bold dengan bantuan Shaw dan Mival cukup untuk bernaung, melindungi mereka dari angin malam yang dingin dan hewan-hewan yang berkeliaran.

Di sudut lain Zanwan, di ruangan 4x4 meter bernuansa abad pertengahan dengan lampu bercahayakan oranye gelap, dua kursi kayu cokelat tua saling berhadapan mengapit meja kayu persegi 1x1 meter yang teduh dan sejuk disentuh di tengah ruangan, seorang pria terduduk menopang dagu dengan wajah ditekuk. Di hadapannya, teronggok sebilah pedang terbuka di samping sarungnya, berlumurkan darah yang sudah mengering.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya lirih. "Jika Tuan Muda yang membunuh empat perompak itu, maka pedangnyalah yang akan berlumuran darah, bukannya pedang ini." Ia mengusap wajah lelahnya, untuk kesekian kali.

"Kenapa belum tidur?"

Sebuah kepala mengintip dari pintu, diikuti daksa dan tungkai yang melangkah mendekat. Suara kecilnya membuat sang pria menolehkan kepala.

"Kakak belum bisa tidur," jawab sang pria. "Kau sendiri kenapa? Terbangun, hmm?"

"Hum, aku terbangun ... karena bermimpi buruk."

Mata bulat dengan bulu mata lentik dan alis hitam yang lebat melengkung indah itu memperhatikan pedang sesaat, lalu suara feminin yang mengantuk terdengar lagi.

"Lebih baik Kakak membicarakan ini dengan Tuan Besar dan menanyakan semua pertanyaan Kakak pada Tuan Muda," usulnya. Menatap khawatir.

"Benar kata Cerys." Satu kepala lain muncul dari pintu, mendekat dan berhenti di samping seseorang yang ia panggil Cerys. Ia menyusul karena melihat gadis itu keluar dari kamarnya.

"Dexter ...." Sang pria bersuara, melipat tangannya. "Apa ada yang mencurigakan di mansion setiap kali aku tidak ada? Seperti orang asing yang masuk ke dapur utama dengan gerak-gerik mencurigakan misalnya?" tanyanya, mengangkat wajah menatap pria di samping Cerys.

"Sejauh ini tidak ada." Dexter menjawab singkat.

"Baguslah. Kita harus lebih waspada mulai sekarang," ujar sang pria. Berdiri dan menyarungkan pedang di meja. Ia mengambil serta busur dan anak panah di lemari. "Kalian tidurlah ... aku akan menemui Tuan Ascal."

"Apa harus malam ini juga, Kak?" Cerys berjalan cepat menyusul ke pintu.

"Hum. Lebih cepat lebih baik. Kakak bawa kunci cadangan, jadi kau tidak perlu menunggu."

"Ya sudah." Cerys mengalah. Menghentikan langkah.

Dexter menghampiri, merangkul Cerys dengan tangan kanannya.

"Sudah ... ayo bantu Kakak membereskan keranjang sayuran ... kau akan sulit tidur kembali kalau sudah terbangun seperti ini. Dan akan lebih cepat tidur lagi setelah mengerjakan sesuatu, 'kan?"

"Hum ... tapi, Kak Bexter akan baik-baik saja, 'kan, Kak? Sepertinya ini masalah serius." Ekspresi khawatir masih terpasang di wajah Cerys ... bercampur kantuk yang memudar, membuat satu usapan tangan Dexter mendarat di kepalanya.

"Dia akan baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir berlebihan ... dia tahu apa yang dia lakukan. Lagipula dia itu salah satu prajurit terbaik di Zanwan." Dexter berujar. Meyakinkan adiknya yang mudah sekali khawatir.

"Baiklah." Cerys menghela napas. Menurut mengikuti langkah Dexter meninggalkan ruangan; berjalan menuju dapur.

Suara ketukan di jendela membawa sadar dari lelap kembali ke dunia nyata. Bailey membuka matanya, mengerjap pelan dan mengarahkan tatapan ke sumber suara; jendela. Ada seekor burung merpati di luarnya. Bailey bangun dari kasur dan mendekat, membukakan jendela membiarkan merpati masuk. Lalu menutup jendela dan menguncinya lagi.

Sang merpati mendarat di lantai, tak bergeming saat Bailey menangkapnya dan melepaskan ikatan batang bambu di kakinya, hingga memasukkannya ke kandang. Sigap tangan Bailey memberi makanan dan mengisi penuh wadah yang tinggal setengah airnya sebelum menutup pintu kandangnya lagi.

Di jalan yang menghubungkan paviliun dan mansion, Bexter berhenti. Terdiam sesaat melihat ke arah jendela kamar Bailey yang ditutup belum lama itu. Lalu ia melanjutkan langkah memasuki mansion Hunt setelah satu hembusan napas.

Di mansion Hunt, para pekerja tinggal di bangunan terpisah dari mansion utama; tempat tinggal Ascal dan keluarganya. Setiap pekerja tinggal di asrama yang disediakan sesuai pekerjaan mereka. Kecuali pekerja dengan posisi yang lebih tinggi, pekerja yang anggota lain di keluarga mereka juga bekerja di mansion Hunt, dan pekerja yang tidak memiliki rumah lain. Bagi mereka, masing-masing disediakan satu area paviliun yang terpisah.

Tok tok!

Jarum jam menunjuk angka 11 malam. Ascal menghela napas, menghentikan gerakan penanya.

"Masuk."

Pintu dibuka di detik berikutnya. Bexter masuk dan menutup kembali pintu sebelum menghampiri Ascal.

"Tuan, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."

"Duduklah." Ascal melepas pena dari tangan dan menutup bukunya. Memberikan seluruh atensi pada Bexter. "Katakan."

Bexter duduk. Memindahkan beberapa buku di meja lalu meletakkan pedang dari genggaman.

"Ini pedang perompak terakhir yang menyerang Tuan Muda di bukit timur," tuturnya. Mencabut pedang dan menaruhnya di samping sarung pedang.

Ascal mengambil pedang itu dan membolak-balikkannya. Ingatannya melayang ke hari penyerangan di bukit timur, lalu ke leher Bailey. Ia tak membahas luka Bailey itu di hadapan banyak prajurit dan bersikap seperti tidak menyadarinya. Sengaja. Pikiran Ascal sedang tak jernih saat itu, dan ia tidak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu karena membuat keputusan ketika emosinya sedang di luar kendali.

Ascal baru membahas itu di ruang kerjanya, menanyakannya langsung pada Bailey dan Bexter. Dan dari penuturan keduanya, diketahui Ascal jikalau luka yang didapat Bailey hanyalah goresan di lehernya. Pedang Bailey pun bersih, tak bernoda barang sedikit.

"Jadi, yang membunuh empat perompak itu adalah rekan mereka sendiri?" Ascal menaruh pedang ke posisi semula.

"Saya tidak melihat seluruh kejadiannya. Kami datang ketika empat perompak sudah tewas dan Tuan Muda tengah bertarung dengan satu perompak yang tersisa. Tapi jika dilihat dari pedang ini, sepertinya begitu."

"Apa pendapatmu?"

"Perompak ini sengaja membunuh keempat rekannya." Bexter mengambil napas. Menyandarkan tangan ke meja. "Seperti yang kita tahu ... para perompak ini memiliki kemampuan berpedang yang tidak bisa dianggap remeh. Jika satu dari mereka bisa membunuh empat orang yang juga sama-sama adalah perompak, maka sudah pasti akan lebih mudah untuk membunuh Tuan Muda yang dari segi pengalaman masih jauh di bawah ... meski kemampuan berpedang Tuan Muda terbilang bagus."

"Haahh .... Kau benar. Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"

"Ada dua hal lagi, Tuan." 

Bexter menggeser pedang sedikit ke depan dan menaruh busur serta anak panahnya.

"Ini adalah busur dan anak panah perompak itu." Bexter mengambil semua anak panah yang berjumlah tujuh itu dan menyusunnya lurus dengan kepala anak panah menghadap ke arahnya. "Perhatikan ekor anak panahnya."

Ascal memperhatikan satu per satu ekor anak panah. Terdapat satu huruf di masing-masing keenam anak panah dan satu angka di anak panah yang diletakkan di ujung. Semuanya berwarna merah. Huruf-huruf dan satu angka itu adalah A, C, E, L, S, T, 4.

"Huruf-huruf ini membentuk sesuatu. Tapi saya belum bisa memecahkannya," ujar Bexter.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Anfa K. Arashya
Nah, harusnya di bab ini (≡^∇^≡)
goodnovel comment avatar
Anfa K. Arashya
Ayoo..... ada yang bisa memecahkan misteri huruf dan angkanya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status