Beranda / Lainnya / Jeruji Tanah Anarki / 19. Pesan dalam anak panah (3)

Share

19. Pesan dalam anak panah (3)

Penulis: Maula Faza
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-06 10:22:44

Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.

“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.

“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.

“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”

Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.

“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.

Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka sudah hadir.

Myriam datang dari pintu samping dengan dua pelayan di belakangnya membawa nampan kosong di tangan.

“Tuan Muda?”

Myriam menghampiri sementara dua pelayan berlalu ke dapur.

“Hmm?” Bailey menengok dengan mulut yang masih meminum air.

“Tuan Muda ingin makan sesuatu sambil menunggu makan malam?”

“Tidak.”

Bailey menaruh gelasnya.

“Baiklah. Saya permisi dahulu. Ada pelayan di dapur jika Anda membutuhkan sesuatu,” kata Myriam, undur diri ke dapur.

Tidak lama, Myriam kembali bersama dua pelayan tadi dengan nampan berisi makanan. Kedua tangan Myriam pun memegang satu nampan besar penuh makanan. Ketiganya pergi ke pintu samping yang tadi dilalui.

Satu hal yang terbilang sederhana, tetapi menurut para pelayan, prajurit, dan pekerja lain sangat istimewa di mansion Hunt adalah jam makan yang tidak dibedakan. Semua makan di jam yang sama dengan jam makan Ascal, istri, dan anak-anaknya. Tidak seperti kediaman lain yang biasanya para pekerja akan makan setelah tuan mereka makan. Hal sederhana ini menjadi salah satu alasan mengapa para pekerja betah mengabdikan diri di mansion Hunt, juga sekaligus suatu keberuntungan karena dapat mengetahui sisi lain dari keluarga sang pemimpin mutlak yang tidak tersorot mata di luar pagar.

Satu usapan terasa di kepala Bailey menyebabkan Bailey menegang lagi kala mengetahui pemilik tangan itu.

“Ayah,” ucap Bailey lirih.

“Makanya kalau disuruh makan itu cepat makan, jangan menunda-nunda.” Ascal menarik kursinya.

Pelayan makin gugup karena Ascal datang, tetapi juga lega karena datangnya di saat mereka hendak menaruh hidangan terakhir.

Bailey diam, mengerjap menatap gelasnya.

“Ayah barusan mengusap kepalaku? Oh, apa mungkin ini karena gulungan kertas di tanganku? Karena Ayah ingin mengetahuinya, tapi aku tidak memberikannya?” terka Bailey dalam pikirannya.

Bailey melepaskan genggaman pada buku dan gulungan kertas, membiarkannya di pangkuan saat melihat Ascal duduk.

Jillian muncul dari sisi lain, melongo melihat suami dan putranya di meja makan. Ia segera berpikir, “Bukankah tadi Ascal bilang melihat Bailey? Apa dia benar-benar melihat Bailey? Sepertinya begitu.”

Simpul senyum tercetak di paras Jillian, berpikir hubungan suami dan putranya membaik. Namun, obrolan hangat yang diharapkannya tidak terjadi. Jillian harus menelan pil pahit karena Ascal dan Bailey sama-sama tidak banyak bersuara.

“Ibu ingin bicara apa?”

Bailey menatap Jillian yang bengong, lalu berpindah menatap Bariela yang sibuk mengunyah disuapi Selise. Mulut penuh membuat pipi Bariela terlihat berkali lipat lebih tembam dan menggemaskan.

“Ah, itu ….” Jillian melirik Ascal dan mendapat anggukan dari suaminya, lalu menatap Bailey. “Ibu dan Ayah berharap kau mau meliburkan kegiatan rutin ke bukit timur selama Shaw pergi.”

Bailey berhenti mengunyah, menatap Jillian dengan alis terangkat, meminta penjelasan.

“Kau pasti masih ingat dengan penyerangan itu, 'kan? Ibu tidak ingin hal yang sama terjadi lagi,” terang Jillian.

Bailey diam dan melanjutkan makan.

Otaknya berpikir tentang surat dari perompak, lalu sebuah ide terlintas di kepalanya. Bailey menatap Jillian lagi dengan wajah datar, berpikir ia tidak boleh bersikap mencurigakan atau ayahnya akan benar-benar merebut gulungan kertasnya.

“Baiklah, tapi sebagai gantinya, aku ingin pergi ke mana pun yang aku mau, entah di distrik ini ataupun di distrik Acilav.”

Ascal menatap curiga, menaikkan satu alisnya. Ia menoleh pada Jillian saat merasa Jillian menatap dirinya.

“Setuju.” Itu Ascal, menyetujui permintaan Bailey. Dilihatnya Bailey menatap dirinya, kemudian mengukir senyum, berterima kasih dan kembali menatap ke depan, memakan makanannya dengan lahap.

“Tapi,” kata Ascal, memberi jeda.

Tangan Bailey yang memegang sendok dengan makanan berhenti di udara. Dalam hati, Ascal terkekeh, melanjutkan kata-katanya.

“Kau tidak boleh sendirian.”

Bailey mengerucutkan bibir.

“Aku akan mengajak Wilton.”

Jillian hanya diam, mendengarkan, dan tersenyum, membiarkan suami dan putranya mengakrabkan diri. Sesekali ia melirik Ascal dan Bailey bergantian untuk melihat ekspresi kedua orang itu.

Usai makan, Bailey kembali ke kamarnya.

“Baiklah, izin sudah kudapatkan!” Bailey bersorak dalam hati, mengunci pintu dan berjalan ke meja belajarnya.

Gulungan kertas dan buku catatan ia taruh, kemudian duduk, membuka gulungan dan membaca lanjutan pesannya.

“Bailey, kuberikan segala yang kubisa. Kukorbankan segala yang kupunya. Kuharap yang kulakukan ini benar. Tolong bersihkan nama kami, bangsaku. Semoga Tuhan memberimu petunjuk untuk mengungkap kebenaran dan meluruskan kesalahpahaman.”

Baru saja raut wajah Bailey berseri-seri karena mendapat izin dari Ascal, sudah berubah muram lagi. Ia memang ingin mengungkap semuanya, tetapi kemudian menyadari bahwa melakukan itu membutuhkan keberanian yang sangat besar. Bailey belum yakin akan hal itu.

“Aku benar-benar harus membicarakan ini dengan Shaw.”

“Beberapa dari kami memiliki keluarga yang kami tinggalkan di daratan berbeda. Jika kelak cahaya menyinari Zanwan dan kau mampu mencapai dunia luar, maukah kau menemui keluarga dari anggota kami yang telah tiada? Menyampaikan pada mereka tentang kematian kami? Agar mereka tak lagi berharap kepulangan kami ke rumah.”

“Aku tidak bisa berjanji, tapi akan kuusahakan.”

“Kau bisa pergi ke Glover Garden di Nagasaki, Jepang, saat musim semi. Jika takdir menghendaki, kau akan bertemu seorang wanita muda bernama Zenifa atau jika kau bertemu dengannya di tempat lain, beritahukan tentang pesanku. Dia akan memandumu. Kau akan tahu bahwa dia adalah Zenifa yang kumaksud saat kau bertemu dengannya. Hanya satu yang bisa kuberitahu tentangnya. Usianya denganmu tidak terpaut jauh.”

“Bagaimana aku bisa mengenali seseorang hanya dengan itu? Ada banyak orang dengan usia yang tidak terpaut jauh dariku. Haish!”

“Kau mungkin ingat cecunguk yang dibicarakan beberapa tahanan di dungeon hari itu. Kuyakin mereka terlibat dalam pembunuhan orang terkasih pemimpin kami atau mungkin justru salah satu dari mereka adalah dalangnya. Kuyakin juga mereka terlibat di banyak kejadian yang terjadi di Zanwan di masa lalu. Berhati-hatilah terhadap mereka.”

Bailey tidak menanggapi, lanjut membaca.

“Kudengar kau tak terlalu dekat dengan orang tuamu, tapi Bailey, lindungilah mereka karena mereka adalah pendukung revolusi Zanwan. Cecunguk itulah yang membuat mereka mengubur impian dan menghentikan pergerakan mereka. Itu yang kudengar dari tahanan dungeon lain.”

“Eh? Benarkah?”

Terlepas dari semua pesan yang sudah ia baca, pesan barusan adalah yang paling membuat Bailey tercengang. Bailey mengerjap beberapa kali dan membaca ulang pesan barusan.

“Satu lagi, jangan sampai cecunguk itu melihat wajah Shaw. Anak itu dan keluarganya bisa berada dalam bahaya jika para cecunguk itu tahu, bahkan termasuk orang tuamu. Kau bisa menanyakannya pada orang tuamu. Jika kau tidak mendapatkan jawabannya, datanglah ke dungeon. Tempat yang pernah kau lewati bersama Shaw. Tanyakan pada tahanan yang pernah kau dengar celotehnya karena mereka adalah teman dekat orang tuamu.”

“Aku tidak yakin akan mendapat jawaban dari Ayah dan Ibu. Jadi, sebaiknya aku pergi ke dungeon lebih dulu.”

Bailey mengambil satu lembar kertas kosong dari laci, menuliskan surat yang kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam sebuah batang bambu kecil. Ia berdiri, mengambil burung merpati dari kandangnya dan mengikat bambu itu di kaki merpati yang kemudian terbang setelah jendela dibuka.

“Semoga kau belum pergi terlalu jauh, Shaw,” gumam Bailey, mengunci jendela dan kembali ke ruang belajar, lanjut membaca pesan.

“Dan jika kau bertanya mengapa aku bisa menulis begitu panjang, itu karena aku sudah menyiapkannya sejak lama. Kau tahu kapan rapat penentuan hukuman perompak yang masih hidup, 'kan? Ingat? Nah, kami dipindahkan ke dungeon lantai bawah bagian dalam begitu hasil rapat keluar. Masih ingat pesan yang kutulis di atas? Tentang prajurit yang mengatakan aku akan mati? Ingat waktu yang kutuliskan di situ saat kedua prajurit mengatakan itu? Lalu gabungkan dengan waktu saat hasil rapat keluar. Menemukan sesuatu?”

“Waktunya. Itu sudah cukup lama berlalu.”

Rapat besar diadakan setelah perang berakhir dan para perompak berhasil diatasi. Tepatnya setelah undangan tersebar untuk memastikan semua petinggi desa dan orang-orang berpengaruh di desa dapat mengatur jadwal sehingga bisa ikut hadir. Waktu berlangsung rapat pun hanya dalam satu hari.

“Waktunya sudah cukup lama berlalu? Tepat! Kau memang pintar! Nah, sudah selama itu pula mereka merencanakan sesuatu. Kau tahu apa hasil dari rencana yang dibuat sejak lama?”

“Rencana yang terstruktur dengan tingkat keakuratan dan keberhasilan tinggi.”

“Benar! Hasilnya adalah rencana yang tersusun rapi, terstruktur dengan sangat baik, tingkat keakuratan dan keberhasilannya tinggi, lalu, kau tahu apa artinya?”

Bailey membulatkan mata untuk kesekian kali.

“Apa orang ini memiliki kemampuan meramal atau bekerja sampingan sebagai peramal?”

Sejenak Bailey berpikir, menerka jawaban pertanyaan terakhir perompak.

“Artinya orang-orang di sekitarku dalam bahaya!”

“Benar sekali! Oh, kau benar-benar cerdas dan pintar! Mungkin karena itu Tuhan menakdirkanmu terlahir sebagai putra Tuan Ascal dan sebagai seorang penerus takhta. Hohoho! Jadi, karena itu, kau harus lebih waspada dan hati-hati. Perhatikan setiap pergerakan dan tindakanmu. Para cecunguk itu mungkin saja mengirimkan mata-mata untuk mengawasimu.”

Pening terasa, menggerakkan tangan Bailey ke pelipisnya, memijat area itu dengan kening mengerut.

“Ada satu orang dari bangsa kami yang ditempatkan di jeruji berbeda dan terpisah cukup jauh dari kami. Dia temanku, seorang gadis muda. Kau bisa menemuinya di area jeruji perempuan. Kuharap dia masih hidup dan jika kau menemukannya, keluarkan dia dari dungeon, bawa ke tempat yang jauh. Kau akan membutuhkan bantuannya. Namanya Emilie Fletcher. Dia cukup keras kepala dan sulit diajak bicara, apalagi pergi. Dia tidak mudah percaya pada orang lain. Panggil dia Elwanda, maka dia akan mendengarkanmu. Itu adalah nama kecilnya dan hanya sedikit orang yang tahu. Aku ingin dia membaca surat ini. Biarkan dia membacanya, maka dia akan percaya padamu.”

“Terakhir, kuberi tahu jubah hitam yang asli. Si misterius jubah hitam yang asli itu. Pertama, dia bisa melompat tinggi. Mengapa aku bisa berkata begitu? Karena dia yang menyelamatkanku dan beberapa temanku di hari perang itu. Kedua, dia bergerak cepat. Benar-benar cepat. Ketiga, permainan pedangnya juga sangat cepat dan halus sekali seperti sebuah aliran musik. Keempat, suaranya terdengar lebih ramah meskipun dingin. Kelima, kurasa dia melindungi keluarga Shaw. Di malam peperangan itu, aku mendengarnya berujar pada sosok bertopeng lainnya untuk pergi ke rumah Tuan Spencer dan mengecek keadaan mereka, juga meminta sosok bertopeng itu untuk berjaga di sana dan memastikan mereka aman, terutama anak kecilnya. Nah, memangnya ada anak kecil lain yang tinggal di rumah Tuan Spencer malam itu selain Shaw?”

“Tidak, tidak ada lagi anak kecil lain selain Shaw.”

“Itu saja. Simpan surat ini, jangan sampai orang lain membacanya. Pelayan dan prajurit di rumahmu, juga orang tuamu sekalipun. Untuk sementara, simpan untuk dirimu sendiri. Aku yakin kau akan melakukan sesuatu setelah membaca pesanku. Beritahukan pada orang tuamu dan orang-orang lain yang kau percayainya nanti saja kecuali pada Shaw. Mulutnya yang tetap rapat bahkan ketika cambukan menghujam punggungnya sudah menyebar dan menjadi rahasia umum di kalangan para tahanan. Dia bisa kau ajak berbagi, tapi ingat, ceritakan di saat yang tepat. Pastikan tak ada orang lain di sana selain kalian. Perhatikan sekitar termasuk pepohonan dan semak. Kau tahu kalau mata-mata sangat ahli bersembunyi, 'kan? Baiklah. Aku pamit. Terima kasih banyak. Aku tahu kau dan Shaw orang baik. Aku tidak menyesal melakukan ini. Tolong sampaikan juga terima kasihku pada Shaw. Yah, aku yakin anak itu akan mencari tahu kebenarannya, hahaha! Tolong sampaikan juga pada Tuan Ascal dan jubah hitam yang asli.”

“Baiklah, akan kusimpan. Semua informasi ini bisa kujadikan pegangan. Mungkin akan berguna suatu hari nanti.”

“Oh, hampir lupa! Jubah hitam yang asli itu anggap saja kacang kedelai sedangkan yang palsu itu kacang buncis. Kalau kau ingin tahu alasannya, jawabannya tidak ada. Aku tiba-tiba ingat itu saja. Aku suka makan kacang dan aku sudah lama tidak makan kacang. Kelak, kalau kau bisa pergi ke dunia luar Zanwan, cobalah makan olahan kedelai. Enak. Cari saja olahan kedelai yang bernama tempe. Itu enak! Terutama tempe yang digoreng kering! Enak sekali! Kalau kau tidak ingin memakannya, setidaknya makan itu untukku, ya? Kau harus mencobanya!”

“Oh, astaga, orang ini! Bagaimana dia bisa seceria ini saat dia tahu dia akan mati?! Aku tidak mengerti lagi!”

Bailey menghirup udara panjang dan dalam. Bacaannya kali ini lebih berat dari membaca buku sastra ataupun filosofi.

Buku catatan kembali dibuka, Bailey menuliskan lagi semua hal yang menghampiri kepalanya. Tidak lupa ia menyalin pesan sang perompak untuk berjaga-jaga akan kemungkinan buruk. Selesainya, semua Bailey menyimpan di tempat rahasianya, lalu pergi bersiap untuk tidur.

Di luar pintu, Ascal terdiam, tidak terdengar apa pun dari Bailey selain gumaman terakhirnya. Namun, itu cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa memang ada sesuatu dengan anak panah dan gulungan kertasnya.

Ascal pergi ke ruangan kerjanya, mengambil sebuah buku dan menuliskan sesuatu di sana. Sebuah rencana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jeruji Tanah Anarki   108. Beginikah rasanya punya anak?

    “Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.

  • Jeruji Tanah Anarki   107. Teka-teki Amory

    “Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,

  • Jeruji Tanah Anarki   106. Kemampuan warisan Hunt

    Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya

  • Jeruji Tanah Anarki   105. Tumbang

    “Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau

  • Jeruji Tanah Anarki   104. Bailey dalam pengejaran

    Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da

  • Jeruji Tanah Anarki   103. Hutan seribu warna

    “Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status