“Perapian sudah siap!”
“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”
Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.
“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”
Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.
“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.
“A … apa itu?”
Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.
Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan memicing. Benda putih mendekat hingga terlihat wujudnya ketika cahaya bulan mengenainya.
“Itu burung merpati!” Shaw melepaskan tawa setelah beberapa saat memicing dengan serius, mengira benda putih itu sesuatu yang asing. Dia sempat berpikir yang tidak-tidak.
“Kenapa ada burung merpati terbang malam-malam? Dan kenapa merpatinya mendekat?” Mival bertanya lagi.
Shaw memandang serius lagi.
Bold masih tidak melepas tatap, lalu menyadari sesuatu.
“Merpati pembawa pesan,” ujar Bold, melihat merpati itu mendarat di hadapan Shaw dengan sebuah batang bambu kecil tertali di kakinya.
Shaw melepaskan ikatan di kaki burung merpati, membukanya, dan mengambil gulungan kertas dari dalamnya. Raut wajahnya berubah serius sekaligus bingung ketika membaca kalimat-kalimat yang tertulis di kertas, lalu ia mengeluarkan buku catatan dan pena dari ransel, menuliskan sesuatu. Sejenak ia berhenti, menoleh pada Bold dan Mival yang menatap tanya padanya sedari tadi.
“Surat dari Bailey,” kata Shaw, mengetahui tatapan penuh tanya dari Bold dan Mival. “Bailey bertanya aku sudah sampai mana, juga mengatakan ada hal yang sangat penting untuk dibahas denganku. Menurutmu bagaimana, Bold?”
“Apa dia memintamu pulang atau menuliskan hal yang sangat penting itu?”
Shaw melihat suratnya lagi, membacanya dengan seksama.
“Tidak, dia tidak memintaku pulang, tapi dia berharap aku pulang lebih cepat. Dia juga tidak menuliskan apa pun tentang hal yang sangat penting itu selain mengatakan salah satunya berkaitan dengan perang perompak,” terang Shaw, mengangkat wajah lagi menatap Bold.
“Kalau saja panasea di rumahmu masih cukup banyak, kita bisa segera pulang setelah mendapatkan panasea dari selatan pulau. Karena panasea di rumahmu tinggal sedikit dan belum tentu di selatan pulau terdapat banyak panasea, sepertinya kita akan pulang lebih lama. Mungkin bisa memakan waktu empat sampai lima hari dari sekarang kalau kita bergerak cepat.”
Shaw mengangguk dan menggerakkan penanya, lanjut menuliskan balasan surat Bailey. Baru sebentar, ia berhenti. Mengerti kebimbangan Shaw, Bold mengungkapkan pemikirannya.
“Tidak lama lagi musim panas dan panasea akan lebih sulit didapat. Mungkin saja sudah lebih dulu mengering atau bahkan mati karena kebanyakan panasea di pulau ini berbunga dan berbuah saat musim semi dan pertengahan musim gugur. Kalau kita mempercepat pulang dengan panasea seadanya, kita harus menunggu beberapa purnama untuk kembali mendapatkannya. Itu pun akan lebih sulit karena saat itu akan ada banyak hujan dan badai.”
“Benar juga.”
Shaw mengangguk beberapa kali dan lanjut menulis. Surat yang siap dikirim ia gulung dan masukkan ke dalam batang bambu kecil, menalikannya lagi ke kaki merpati di hadapan. Shaw mengangkat lagi merpati dan melemparnya ke udara.
“Ayo, kita makan, lalu tidur. Kita harus bangun sangat pagi untuk mengejar waktu,” kata Shaw sesudah melihat merpati terbang menjauh. Ia simpan buku catatan dan pena ke dalam ransel, lalu mengambil tempat duduk di samping Mival dan memakan makanannya.
Seperti yang Shaw katakan, ketiganya bergegas tidur saat makanan di perut mereka telah turun. Tenda yang dibangun Bold dengan bantuan Shaw dan Mival cukup untuk bernaung, melindungi mereka dari angin malam yang dingin dan hewan-hewan yang berkeliaran.
Di sudut lain Zanwan, di ruangan 4x4 meter bernuansa abad pertengahan dengan lampu bercahayakan oranye gelap, dua kursi kayu cokelat tua saling berhadapan, mengapit meja kayu persegi 1x1 meter yang teduh dan sejuk disentuh di tengah ruangan. Bexter terduduk di salah satu kursi, menopang dagu dengan wajah ditekuk. Di hadapannya, teronggok sebilah pedang terbuka di samping sarungnya, berlumurkan darah yang sudah mengering.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” gumam Bexter lirih. “Kalau Tuan Muda yang membunuh empat perompak itu, pedangnyalah yang akan berlumuran darah, bukan pedang ini.”
Bexter mengusap wajah lelahnya untuk ke sekian kali.
“Kenapa belum tidur?”
Sebuah kepala mengintip dari pintu, diikuti raga dan tungkai yang mendekat. Suara kecilnya membuat sang pria menolehkan kepala.
“Kakak belum bisa tidur,” jawab Bexter. “Kau sendiri kenapa? Terbangun, hmm?”
“Hum, aku terbangun karena mimpi buruk.”
Mata bulat dengan bulu mata lentik itu memperhatikan pedang sesaat, lalu suara feminin yang mengantuk terdengar lagi.
“Lebih baik Kakak bicarakan ini dengan Tuan Besar dan menanyakan semua pertanyaan Kakak pada Tuan Muda,” usulnya, menatap khawatir.
“Benar kata Cerys.”
Satu kepala lain muncul dari pintu, mendekat dan berhenti di samping seseorang yang ia panggil Cerys. Ia menyusul karena melihat gadis itu keluar dari kamarnya.
“Dexter ....” Bexter bersuara, melipat tangannya. “Apa ada yang mencurigakan di mansion setiap kali aku tidak ada? Seperti orang asing yang masuk ke dapur utama dengan gerak-gerik mencurigakan misalnya?”
“Sejauh ini tidak ada.”
“Baguslah. Kita harus lebih waspada mulai sekarang.”
Bexter berdiri dan menyarungkan pedang di meja. Ia mengambil serta busur dan anak panah di lemari.
“Kalian tidurlah. Aku akan menemui Tuan Ascal.”
“Apa harus malam ini juga, Kak?” Cerys menyusul cepat ke pintu.
“Hum. Lebih cepat lebih baik. Kakak bawa kunci cadangan. Kau tidak perlu menunggu.”
“Ya sudah.” Cerys berhenti.
Dexter menghampiri, merangkul Cerys dengan tangan kanannya.
“Sudah. Ayo, bantu Kakak membereskan keranjang sayuran. Kau akan sulit tidur kembali kalau sudah terbangun seperti ini dan akan lebih cepat tidur lagi setelah mengerjakan sesuatu, 'kan?”
“Hum, tapi, Kak Bexter akan baik-baik saja, 'kan, Kak? Sepertinya ini masalah serius.” Ekspresi khawatir masih terpasang di wajah Cerys bercampur kantuk yang memudar. Satu usapan tangan Dexter mendarat di kepalanya.
“Dia akan baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir berlebihan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Lagipula, dia itu salah satu prajurit terbaik di Zanwan.”
“Baiklah.”
Cerys menyerah, mengekori Dexter meninggalkan ruangan, pergi ke dapur.
Suara ketukan di jendela membawa sadar dari lelap kembali ke dunia nyata. Bailey membuka mata, mengerjap pelan, lalu mengarahkan tatap ke sumber suara. Jendela. Ada seekor burung merpati di luarnya. Bailey bangun dari kasur dan mendekat, membukakan jendela, membiarkan merpati masuk, lalu menutup jendela dan menguncinya lagi.
Sang merpati mendarat di lantai, bergeming saat Bailey menangkapnya dan melepaskan ikatan batang bambu di kakinya, kemudian Bailey memasukkan merpati ke kandang. Sigap tangan Bailey memberi makan dan mengisi penuh wadah yang tinggal setengah airnya sebelum menutup pintu kandangnya lagi.
Di jalan yang menghubungkan paviliun dan mansion, Bexter berhenti sesaat melihat ke arah jendela kamar Bailey yang ditutup belum lama itu, lalu ia melanjutkan langkah memasuki mansion Hunt setelah satu embusan napas.
Bexter langsung ke ruang kerja Ascal, mengetuk pintu. Jarum jam menunjuk angka sebelas malam. Ascal menghela napas, menghentikan gerakan penanya.
“Masuk.”
Pintu dibuka di detik berikutnya. Bexter masuk dan menutup kembali pintu sebelum menghampiri Ascal.
“Tuan, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.”
“Duduklah.” Ascal melepas pena dari tangan dan menutup buku, memberikan seluruh atensi pada Bexter. “Katakan.”
Bexter duduk, memindahkan beberapa buku di meja, lalu meletakkan pedang dari genggaman.
“Ini pedang perompak terakhir yang menyerang Tuan Muda di bukit timur,” kata Bexter, mencabut pedang dan menaruhnya di samping sarung pedang.
Ascal mengambil pedang itu dan membolak-balikkannya. Ingatannya melayang ke hari penyerangan di bukit timur, lalu ke leher Bailey. Ia tidak membahas luka Bailey di hadapan banyak prajurit dan bersikap seperti tidak menyadarinya. Sengaja. Pikiran Ascal sedang tidak jernih dan ia tidak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu karena membuat keputusan ketika emosinya sedang di luar kendali.
Ascal baru membahas itu di ruang kerjanya, menanyakannya langsung pada Bailey dan Bexter. Dari penuturan keduanya, diketahui Ascal bahwa luka yang didapat Bailey hanyalah goresan di lehernya. Pedang Bailey pun bersih, tidak bernoda barang sedikit.
“Jadi, orang yang membunuh empat perompak itu adalah rekan mereka sendiri?” Ascal menaruh pedang ke posisi semula.
“Saya tidak melihat jelas seluruh kejadiannya. Kami tiba ketika empat perompak sudah tewas dan Tuan Muda bertarung dengan satu perompak yang tersisa, tapi jika dilihat dari pedang ini, sepertinya begitu.”
“Apa pendapatmu?”
“Perompak ini sengaja membunuh keempat rekannya.” Bexter menyandarkan tangan ke meja. “Seperti yang kita tahu, para perompak ini memiliki kemampuan berpedang yang tidak bisa dianggap remeh. Jika satu dari mereka bisa membunuh empat orang yang juga sama-sama adalah perompak, sudah pasti akan lebih mudah untuk membunuh Tuan Muda yang dari segi pengalaman masih jauh di bawah meski kemampuan berpedang Tuan Muda terbilang bagus.”
“Haahh, kau benar. Ada lagi yang ingin kau sampaikan?”
“Ada dua hal lagi, Tuan.”
Bexter menggeser pedang sedikit ke depan, kemudian menaruh busur serta anak panahnya.
“Ini adalah busur dan anak panah perompak itu.”
Bexter mengambil semua anak panah yang berjumlah tujuh dan menyusunnya lurus dengan kepala anak panah menghadap ke arahnya.
“Perhatikan ekor anak panahnya.”
Ascal memperhatikan satu per satu ekor anak panah. Terdapat satu huruf di masing-masing keenam anak panah dan satu angka di anak panah yang diletakkan di ujung. Semuanya berwarna merah. Huruf-huruf dan satu angka itu adalah A, C, E, L, S, T, 4.
“Huruf-huruf ini mungkin mengisyaratkan sesuatu, tetapi saya belum bisa memecahkannya.”
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara