Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.
“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.
“Sebentar ….”
Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.
Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.
Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.
“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.
Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.
“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Anak itu kian menumpahkan tangisnya.
“Kau tidak sendirian. Ada aku dan Bold di sini,” tutur Shaw lagi, lalu sudah, hening setelahnya. Hanya isak tangis Mival yang terdengar. Tersedu-sedu ia.
Shaw membayangkan jika dirinya adalah Mival. Membayangkan kakek dan neneknya tiada, membayangkan tiap hari mendapat hukuman dan tidak ada seorang pun yang bisa diajak berbagi cerita. Gelap. Shaw segera menepis semua bayang itu.
Merasa lebih lega, Mival melepas pelukan Shaw dan mengusap matanya sekali lagi. Tangan Bold terulur, mengusap kepala Mival.
“Kau pernah berpikir tidak lebih beruntung dari orang lain?” tanya Bold.
Mival mengangguk pelan.
Bold tersenyum dan berkata, “Ketahuilah, kau justru lebih beruntung dari beberapa orang lain itu.”
Tidak mengerti, ucapan Bold mengundang tanya di benak Mival yang kini menatapnya.
“Semua luka, rasa sakit, dan pengalaman pahit yang pernah kau alami akan mendewasakanmu. Suatu hari nanti, kau akan bersyukur karena pernah mengalami itu, juga mengetahui kau memilih tetap berjuang daripada menyerah dan berputus asa. Kau beruntung karena semua yang kau alami akan menjadi bekalmu untuk bersikap lebih baik kepada orang lain. Kau tahu bagaimana rasanya disakiti. Tidak semua orang bisa seperti itu.”
Bold mengusap sisa air mata di wajah Mival dengan masih tersenyum, bahkan senyumnya mengembang lebih hangat dan lebih lebar. Shaw mengerjap beberapa kali, memastikan dirinya tidak salah lihat.
“Terima kasih ....” Mival mengangguk.
Meski belum mengerti maksud perkataan Bold sepenuhnya, tetapi Mival tahu Bold bermaksud baik dan itu sudah menghangatkan hatinya. Mival akan mengingat kata-kata Bold. Jika sudah lebih dewasa nanti, Mival pasti akan lebih memahaminya, yakin Mival.
“Ayo, kita harus melanjutkan perjalanan. Hari mulai sore,” kata Shaw.
Bold membantu Mival berdiri dan menunggangi kuda di belakang Shaw.
Jalan yang mulai menanjak membuat Mival berpegangan lebih erat. Tubuhnya sudah lebih bertenaga, duka laranya sudah lebih ringan terasa. Mival mengukir senyum samar sembari menikmati pemandangan sekitar.
Di tempat lain di waktu yang sama, Bailey baru pulang sekolah.
“Sore, Tuan Muda.”
“Sore, Zander.”
Zander, penjaga gerbang mansion Hunt yang bertugas jaga, menutup kembali gerbang setelah Bailey masuk.
Sapaan prajurit lain yang berjaga di depan pintu utama pun terdengar oleh telinga, disusul sapaan Jillian yang membelokkan tungkai Bailey, mendekat ke sofa di ruang tengah. Celotehan riang Bariela pun ikut menyambut di sana.
“Baallee ... baallee ….”
Bariela selalu riang. Semangat ia menggerak-gerakkan tangannya seperti ingin menggapai Bailey.
“Bagaimana sekolahmu hari ini?” Jillian bertanya.
“Baik seperti biasa.”
Bailey berjongkok, memainkan tangan Bariela yang terduduk di pangkuan Jillian. Sang balita berpipi tembam itu tertawa-tawa.
“Pergilah bersihkan dirimu, lalu segera makan. Ibu ingin bicara nanti.”
“Bicara sekarang saja, Bu.”
“Tidak, nanti saja.”
“Ya sudah, aku ke kamar dulu. Dadah, Iel ....”
Bailey menggerakkan tangan adiknya sekali lagi, lalu bangkit dan berlalu ke kamar. Tangan Bariela terulur lagi dengan jemari bergerak seperti tidak ingin Bailey pergi.
“Baallee ... baallee ....”
Ransel di gendongan langsung Bailey taruh di tempatnya, kemudian mengeluarkan buku-buku dan menaruhnya di meja. Tungkai melangkah lagi untuk membersihkan diri. Saat sedang mengeringkan rambut dengan handuk di depan cermin seusai mandi, otaknya tidak sengaja teringat akan anak panah yang ia dapatkan beberapa waktu lalu.
Handuk ia sampirkan di tempatnya, lalu memindahkan kursi meja belajar ke depan lemari dan naik. Tangan kanannya menjeremba ke atas lemari, mengambil anak panah. Setelahnya, kursi diposisikan ke tempat semula. Bailey duduk dan memutar-mutar anak panah di tangan.
Di ekor anak panah, Bailey menemukan huruf-huruf kecil yang tersusun membentuk kalimat ‘Buka anak panahnya’.
Kerut di dahi menjadi jawaban kalimat tersebut. Namun, tetap Bailey putar-putar lagi anak panahnya sampai mata melihat garis tipis memutar di sekitar ekor anak panah. Saat Bailey memegang kedua sisi anak panah dan menariknya, anak panah itu terbelah menjadi dua dengan lubang di dalam bagian sisi yang panjang, badan anak panah.
Sebuah gulungan kertas terlihat. Bailey mengambil jarum dari laci, mengorek lubang anak panah untuk mengambil gulungan kertasnya. Setelah dapat, Bailey menaruh lagi jarum ke tempatnya, lalu membuka gulungan kertas. Di sana, terpampang deretan tulisan yang banyak dan panjang.
“Heran. Diameter anak panahnya sekecil ini, tapi bisa memuat kertas yang panjang. Gulungannya rapi sekali.” Bailey menilai, menaruh anak panah juga menyandarkan kertas dan tangannya di meja.
“Kenapa ada nomor-nomornya? Apa ini urutan yang harus kubaca? Sepertinya begitu.” Bailey bergumam lirih, memperhatikan keseluruhan pesan yang tertulis. “Kenapa juga ada coretan-coretan? Ada kata-kata yang diganti dan ditambah, jadinya tidak rapi walau masih bisa dibaca. Ini seperti disiapkan sejak lama.”
Mata Bailey sekilas menyisir pesan sampai ke tulisan terakhir, lalu kembali ke awal dan mulai membaca.
“Kalau kau membaca surat ini, artinya aku telah mati, benar-benar mati.’’
Pesan pertama mengingatkan Bailey pada perompak pemberi surat yang ia pegang sekarang. Orang itu benar-benar berpikir jauh menurut Bailey.
“Dan kalau kau membaca surat ini, artinya kau masih hidup dan baik-baik saja.’’
“Benar,” jawab Bailey dalam hati.
“Aku merasa senang karena itu artinya usahaku tidak sia-sia.’’
Bailey tersenyum getir, geleng-geleng kepala tidak percaya.
“Sebelumnya aku ingin minta maaf karena telah melukai lehermu, Tuan Muda. Ah, di sini kupanggil Bailey saja, yaa, hehe ….’’
Bailey memegang lehernya sebentar.
“Jadi, itu juga sudah dia rencanakan.” Batin Bailey ber-waw. Ia mengangguk mengiyakan saat membaca panggilan yang digunakan untuknya.
“Itu kulakukan agar hukuman mati segera dijatuhkan padaku, hehe.’’
Mata Bailey membulat.
“Apa-apaan dia ini? Pakai terkekeh pula!”
“Tidak usah terkejut begitu, Bailey. Ahahah .... Oh! Kau pasti ingin tahu kenapa, 'kan?’’
Mata Bailey membulat lagi, lalu ia mengangguk ragu.
“Sekarang aku merasa seperti sedang bicara dengan seorang peramal.”
“Itu karena teman-temanku yang datang bersamaku ke pulau ini mati satu per satu, huhuhu .... Aku tidak ingin sendirian. Sedih, sakit, rindu, dan rasa bersalah akan menghantuiku setiap waktu. Dulu, awalnya aku yakin cepat atau lambat akan bebas dan menjalani hidup lagi, tapi semuanya berubah saat aku mendengar percakapan dua prajurit beberapa hari setelah aku dan teman-temanku dipindah ke dungeon lantai bawah bagian dalam.’’
Bailey tiba-tiba saja merasa sesak membacanya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Keningnya berkerut kemudian.
“Percakapan dua prajurit?”
“Aku tahu, aku akan mati sebelum bebas dari pulau ini. Teman-temanku juga. Dua prajurit itu yang mengatakannya. Aku pernah mendengarnya secara langsung. Mereka mungkin sedang berjaga saat itu dan tidak menyadari kalau aku mendengar pembicaraan mereka, memperhatikan mereka. Mungkin karena ruanganku gelap dan aku juga duduk bersandar pada tembok terdalam, tapi yang membuatku bingung adalah mereka seperti sedang membicarakan sebuah rahasia. Terlihat mencurigakan. Kau ingin tahu apa yang mereka katakan?”
Tiba-tiba saja Bailey berasa bersalah. Matanya berembun, padahal bukan dirinya yang membunuh teman-teman sosok misterius itu baik saat peristiwa di bukit batu timur kemarin lalu maupun di dungeon saat sebelum-sebelumnya. Lagi, kening Bailey berkerut saat membaca bagian dua prajurit dan ia mengangguk lagi.
“Kalau benar begitu, artinya aku harus menyelidiki prajurit yang berjaga di dungeon, terutama prajurit yang dia maksud.”
Mencoba memikirkan siapa prajurit yang dimaksud, tiba-tiba ketukan pintu mengalihkan perhatian Bailey. Wajah Bailey terangkat sedikit.
“Tuan Muda, Nyonya Besar menyuruh Anda makan.” Itu suara Myriam sang kepala pelayan.
“Aku akan makan nanti. Tolong beritahukan pada Ibu untuk tidak menungguku. Terima kasih,” jelas Bailey dengan suara lebih keras agar terdengar ke luar pintu kamarnya.
“Baik.”
Satu kata yang menjadi balasan Myriam membuat fokus Bailey kembali ke surat sedangkan Myriam langsung berlalu dari depan pintu. Ia tahu Bailey tidak akan mengatakan apa pun lagi setelah mengucapkan terima kasih.
“Sampai di mana tadi?” Bailey bertanya pada diri sendiri. “Oh, ini.”
“Mereka mengatakan, ‘Tuan sengaja mengajukan usul dan mendesak petinggi lain di rapat itu agar menunda hukuman mati bagi para perompak yang masih hidup, dalihnya agar dapat mengorek informasi tentang mereka dan dunia luar, padahal sebenarnya karena ingin menjadikan mereka alat untuk melancarkan rencananya.’ begitu yang mereka katakan.’’
“Mencurigakan! Tuan yang mereka maksud sudah pasti bukan Ayah. Sebagaimanapun Ayah, dia takkan bersikap seperti itu. Ayah bekerja keras untuk Zanwan. Pasti bukan ketua prajurit dungeon itu juga meski kemungkinan kedua bisa dicurigai karena aku tidak sering bertemu maupun dekat dengan mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka di belakangku.” Bailey berasumsi dalam hati.
Ingatan Bailey kembali pada laporan yang sampai ke telinganya dari ketua prajurit yang berjaga di hari Bailey mendapat serangan. Ketua prajurit itu mengatakan bahwa tidak ada prajurit yang berkhianat baik prajurit yang berjaga di hari itu maupun di beberapa hari sebelumnya. Ketua tim pasukan elite yang membantu dalam pencarian dan penyelidikan di area distrik dan perbatasan, juga memeriksa prajurit yang berjaga di perbatasan dan para jagawana, pun mengatakan demikian. Tidak menemukan apa pun.
“Kalau begitu, berarti memang ada orang dalam karena kalau tidak, akar masalah dan dalang sebenarnya pasti akan muncul ke permukaan. Pencarian itu benar-benar dari sudut ke sudut, bahkan menyebar ke perbatasan desa sampai ke tepian pulau. Lagi, Ayah memerintahkan intel pasukan elite untuk menyelidiki diam-diam, tapi juga tidak mendapatkan apa-apa. Rasanya sulit dipercaya mereka lolos,” gumam Bailey.
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.