Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.
“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”
“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.
“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tahanan tetua yang kumaksud, baca lagi ke pesan sebelumnya, tapi kurasa kau tidak lupa, haha. Aku merasa mereka memiliki misi atau tugas tersembunyi selain dari tugas mereka sebagai prajurit penjaga dungeon. Mengawasi para tahanan tetua itu misalnya.”
“Memang tidak lupa. Barusan kubaca, bagaimana mungkin lupa? Ingatanku tidak seburuk itu.” Bailey mengerucutkan bibir.
“Kau tidak lupa, 'kan? Sudah kuduga, ahaha! Ah, iya, kau tahu? Ingat ini baik-baik. Sebenarnya penyerangan bangsaku, para Viking, kemarin lalu, tidak sepenuhnya dikarenakan keinginan untuk menjajah dan menguasai tanah kalian. Seharusnya orang-orang bisa menduganya. Kami adalah Viking, tempat kami di laut, bukan di daratan, bahkan rumah dan keluarga saja kami tinggalkan demi melaut, mencari penyambung hidup di lautan untuk dibawa pulang ke rumah, ke keluarga kami, ke daratan tanah air kami.”
“Begitu, yaa. Berarti, pasti ada alasan kuat di baliknya.”
“Penjarahan yang kami lakukan pun hanya pada mereka yang berhak menerimanya. Orang-orang sombong yang suka semena-mena. Yang satu ini, kau pasti bingung dan tidak mengerti. Jadi, tak perlu kubahas. Nah, kembali lagi. Mengapa kami harus bersusah payah membuang tenaga, mengambil risiko besar, bahkan mempertaruhkan nyawa kami untuk menjajah daratan lain? Adakah kau berpikir sampai situ, Bailey?”
“Hmm ... tidak. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya,” jawab Bailey dalam hati lagi. “Tapi benar juga. Ini semakin menguatkan tebakanku kalau memang ada alasan kuat di balik tindakan mereka itu.”
Bailey tidak berpikir lebih jauh lagi dan fokus membaca pesan berikutnya. Mimik wajahnya menjadi lebih serius.
“Dan kau tahu? Sesungguhnya penyerangan bangsaku yang lalu adalah sebuah balas dendam dengan ambisi yang dilebihkan atas titah ketua kami yang telah hilang arah, buta mata hati juga akalnya tersebab kehilangan orang yang berharga, orang yang tewas di tangan orang Zanwan.”
Bailey diam. Otaknya berisik meriuh, menggapai perbatasan pulau dengan laut, mencoba mencari celah hubung antara penduduk Zanwan, selain para nelayan, dengan kawanan perompak bersebutkan Viking ini.
“Robekan syal berbahan halus di dekat jasad orang terkasih pemimpinku yang kuyakin berkualitas tinggi membawa curigaku pada petinggi desa Zanwan atau setidaknya penduduk kalangan atas distrik Alocya.”
“Syal berkualitas tinggi.” Bailey berpikir lagi.
“Aku belum pernah mendengar kasus atau sekadar desas-desus apa pun tentang hal ini. Lagipula, orang yang diizinkan melaut secara berkala dan paling sering adalah para nelayan pencari ikan. Itu pun didampingi prajurit perbatasan yang tidak hanya satu dua. Mungkinkah pembunuhan itu terjadi saat aku masih balita, bayi, atau sebelum aku lahir?” terka Bailey.
“Kalau benar, berarti ini adalah dendam lama dan berarti dalang pembunuhan itu sudah mengacau sejak lama pula. Kalau orang itu juga terlibat dalam masalah yang terjadi akhir-akhir ini, berarti orang itu masih hidup dan berkeliaran bebas.” Bailey manggut-manggut. Sekarang ia mengerti betapa rumitnya masalah di Zanwan.
“Aku adalah salah satu saksi atas pembunuhan itu. Masih kuingat wajahnya, tapi tak kuketahui identitasnya. Aku tidak tahu dia adalah orang suruhan atau akar pembunuhan itu sendiri. Yang jelas permainan pedangnya cukup bagus. Ia seorang pengguna dua pedang, tapi lebih banyak menggerakkan pedang di tangan kiri. Ada tato bergambar hiu kecil di tangan kirinya.”
Hanya ada dua kemungkinan besar jika orang itu adalah pengguna dua pedang dengan permainan yang bagus. Pertama, orang itu adalah lulusan akademi khusus, seorang terlatih dengan latar belakang keluarga petinggi desa. Kedua, orang itu adalah murid atau lulusan dari barak khusus yang menjadi rumah berlatih para calon pasukan elite. Tidak semua orang yang berlatih di sana lulus dan masuk menjadi pasukan elite Zanwan. Ada yang menjadi telik sandi, tangan kanan, juga pengawal petinggi desa.
Bailey membalik halaman buku catatan yang sudah penuh, mengambil pena dan menggerakkannya lagi, menuliskan semua riuh di kepala, kemudian melanjutkan membaca.
“Haaaahhhh …. Aku tidak sempat menghentikan aksi pembunuhan itu karena orang-orang mereka menghalangiku. Pembunuh itu tidak sendiri, ada orang lain yang bersamanya, tapi hanya menonton, juga beberapa orang yang sepertinya anak buah mereka. Saat itu aku juga tidak sendiri, ada Edvard bersamaku. Edvard Eidem. Kami mencoba menghentikan aksi mereka, tapi tidak berhasil karena kalah jumlah, kekuatan, dan kemampuan. Kami masih remaja sedangkan mereka orang dewasa.”
“Dokter Ed!? Mungkin aku harus menanyakan ini padanya nanti.”
“Tapi, Bailey, jangan kau coba untuk bertanya pada Edvard tentang hal ini! Setidaknya, tidak sampai kau yakin kau bisa mempercayainya.”
Bailey terdiam dalam bingung.
“Orang ini seperti benar-benar tahu isi pikiranku dan apa yang akan kulakukan. Oh, dan ada apa dengan Dokter Ed?”
“Edvard pasti kenal orang-orang itu karena mereka sama-sama berasal dari Zanwan dan tinggal di distrik Aloclya. Kalau kau ingin tahu, orang terkasih pemimpinku yang terbunuh oleh mereka adalah termasuk orang terdekat Edvard. Lebih dari itu, Edvard anggap sebagai kakaknya sendiri, tapi sejak hari itu, tak pernah lagi kulihat Ed sampai malam perang beberapa waktu silam. Aku melihat Ed berdiri bersama petinggi Zanwan, memerangi kami, padahal dia sangat tahu apa yang terjadi. Yang kukhawatirkan, Ed berubah pikiran dan bergabung bersama para pembunuh itu.”
“Baiklah, aku harus tetap hati-hati, tapi tentang Dokter Ed? Sulit dipercaya. Kalau Dokter Ed bergabung dengan mereka, artinya Dokter Ed adalah salah satu mata-mata mereka. Kalau benar, artinya Dokter Ed sudah mendapat sedikit banyak informasi, terlebih dari sini, berhubung hanya Dokter Ed orang luar mansion yang paling sering datang ke sini untuk memeriksa kesehatan Ayah, apalagi mereka terkadang membincangkan sesuatu.”
Bailey makin bingung. Apa yang ia dapatkan menyulitkannya untuk memilih siapa yang benar-benar bisa dipercaya, lalu Shaw muncul dalam ingatannya begitu saja. Bailey menghela napas. Berharap sekali ia pada hadirnya Shaw saat ini. Gundah batinnya. Ia taruh gulungan kertas di meja dan meraih pena juga buku catatannya, menuliskan semua yang ia baca dan hal-hal yang masuk lagi ke dalam pikirannya.
Di kamar lain, Ascal dan Jillian terlibat percakapan.
“Bailey sudah pulang?” Ascal bertanya sembari bercermin, merapikan pakaian kasualnya yang sebenarnya sudah rapi. Ia baru saja selesai mandi.
“Sedari sore. Sudah dua kali juga kusuruh dia makan. Yang terakhir, Bibi Myriam bilang Bailey akan makan nanti,” jawab Jillian sembari menutup buku yang usai dibaca dan menyimpannya ke rak.
“Kau tidak melihatnya?”
“Saat pulang sekolah, aku menyuruhnya membersihkan diri dan makan. Aku juga mengatakan ingin bicara dengannya nanti. Bailey sempat meminta bicaranya saat itu juga, tapi tak ku-iya-kan. Bailey menerimanya dan pergi ke kamar. Dia belum keluar lagi sampai sekarang,” jelas Jillian yang sekarang merapikan beberapa buku yang tergeletak di meja dekat rak buku.
“Menurutmu dia kenapa?” Ascal mendekat untuk mengambil sisir di meja rias Jillian, kembali lagi ke depan cermin lemari pakaian dan menyisir rambutnya.
“Aku tidak bisa menduganya, tapi mungkinkah karena Shaw pergi? Bailey memikirkan apa yang akan dia lakukan mulai besok?” Jillian mengangkat satu alisnya, melirik Ascal.
“Hmm ... biar kulihat.”
Ascal menaruh sisir dan keluar.
Mengetahui ketukan juga panggilannya tidak terjawab terus, Ascal langsung membuka pintu, lalu mematung sesaat ketika melihat ke dalam kamar, tepatnya melihat Bailey.
“Bailey?” Ascal mendekat dengan wajah datarnya.
Yang dipanggil terdiam membeku, terkejut bukan main. Bailey yang sedang menulis sembari menopang dagu, berpikir, sontak menghentikan penanya. Ia menelan ludah, merutuki diri yang lupa mengunci pintu dan terlalu larut sampai tidak mendengar ketukan juga suara panggilan yang seharusnya cukup keras untuk mendobrak fokusnya.
Bailey menaruh pena di samping buku catatan, melirik Ascal sekilas.
“Ya?”
Gegas Bailey menggulung surat dari perompak.
“Bukankah ibumu menyuruhmu makan?”
Perhatian Ascal tertarik pada kertas yang Bailey gulung, lalu anak panah yang tergeletak di meja. Ascal berhenti di depan meja.
“Aku akan makan nanti,” jawab Bailey singkat, memindahkan gulungan juga buku catatannya ke bawah meja dan menggenggamnya erat.
Ascal mengambil dua potong anak panah yang tergeletak, memperhatikan lamat-lamat. Bailey panas dingin. Ascal bergerak ke samping meja, Bailey memiringkan badannya dengan waspada.
“Boleh Ayah lihat kertas yang kau gulung?” tanya Ascal, berdiri di samping kursi Bailey.
Bailey menggeleng. “Tidak.”
“Ayah pinjam sebentar saja,” bujuk Ascal, mengulurkan tangan kanan.
“Tidak!” Bailey menggeleng lagi, memeluk gulungan kertas juga buku catatannya.
“Bailey ....”
“Tidak, Ayah. Tidak mau! Tidak boleh!” Bailey berdiri, mundur menjauh sedikit dari kursinya.
Curiga dengan anak panah berlubang dan kertas yang Bailey gulung, Ascal kembali mencoba membujuk putranya.
“Hanya sebentar. Ayah baca di sini, setelah itu langsung Ayah kembalikan padamu.”
“Tidak mau, Ayah. Jangan memaksaku.”
“Kau keras kepala sekali.”
Ascal menatap datar dan dingin. Ia yakin ada sesuatu dengan anak panah dan gulungan kertas itu.
“Ayah yang keras kepala!” Bailey menjawab tidak kalah dingin seiring kesal yang mencuat. “Tak bisakah Ayah berhenti memaksaku? Aku tidak menyukainya. Berhenti memaksaku tentang apa pun, Ayah. Jangan membuatku melangkah lebih jauh dari Ayah!”
Bailey berjalan menyamping melewati Ascal dengan kedua tangan menyembunyikan gulungan kertas serta buku catatan di belakang tubuhnya.
Ascal terhenyak, tidak bereaksi apa pun selain dengan tanpa ekspresi menatap kepergian Bailey.
“Anak itu!”
“Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.
“Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,
Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya
“Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P