LOGIN“Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.
Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.
“Jadi, kalian akan langsung pergi?”
Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.
“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”
“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.
“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.
Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketiganya dengan cemas.
Shaw menunggangi kuda Bailey. Edvard berada di belakang mereka. Kedua kuda berpacu menjauh, membelah hutan, menuju distrik Aloclya.
Shaw menengok ke kiri saat sampai di hamparan padang rumput, melihat rute jalan yang dilaluinya saat pelarian bersama Daniel. Tampak beberapa bangunan telah selesai direnovasi, juga para tukang yang sibuk melakukan pekerjaan mereka di bangunan lainnya.
“Ada apa?” Bailey membuka suara saat melirik ke samping belakang sekilas.
“Tidak. Hanya melihat perbaikan bangunan di sana itu,” kata Shaw, menunjuk ke arah barat.
“Ramai?” tanya Bailey lagi.
Shaw mengangguk.
“Ayah memerintahkan untuk membuka lebih banyak lowongan dan merekrut lebih banyak orang, katanya agar renovasi lebih cepat selesai,” jelas Bailey tanpa menoleh.
Di depan mereka, birai setebal 50 sentimeter berdiri kokoh di kedua sisi jembatan yang melengkung di sungai perbatasan. Abu-abu gelap warnanya menyempurnakan pemandangan, berbaur dengan jernihnya air sungai, hitam batu, cokelat batang pepohonan, hijau daun, serta terangnya cahaya yang menyelusup malu-malu. Hutan asri ini akan lebih berwarna saat musim semi dan musim gugur.
“Rasanya hutan ini semakin indah saja,” celetuk Shaw.
Di depan Shaw, kekehan keluar dari Bailey, merasa lucu akan Shaw yang seperti seorang pengunjung sedang berkeliling.
Bangunan rumah-rumah bak istana dengan halaman seperti taman indah yang luas tersuguhkan di depan mata begitu melewati hutan. Sungguh berbanding terbalik dengan distrik Acilav yang sederhana.
Asrama pasukan elite Zanwan terletak tidak jauh dari mansion Hunt, terpisah oleh hampar pekarangan, dinding pagar, dan jalanan. Mansion Hunt sendiri memiliki halaman yang luas seperti taman seribu bunga. Ini dikarenakan sang nyonya besar, Jillian, suka sekali tanam-menanam, terutama bunga.
Keluarga pemimpin Zanwan seharusnya tinggal di mansion tertua di Zanwan; sebuah bangunan menyerupai kastil dengan hamparan padang rumput yang luas. Letaknya di dekat bukit utara. Namun, Ascal dan Jillian sepakat menolak. Keduanya memilih tinggal di rumah yang mereka bangun dari uang mereka sendiri, memilih dekat dengan asrama pasukan elite Zanwan karena pada saat itu Ascal sering bolak-balik ke sana, entah untuk melihat prajurit berlatih atau latihan sendiri.
Dahulu pula pemimpin di Zanwan dipanggil dengan sebutan Yang Mulia; panggilan khas untuk seorang raja. Namun, sejak Ascal dilantik, panggilan itu dihapuskan. Banyak suara yang tidak setuju dan sempat terjadi perdebatan panas di ruang rapat, tetapi Ascal mengabaikan semuanya.
“Ibuku bilang tinggal di kastil yang besar dan megah membutuhkan perawatan yang lebih rumit, uang dan tenaga yang lebih banyak, serta memperbesar celah untuk dimasuki orang asing. Jadi, lebih rawan bahaya. Karena itulah, Ayah dan Ibu menolak untuk tinggal di sana. Ibu juga bilang kalau sejak kecil Ayah tidak suka dipanggil dengan panggilan berbau kerajaan. Maka dari itu, Ayah mengeluarkan perintah dan pernyataan untuk memanggilnya dengan panggilan yang sama seperti orang lain setelah pelantikan,” tutur Bailey suatu hari kala Shaw bertanya padanya mengenai kastil dan panggilan yang dihapuskan.
Shaw hanya melihat sekilas mansion Hunt dari celah pagar yang tinggi lagi kokoh. Terlihat jelas hamparan taman bunga di halaman depannya.
Sementara kuda yang ditunggangi Shaw dan Bailey melambat; bersiap untuk berbelok masuk ke kawasan asrama prajurit elite Zanwan, Edvard menghentikan lajunya.
“Saya hanya mengantar sampai di sini, ya.”
“Terima kasih, Tuan Dokter!” Shaw yang menyahut.
“Hati-hati di jalan,” sambung Bailey.
“Baik. Oh, iya, Shaw, kalau mulai merasa tidak nyaman punggungnya, lepaskan bajunya beberapa saat sampai merasa lebih baik dan ingat jangan memberi tekanan berlebih,” pesan Edvard.
“Roger, Kapten!” Shaw berseru semangat, mengangkat tangan membuat pose hormat.
Edvard terkekeh.
“Baiklah, saya pergi dulu,” pamit Edvard, memperbaiki posisi ransel di gendongannya. Ia tersenyum, lalu melanjutkan ucapan sambil menekuk siku, mengepalkan tangan ke atas, kemudian menariknya ke bawah, “Semoga sukses!”
Seperginya Edvard, Shaw dan Bailey memasuki asrama elite.
Para prajurit yang sedang mengobrol, berlatih, dan melakukan aktivitas lainnya berangsur menegapkan badan dan menundukkan pandangan seiring mata mereka menangkap kehadiran sang tuan muda.
“Woaahh ... luasnyaaa!”
Shaw menatap takjub sekeliling. Suaranya yang jadi terdengar lebih kencang karena suasana hening mengakibatkan beberapa prajurit sedikit mengangkat kepala mereka; mencuri pandang pada Shaw.
Dalam hati, mereka membisikkan tanya, “Itukah anak yang dimaksud dalam kabar itu?”
Seorang prajurit yang sedang bertugas jaga berlari dari arah jam sembilan, mendekati Shaw dan Bailey yang hendak turun dari kuda.
“Adakah sesuatu yang bisa saya bantu, Tuan?”
“Aku mencari Bold. Di mana dia?” tanya Bailey seraya turun dari kuda setelah Shaw.
“Tadi pagi saya melihat Bold di halaman belakang, Tuan. Mari, saya antar ke ruangan untuk menunggu. Biar saya panggilkan Bold sesudahnya.”
“Terima kasih, tapi tidak usah. Kami akan menemuinya sendiri. Umm ... minta tolong bawa kuda ke tempat yang lebih teduh, boleh?” Ramah Bailey berkata. Sejenak ia mengamati sekeliling. “Bawa ke mana saja asal tidak terlalu jauh.”
“Seperti yang Anda katakan, Tuan Muda.”
Shaw dan Bailey mengucap terima kasih, lekas melanjutkan langkah menuju lorong.
“Betapa santunnya,” kata sang prajurit dalam hati, menatap punggung Shaw dan Bailey sepersekian detik, lalu menarik kuda ke dekat pos jaganya.
Suara denting pedang memenuhi udara. Terlihat di lapangan yang luas di tengah bangunan asrama itu, para prajurit yang berlatih. Namun, bising itu tidak bertahan lama. Seperti di luar tadi, berangsur mereka menegapkan badan dan menundukkan pandangan ketika mata menangkap kehadiran sang tuan muda.
“Tuan, Anda berdarah!” Shaw tiba-tiba memekik, berlari menghampiri seorang prajurit dengan kaos pendek berwarna hitam polos yang tergores tangan kirinya oleh pedang. Sayatan tipis sepanjang tujuh sentimeter terlihat jelas di sana.
Aksi Shaw sontak menjadi perhatian prajurit lain termasuk Bailey yang segera menghampiri.
“Shaw, ingat kata Kakek. Kau harus hati-hati.” Bailey mengingatkan dengan suara rendah.
“Hehe, sebentar.” Shaw mengeluarkan sebuah kain berwarna hijau tua yang terlipat persegi dari sakunya. “Berikan tangan Anda, Tuan.”
“Ti … tidak apa, ini hanya luka kecil.” Sang prajurit menarik tangan kirinya ke belakang tubuh.
Tidak mengindahkan, Shaw menarik tangan kiri sang prajurit, lalu mengikatkan kain menutupi lukanya.
“Luka sekecil apa pun bisa jadi masalah dan penyebab luka lain yang lebih serius jika dibiarkan berlama-lama.”
Shaw menalikan ujung kain sekali lagi. Ikatan kain ia buat kencang, tetapi tidak terlalu menekan tangan sang prajurit.
“Nah, sudah,” imbuh Shaw, menepuk tangan sekali dan mengangkat wajah menatap sang prajurit. “Nanti segera obati kalau sudah selesai berlatih, ya.”
Sang prajurit terbengong-bengong, kemudian mengangguk pelan. Ini tentu kejadian nyata, bukan mimpi, tetapi mengapa terasa mustahil?
“Ba … baik, terima kasih.”
Antara terkejut dan tidak percaya, sang prajurit kehabisan kata-kata. Sampai Shaw dan Bailey berlalu menjauh, sang prajurit tidak mengatakan apa pun lagi, melainkan hanya menatap punggung dua bocah lelaki itu.
“Apakah dia anak yang dibicarakan itu?” Prajurit lain menggumamkan tanya.
“Kurasa iya. Buktinya dia terlihat bersama Tuan Muda,” respon prajurit lain.
Citra Bailey yang terkenal dingin dan tidak mudah didekati, apalagi diajak berteman, sudah menyebar luas, menjadi rahasia umum di kalangan penduduk Aloclya. Melihat Bailey berjalan dan pergi bersama orang lain sebayanya adalah sesuatu yang langka.
“Baik sekali dia,” sahut prajurit yang lain lagi, lalu suasana kembali seperti semula; para prajurit meneruskan latihannya.
Ke halaman belakang asrama, Bailey dan Shaw menujukan langkah. Di sana, sesuai pernyataan prajurit yang mereka temui di depan asrama, mereka menemukan Bold.
“Itu Bold!” Bailey melempar pandang tepat pada sosok yang mereka cari.
“Woah! Ruciragati sekali gerakannya! Tajam pandangan lagi tenang. Pantas saja dia menjadi yang terbaik di Zanwan!” Shaw spontan berkomentar, terkesima melihat gerakan pedang Bold yang lembut, tetapi tegas.
“Benar. Dia menghanyutkan sekaligus mematikan.” Bailey mengangguk setuju.
Bold, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang yang jagur, seniman bela diri, dan prajurit elite terbaik di zanwan di angkatannya. Ketika usianya 16 tahun, tujuh tahun lalu, setelah melewati proses seleksi yang ketat dan berat, ia bergabung ke dalam pasukan elite.
Merasa diperhatikan, Bold menoleh. Ia dapati Shaw dan Bailey berajalan mendekat. Bold mengenali keduanya, lalu serupa para prajurit lain, Bold menundukkan pandangan. Bukan karena Shaw, melainkan Bailey.
“Angkat kepalamu, Bold.” Tenang Bailey bersuara. Sebuah perintah.
“Bold! Bagaimana kabarmu?” Pertanyaan dengan nada riang dari Shaw menyambut di detik Bold mengangkat kepala.
“Kabarku baik. Bagaimana denganmu? Kudengar kau terluka parah.” Bold menatap tanpa ekspresi.
“Kabarku juga baik! Aku terluka, tapi sudah dalam pengobatan Dokter Ed!” Shaw menjawab seraya tersenyum cerah.
“Shaw, beritahukan.” Bailey menatap Shaw dan memberi anggukan.
Shaw balas mengangguk sekilas, berpaling kepada Bold yang masih menampilkan wajah tanpa ekspresi.
“Bold, aku ingin memintamu untuk menemani perjalananku mencari panasea ke luar desa. Maukah? Iya? Mau, 'kan?” Shaw mengedip-ngedipkan mata, menyatukan kedua tangan di depan dada, dan memasang ekspresi imut.
“Ini yang terakhir, loh. Yang Kakek ambil itu potongan besar. Singkongnya juga besar. Setelah ini, jangan ambil lagi.”Avidius duduk di sebelah Barid.Sosok satunya sudah lebih dahulu duduk, bahkan tangannya sudah menyambar sajian di meja. Ia Leonere, mengambil tempat duduk di sebelah Edvard. Sofa yang diduduki Eduardo adalah sofa tunggal dan tubuh Eduardo lebih dari cukup untuk membuat sofa kecil itu nyaris tanpa celah.Leonere mengambil roti bulat, diameternya kira-kira 12―15 sentimeter. Satu telur dadar bulat utuh diambil kemudian, ia letakkan di atas roti. Ia ambil botol saus tomat, menuangnya di atas telur. Botol saus ditaruh, roti ia lipat jadi setengah lingkaran.Avidius hendak mengambil roti juga. Namun, tangannya dipukul pelan.“Apa, sih, Kakek?”Avidius mengusap punggung tangannya.“Di mana etikamu? Lihat itu ada tamu. Katakan sesuatu pada Dokter Ed.”“Kami sudah tegur sapa, kok. Iya, kan, Dokter?”
“Ehem!”Dehaman itu nyaring, menggoyahkan mata Bexter dalam sekejap. Kepalanya bergerak, matanya mendelik. Dexter si pelaku langsung pura-pura memandangi atap.Tawa halus yang tertahan Bexter dengari. Suara khas si asik bungsu. Bexter tidak melempar tatapan yang sama seperti yang ia lakukan pada Dexter. Hanya teguran halus yang ia lakukan.“Cerys ….”Jejak kemerahan masih tertinggal di pipi Bexter.“Iya, aku berhenti.” Cerys mengangkat satu tangan, tetapi wajahnya tidak bisa menipu. Garis senyum yang terpatri itu teramat jelas untuk tidak terlihat. “Sebaiknya aku tidur sekarang.”Tepat sesudah berucap begitu, Cerys berpura-pura menguap. Sebelah matanya melirik Dexter, mengirim sinyal tak bersuara yang segera bersambut.“Ah!” Dexter mengangkat sebelah tangan. “Aku juga perlu tidur. Esok aku harus bangun pagi sekali.”Sambil lalu, Dexter menatap Bexter, melempar senyum penuh arti. Ia hampiri Cerys, merangkul si bungsu.“Selamat malam, Kak Bexter dan Elwanda!” Riang Cerys berkata. Satu t
“Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.
“Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,
Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya
“Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau







