“Yeayy!” Shaw melompat riang. Ia berseru lagi, “Bold mau!”
Air muka tenang Bailey berubah. Sekejap ia terkesiap oleh teriakan Shaw. Tingkah Shaw yang langsung menyimpulkan padahal Bold belum menjawab adalah faktor lainnya.
“Tidak.” Bold akhirnya menjawab.
Sekarang air muka Shaw yang berubah. Ia menunduk murung.
Bold mengernyit.
“Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku.”
Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.
“Bertarung?”
“Shaw belum sembuh benar. Biar kugantikan.” Bailey mengajukan usul.
“Tidak apa, Bailey. Aku saja. Tidak masalah.”
Shaw mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri tubuhnya.
“Haah ... ya sudah.”
Bailey mengalah, menepi, membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit menengok ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Sang Tuan Muda bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain dirinya.
Prajurit yang kebetulan lewat pun mendekat dan perlahan prajurit-prajurit lain yang tadi berlatih di lapangan utama pun berdatangan. Mereka berkumpul di tepian halaman, menonton, dan bersorak.
“Perhatikan gerakanmu, Bold.” Shaw membuka suara, melempar seringai, lalu dalam satu langkah kaki, Shaw memotong pergerakan pedang Bold dari sisi kiri. Ia gerakkan cepat pedangnya, memutar pedang Bold dan menariknya.
Riuh sorak sorai dan tepuk tangan memenuhi halaman belakang asrama. Terhibur sekali mereka dengan pertarungan Bold dan Shaw, pun terkagum pada permainan pedang Shaw dan cara bagaimana anak itu mengalahkan Bold.
Bailey mendekat, memberi tepuk tangan pada Shaw dengan wajah berseri.
“Kukira permainan pedangmu akan melemah karena tidak berlatih beberapa hari,” tutur Bailey, terkekeh. “Dengan mengalahkan Bold, kau baru saja menjadi pengguna pedang terbaik ketiga di Zanwan, kau tahu?!”
“Ketiga?” Shaw memiringkan kepala.
Bailey mengangguk dan menjawab, “Kata orang-orang, pengguna pedang terbaik di Zanwan saat ini adalah si Jubah Hitam, lalu Ayah yang kedua, dan yang ketiga adalah Bold. Namun, karena kau berhasil melepas dan menjatuhkan pedang Bold dari tangannya, berarti kau adalah pengguna pedang terbaik ketiga!”
Sebuah kejutan lain bagi para penonton melihat antusiasme Bailey. Ini bahkan tidak kalah langka dari pertarungan Bold dan Shaw.
“Begitu, ya ....” Shaw menggaruk tengkuk dan tersenyum kikuk. Ia meneruskan dalam hati, “Si Jubah Hitam? Mungkinkah yang kemarin itu?”
Atasan pasukan elite yang mendengar kabar kedatangan Shaw dan Bailey pun mendekat. Kedatangannya adalah alarm. Para prajurit yang semula berkumpul gegas membubarkan diri.
Bold mengambil pedangnya, menghampiri Shaw dan Bailey.
“Kau hebat juga,” puji Bold. Walau matanya terlihat menatap Shaw dan Bailey berbarengan, sudah pasti kata-katanya ia tujukan kepada Shaw.
Begitu sampai di hadapan Bailey dan Shaw, Bold menjatuhkan lutut beserta harkatnya, menundukkan kepala juga congkaknya. Bold membumi; mengaku kalah, tunduk pada sang ahli waris takhta dan nadimnya.
“Yang rendahan ini sudah memutuskan, memberikan kesetiaan yang tak akan tergerus waktu,” ucap Bold, tegas nan tulus.
“Heehh?!” Shaw terkesiap.
Bailey menunjukkan reaksi yang kurang lebih sama. Ia dan Shaw mundur selangkah, saling pandang dalam bingung.
“Apa maksudmu, Bold?” tanya Shaw.
“Aku pernah bersumpah akan mengabdikan diri kepada siapa pun yang berhasil mengalahkanku,” jawab Bold, masih dengan posisinya.
Shaw bungkam.
“Namun, bagaimanapun sumpahku tidak dapat menggantikan tugas dan keharusanku akan pengabdian kepada pemimpin Zanwan. Maka, selain dikau, Shaw, aku pun dalam genggaman titah Tuan Muda Bailey.”
Shaw melirik Bailey. Apa yang Bold lakukan telah melampau jauh baginya yang tidak hidup dalam hal seperti itu.
“Kau tahu, Bold, pepatah Zanwan salah satunya adalah bahwa penduduk Acilav cenderung disebut sebagai penduduk budak. Kalaupun ada di antaranya yang menjadi tuan, itulah bagai keajaiban sekali dalam seribu tahun. Aku datang hanya ingin memintamu menemaniku mencari panasea. Ikrar dan penyerahan dirimu ini tidak ada dalam harapan maupun tujuan kedatanganku. Tidak akan. Jadi, tidak perlu seperti itu. Lagipula, kau sudah jadi temanku!” kata Shaw. Senyum cerah menghias wajahnya.
“Bangunlah, Bold.” Bailey bergilir bicara.
Bold mendengar. Namun, ia malah bergeming.
Bailey menoleh pada Shaw, memberi kode melalui gerakan kepala untuk meminta Bold bangun.
“Bangunlah, Bold. Akan kujawab kalau kau bangun.” Shaw yang meminta kali ini.
Patuh, Bold menegakkan tubuhnya, kembali tegap seperti ia yang biasa, tetapi dengan pandangan yang masih menunduk.
“Kau tahu bersumpah seperti itu sangat berbahaya, 'kan? Bagaimana kalau yang mengalahkanmu adalah orang jahat? Orang itu bisa saja memanfaatkanmu!” Shaw tidak mengerti, juga heran. Ia merasa Bold ceroboh kali ini.
“Dan saya pun sudah memutuskan, memilah akan dengan siapa saya bertarung.” Tenang Bold bersuara.
Shaw menghela napas, tidak nyaman dengan perubahan sikap Bold.
“Aku tidak menyukai perubahanmu, Bold,” kata Shaw jujur.
“Sumpah adalah sumpah, Shaw.” Itu Bailey, mengingatkan Shaw meski dirinya sama tidak nyamannya.
Sekali lagi Shaw menghela napas.
“Tidak ada harga yang pantas untuk kesetiaan yang kau tawarkan, Bold. Bagaimana kami akan membayarnya?” kata Shaw, menghirup udara dan memberi jeda pada perkataannya. “Kami. Maksudku, yah, seperti katamu. Kami, aku dan Bailey. Hah, berhubung aku tidak suka hal seperti ini, kalau kau ingin berdiri di sisiku, kau juga harus berdiri di sisi Bailey. Bukan hanya karena Bailey anak pemimpin Zanwan, melainkan karena aku dan Bailey adalah satu.”
“Tidak ada bayaran yang diperlukan, Tuan. Ini adalah apa yang seharusnya saya lakukan,” jawab Bold.
“Kau yakin, Bold?” Bailey bertanya.
Perkataan Bold tidak menjelaskan batas waktu yang artinya bisa saja bermakna seumur hidup. Bailey tidak yakin akan hal itu. Sumpah Bold.
Bold hanya merespon dengan anggukan. Ia sudah meyakinkan diri sejak pertama kali sumpah itu terucap olehnya beberapa tahun lalu. Mengetahui bahwa orang di hadapannya ini adalah yang dimaksud oleh sumpahnya, Bold makin yakin.
“Mau bagaimana lagi. Nah, Bailey, tetaplah sehat dan hidup. Bawa Zanwan pada napas yang seharusnya. Anggap saja itu bayaran untuk kesetiaan Bold.” Santai Shaw berucap, menyatukan jemari kedua tangannya di belakang kepala.
“Bold bicara padamu, Shaw.” Bailey memutar bola matanya.
“Kan sudah kubilang. Kalau ingin berdiri di sisiku, harus berdiri di sisimu juga. Bold, kan, bersikeras dengan sumpahnya, berarti Bold bicara padamu juga.”
Bailey geleng-geleng kepala. Tidak heran ia pada sikap Shaw. Ia tahu betul Shaw memang blak-blakan.
“Angkat kepalamu, Bold. Kami terima apa pun yang kau ucapkan. Jadi, angkat kepalamu,” titah Bailey.
Mendengar itu, Bold mengangkat kepalanya perlahan, menatap lurus sepasang mata Bailey, berganti ke Shaw.
Bailey dan Shaw saling tatap sesaat, mengangguk, dan menghambur bersamaan di detik berikutnya; memeluk Bold. Senyum hangat membingkai tanpa kata.
“Tu … Tuan ....”
Tidak ragu dalam berkata dan bertindak adalah kebiasaan Bold. Ia hampir tidak pernah terlihat gagap atau gugup, tetapi sekarang ia bahkan tidak tahu harus merespon bagaimana. Lidahnya kelu dan sekujur tubuhnya seperti membatu.
“Tidak perlu sungkan, Bold. Kita adalah teman baik mulai sekarang! Teman baik!” tutur Shaw, mendongakkan kepala. Cengiran ia tampilkan. “Aku serius! Kita adalah teman baik sekarang. Jadi, bersikaplah sebagaimana seorang teman bersikap pada temannya. Tidak ada kasta ataupun status sosial dan jangan gunakan kata-kata menyebalkan tadi untuk menyebut diri sendiri saat kau bicara dengan kami.”
Tertegun Bold. Ragu-ragu ia mengangkat kedua tangan, perlahan balas memeluk kedua anak lelaki itu. Penuh hati-hati ia ketika menyentuh pundak Shaw.
Bergetar hati Bold. Tidak pernah ia dapatkan perlakuan seperti ini dari orang lain. Aksi Bailey dan Shaw membawa jiwa Bold pada guncangan terhebatnya, semburat simpul pada parasnya yang tegas dan dingin, mengubah datar yang selalu tampak di sana. Bold tersenyum. Hangat dan haru memenuhi dirinya saat ini.
“Baiklah. Kita harus bergegas,” kata Shaw, melepaskan pelukan. Bailey mengikuti.
Bold tidak bertanya apa pun lagi. Ia masih dalam kejutnya. Jadi, ia hanya mengangguk dan mengikuti dua anak lelaki yang kini ia anggap sebagai Tuan sekaligus keluarganya.
“Tunggu!”
Satu suara menghentikan langkah ketiganya saat hendak meninggalkan lapangan utama. Suaranya datang dari arah samping.
Bold sangat mengenal suara tersebut. Ia segera mengambil sikap hormat.
“Jenderal Eduardo Galvan.”
“Kulihat-lihat kau sedang bersenang hati, Bold.” Eduardo tersenyum kecil. Atensi ia alihkan kepada Bailey. “Tuan Muda.”
Mengangkat kepala setelah menunduk sekilas, mata Eduardo lekas beralih, menangkap kehadiran Shaw. Sejenak ia terdiam.
“Jenderal Eduardo.” Bailey menyambut sapaan Eduardo.
“Ah, ke mana tujuan kalian berikutnya?” Eduardo tersenyum ramah.
“Ke rumah Profesor Barid.” Bailey yang menjawab.
Eduardo mengangguk singkat, kembali menatap Shaw dalam diam. Sejurus kemudian, tangannya terangkat dengan sebuah sorban di tangan. Ia pakaikan sorban pada Shaw hingga menutupi setengah wajah Shaw, area mulut dan hidung.
“Jangan lepaskan ini selama kau berada di distrik Aloclya, terutama jika sedang di luar. Kau boleh melepasnya saat di rumah Profesor Barid nanti,” tutur Eduardo.
“Mengapa?” Shaw dan Bailey bertanya bersamaan.
“Kalian akan mengetahui jawabannya suatu hari nanti,” ujar Eduardo, tersenyum, mempersilakan ketiganya melanjutkan perjalanan.
Setelah mengurus perizinan Bold dan membantu membereskan pakaian juga barang-barang yang ingin Bold bawa, ketiganya pergi dari asrama. Bold menunggangi kuda miliknya, mengekor di belakang kuda Bailey yang terpacu ke kediaman Barid. Sesuai yang diucapkan pagi tadi, Bailey membawa Shaw berkunjung.
Beberapa penduduk Aloclya yang berpapasan dengan ketiganya menatap penasaran pada Shaw. Pergi dengan Bailey dan Bold membersamai? Ini seperti mereka bertiga hendak menjalankan misi. Pada akhirnya orang-orang menundukkan pandangan saat ketiganya mendekat dan melewati mereka.
Terlihat Ramas di halaman depan ketika kuda Bailey dan Bold memasuki pekarangan seusai penjaga membukakan gerbang. Asisten Barid itu sedang menarik kuda ke kandang.
“Sepertinya Profesor baru tiba, tapi dari mana? Apa dari rumah? Kalau iya, lama sekali Profesor mengobrol dengan Ayah,” terka Bailey dalam pikirannya.
Ramas yang mendengar suara kuda lain datang langsung menghentikan aksi menarik kuda. Menoleh ia ke sumber suara dan keningnya mengerut sekejap. Gegas ia serahkan kuda kepada seorang pekerja di dalam kandang dan pergi menyambut tamu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan,” kata Ramas.
“Ey, Ramas! Bagaimana kabarmu?” Bold tiba-tiba membuka suara. Nada dan cara bicaranya mengundang Bailey dan Shaw untuk menoleh.
Bold seramah itu? Pada Ramas?
“Bold! Kabarku baik! Sangat baik!” Ramas antusias. Ia menyalami dan memeluk Bold sebentar sambil saling menepuk punggung.
Shaw berjalan ke sisi Bailey. Keduanya memperhatikan Bold dan Ramas yang kini terlibat obrolan dan saling tertawa.
“Bailey, kau bilang Bold susah diajak berbincang santai, kan?” Shaw bertanya lirih.
Bailey memberi Shaw anggukan kepala.
“Lalu apa yang kita lihat sekarang ini?”
“Entahlah. Kurasa informasinya tidak cukup valid.”
Benak Bailey dan Shaw berselimut tanya. Namun, tidak satu pun dari mereka menyuarakannya karena Bold dan Ramas bahkan seperti mendadak lupa pada sekitar.
“Bold?!” Shaw memanggil. Tergambar rasa heran pada raut mukanya.
Obrolan dan tawa itu seketika berhenti.
“Kami tidak bermaksud menginterupsi, tapi apa Profesor luang untuk bertemu?” Bailey bertanya.
Bold membuka mulut seperti mengucap kata A dan Ramas menunjukkan cengiran.
“Ah, maafkan saya!” Ramas mendekat. “Profesor baru kembali. Seharusnya luang untuk bertemu. Mari, saya antar.”
Di sela berjalan, Shaw melirik Bold sepintas lalu. Ia temukan tidak ada ekspresi di wajah Bold.
“Silakan duduk ... mohon tunggu sebentar!” kata Ramas ketika ia memasuki ruang tamu. Sesudahnya, ia berlalu; memanggil Barid.
Tidak lama dari kepergian Ramas, pelayan datang membawa hidangan, menyusunnya rapi di meja dan kembali setelah mendapat ucapan terima kasih.
Shaw melonggarkan sorban yang menutupi setengah wajahnya, menariknya ke bawah sebatas leher dan mengambil napas banyak-banyak.
“Aku ... tidak biasa memakai ini,” kata Shaw dengan napas menderu.
Bailey menepuk-nepuk punggung Shaw, memberi semangat.
“Kau akan segera terbiasa. Jenderal Eduardo adalah orang baik. Aku yakin ada alasan kuat mengapa Jenderal memintamu menyembunyikan wajah selama kau berada di distrik ini. Benar, 'kan, Bold?”
“Benar. Jenderal Eduardo orang baik dan tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan.”
Satu hal baik yang masih dipertahankan penduduk Zanwan di tengah hitamnya aturan yang berlaku adalah tradisi memperlakukan tamu. Ruang tamu adalah satu-satunya tempat di mana orang dari semua kalangan bisa merasakan duduk di tempat yang sama. Setara.
Penduduk Zanwan memperlakukan tamu mereka dengan baik, tidak peduli pangkat dan jabatan. Siapa pun yang bertamu ke rumah mereka akan mendapat perlakuan yang sama dari empunya rumah. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa perompak bajak laut berkeinginan menguasai Zanwan. Mereka meyakini penduduk Zanwan akan menjadi orang yang besar di masa depan, meyakini diri mereka pada dasarnya adalah orang-orang baik.
“Selamat datang ….” Barid muncul dengan wajah semringah. Namun, kata-katanya terhenti kala matanya terarah pada Shaw.
Terdiam Barid, melangkah mendekat. Tangannya sedikit gemetar saat menangkup wajah Shaw. Ia usap kepala Shaw penuh haru. Sorot gembiranya meredup sementara Shaw hanya menampilkan wajah polos yang bingung.
Barid seperti kehilangan suara ketika ia bertanya, “Siapa … namamu?”
“Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.
“Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,
Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya
“Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P