Tiba-tiba sebersit perasaan bersalah dalam lubuk hatinya dan dia pun menangis tersedu-sedu. Jenny dan ibunya hanya diam saja melihatnya. Maafkan aku, Anakku! jerit Jessica dalam hati. Mama telah membunuhmu tanpa sengaja. Maafkan Mama, Nak!
Hati Jessica masih teriris setiap kali mengenang kejadian menyakitkan itu. Ia keguguran, rahimnya cacat, dan bahkan tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit! Jenny-lah yang melunasi semua tagihan rumah sakit dengan uang tabungannya. Ponsel Tante Wanda tak dapat dihubungi. Rumahnya pun kosong ketika didatanginya bersama Jenny beberapa hari kemudian sekeluar dirinya dari rumah sakit.
Hanya spanduk bertuliskan kata Dijual yang menyambutnya di depan pagar rumah mewah tersebut. Ketika nomor agen properti yang tertera pada spanduk itu diteleponnya, orang itu mengatakan bahwa pemilik rumah sudah pindah ke luar negeri dan hanya akan datang kembali jika ada pembeli yang sudah menyerahkan uang muka untuk membeli rumahnya.
Gadis itu tersenyum sinis mendengar penjelasan tersebut. Tante Wanda telah merencanakannya dengan detil, batinnya penuh kebencian. Perempuan itu bukanlah manusia! Dia telah membunuh cucunya sendiri dengan diam-diam. Bahkan juga merusak masa depanku! jeritnya dalam hati. Mulai sekarang, tak seorang laki-laki pun kuijinkan hadir dalam kehidupanku! Jessica Irawan sudah mandul sekarang dan dia menjadi seorang wanita yang merdeka! tekadnya bulat-bulat dalam hati.
Dan sekarang…Tommy yang sudah tak pernah kuharapkan lagi tiba-tiba hadir menawarkan cintanya kembali, pikir Jessica seraya tersenyum sinis di depan cermin. Ibunya yang jahat itu terkena kanker leher rahim. Aakah itu sebuah kebetulan belaka? pikir gadis itu penuh tanda tanya. Akhirnya rahimnya pun cacat, bahkan lebih parah dariku karena mengancam keselamatan jiwanya. Tapi itu bukanlah kehendakku. Kalau aku boleh memilih, takkan kubiarkan dia meninggal begitu cepat sebelum merasakan pembalasan dendamku!
“Ok, Jessi,” ucap gadis itu sambil kembali menatap bayangan wajahnya di cermin. “Kamu sekarang diberi kesempatan lagi untuk menjadi Sica…. Tetapi bukan Sica yang lugu, naif, dan mudah dipermainkan. Dirimu sekarang adalah Sica yang cerdas, selalu waspada, dan…berhati kejam!”
***
“Ada masalah apa sebenarnya, Tommy? Mamanya Melani menelepon bahwa kamu membatalkan pernikahanmu dengan anaknya. Gadis itu sampai menangis terus-terusan. Padahal baru dua hari yang lalu kan, kalian pergi mencari-cari rumah?” tanya Wanda keesokkan paginya sewaktu menikmati sarapan bersama putranya di rumah. Ditatapnya pemuda itu dengan sorot mata prihatin. Sungguh tak mudah baginya mencarikan pasangan hidup yang sepadan bagi Tommy dilihat dari segi fisik maupun status sosial ekonomi.
Begitu sudah mendapatkan yang bagus, lha kok dibuang begitu saja oleh anak kesayangannya ini! Padahal kelihatannya hubungannya dengan Melani baik-baik saja.
“Masalahnya Tommy nggak pernah mencintai Melani, Ma.”
“Kalian kan sudah jalan bareng sekitar tiga bulan. Masa belum timbul benih-benih cinta, Anakku? Jangan-jangan kamunya sendiri yang kurang berusaha….”
Tommy memandang ibunya dengan tatapan aneh, “Justru itu, Ma. Kalau memang cinta sungguhan, nggak perlu diusahakan juga muncul sendiri. Seperti waktu dulu Tommy berhubungan dengan Sica.”
“Jangan pernah kamu sebut-sebut lagi nama itu di rumah ini, Tommy!”
“Kenapa memangnya, Ma? Apa salah Sica sampai Mama tidak menyukainya?”
Wanda menghela napas panjang. Dia tidak bersalah sama sekali, kata perempuan bertubuh kurus itu dalam hati. Hanya saja kenyataan bahwa ayahnya pernah dipenjara membuat dirinya tak pantas menjadi bagian dari keluarga Saputra.
“Tommy dan Sica ditakdirkan untuk kembali bersatu, Ma.”
“Apa katamu?” tanya Wanda terperanjat. “Kamu…kamu menjalin hubungan lagi dengannya?”
“Semula tidak, Ma,” jawab pemuda itu berterus terang. “Tommy berusaha menyenangkan hati Mama dengan menerima perjodohan yang sudah Mama atur. Tetapi ternyata Tuhan berkehendak lain….”
“Apa maksudmu? Jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan!”
Pemuda itu menatap mata ibunya dalam-dalam. “Dua hari yang lalu ketika Tommy dan Melani mencari-cari rumah dengan bantuan agen properti, tanpa diduga kami bertemu Sica.”
Saking kagetnya, kedua mata Wanda sampai terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang. Jangan sampai dia menceritakan tragedi itu pada anakku. Jangan sampai….
“Sica sekarang sudah menjadi seorang agen properti profesioanl, Ma. Dia teman agen kenalan Tommy. Kami melihat-lihat rumah yang dipasarkan Sica dan sebenarnya aku dan Melani paling menyukai rumah itu dibandingkan rumah-rumah lainnya.”
“Kalau begitu, beli saja rumah pilihan kalian itu. Apa susahnya? Toh, perempuan itu juga akan mendapatkan komisi dari hasil penjualan rumah itu!”
“Perempuan itu?” tanya Tommy keheranan. “Aku sama sekali tidak mengerti kenapa Mama begitu membenci Sica, bahkan sampai tidak sudi menyebut namanya langsung?”
Ekspresi Wanda langsung berubah muram. Baiklah, batinnya mengalah. Aku tidak akan ngotot seperti ini di depan anakku. Daripada nanti dia merasa curiga bahwa aku menyembunyikan sesuatu.
“Kalian bicara apa saja waktu ketemu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Aku dan Sica berpura-pura tidak saling mengenal supaya Melani tidak curiga.”
“Tindakan yang tepat.”
“Tapi setelah itu aku sadar kalau masih mencintai Sica. Karenanya aku memutuskan hubungan dengan Melani secara baik-baik. Tapi rupanya dia merasa tidak terima. Akhirnya terjadi perselisihan kecil. Tapi intinya aku mengatakan bahwa sebaiknya kami menjadi teman biasa saja karena pernikahan tanpa dasar cinta tidak akan membawa kebahagiaan.”
“Jadi sampai sekarang Melani tidak tahu-menahu mengenai hubunganmu dulu dengan Sica?”
Tommy menggeleng. Hati Wanda bagaikan disiram air segar saking leganya. Berarti masih ada harapan, pikirnya penuh harap. Selama pihak calon besan belum mengetahui tentang adanya gadis lain di hati Tommy, masih ada peluang untuk mempersatukan mereka kembali.
“Saat ini Melani belum tahu, Ma. Tapi mungkin kelak dia akan tahu juga jika Mama kelak bermaksud mengundang dirinya sekeluarga pada pesta pernikahanku dengan Sica.”
“Hah?! Apa maksudmu, Tommy? Bagaimana mungkin kau mau menikah dengan perempuan itu? Ayahnya seorang napi, Nak. Napi!”
“Mama! Jangan ungkit-ungkit lagi hal itu. Sica tidak bersalah atas perbuatan ayahnya. Segala persoalan jangan dipukul rata, Ma. Tak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna!”
“Ada!” seru Wanda sembari bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Keluarga Saputra bibit, bebet, dan bobotnya tak bercela. Jangan sampai kau menodainya dengan menikahi anak seorang penjudi dan pencuri! Aku tak akan membiarkannya, Tommy. Kau dengar kata-kata Mama ini baik-baik. Mama takkan membiarkanmu menikahi Sica!”
“Baiklah kalau begitu, Ma,” sahut Tommy lugas.
Wanda tersenyum penuh kemenangan. Aku selalu mempunyai cara untuk membuat anakku patuh, pikirnya bangga. Tetapi kebanggaan perempuan itu sirna saat mendengar putra kesayangannya berkata, “Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma. Tapi hal ini terpaksa harus kulakukan karena Mama masih bersikeras memaksakan kehendak Mama yang tidak pada tempatnya….”
“Apa maksud ucapanmu? Mama tak mengerti.”
“Tommy akan pergi mengunjungi pengacara keluarga kita.”
“Lukisannya sebenarnya sudah agak pudar dan plafond ada yang bocor. Maklum sudah hampir delapan tahun tidak pernah dipugar sama sekali. Akhirnya kuminta temanku untuk merenovasi ulang tanpa mengubah tata letak rumah ini. Lukisan itu benar-benar baru, Jess. Aku kan masih menyimpan foto lamanya. Tapi kuminta warnanya lebih menyolok dibandingkan dulu. Terus….” “Ditambahi pelangi,” sela lawan bicaranya menimpali. “Betul,” kata sang tuan rumah membenarkan. “Aku yang memintanya.” “Buat apa? Malah kelihatan rame. Norak,” komentar Jessica menusuk hati. Moses melongo mendengarnya. “Jadi kamu nggak suka? Ya udah, nanti biar kucari orang lain saja yang suka.”
Karena tak tahan menghadapi kebawelan putranya yang ingin segera bertemu dengan Moses, Jessica terpaksa menelepon pria itu. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya menyapa ramah, “Halo, Jess.”“Ehm…, ini Nathan mau ngomong,” jawabnya cepat-cepat. Disodorkannya ponselnya pada sang anak yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.“Halo, Om Moses?” sapa bocah itu ceria. “Om sekarang berada di mana? Nathan kangen pengen ketemu.”Jessica menyibukkan diri dengan mengetik di laptop. Tak diacuhkannya anaknya yang asyik ngobrol di telepon dengan om-nya tercinta. Tak lama kemudian Nathanael mengembalikan ponselnya.&nb
Dia menawari Moses untuk menginap di rumahnya daripada menghabiskan uang bermalam di hotel. Rumah laki-laki itu masih disewa orang dan baru satu bulan lagi selesai masa sewanya.Moses menerima tawaran itu. Dia tidur di kamar tamu lantai bawah. Kehadirannya membuat Nathanael agak terhibur. Pria itu sering menemaninya bermain dan bercanda sehingga tak bersedih terus-menerus akibat kehilangan ayah kandungnya.Satu minggu telah berlalu. Jenazah Tommy telah dimakamkan di pemakaman umum Surabaya Timur. Jessica agak bingung menghadapi Moses sekarang. Seminggu terakhir ini dia memperlakukan Moses layaknya sahabat lama yang datang berkunjung dan berbelasungkawa atas kepergian suaminya.Sekarang segala urusan mengenai Tommy sudah selesai. Wanita itu menjadi bimbang. Tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap pria
Tiba-tiba pintu apartemennya terbuka. Seorang remaja laki-laki yang parasnya mirip dirinya muncul sambil membawa tas ransel di punggung. Dia adalah William, putra semata wayangnya. Ini hari Jumat, waktunya remaja itu menginap di apartemen ayah tercinta.Pemuda kelas tiga SMP itu sudah biasa naik ojek ataupun taksi online sendiri untuk menuju kediaman Moses. Terkadang ibu kandung atau ayah sambungnya yang mengantarnya dengan mobil sampai ke depan pintu lobi.“Hai, Pa,” sapa William ramah. “Lagi mikirin apa? Kok kelihatannya serius gitu? Kita nanti malam jadi makan di resto all you can eat yang baru buka itu, nggak?” cecarnya bertubi-tubi.Sang ayah mendesah panjang. Dia menatap buah hatinya dengan perasaan sayang. “Duduklah dulu, Nak. Ada hal penting yang mau Papa bicarakan,” ucapnya dengan ekspresi serius.“Heh? What’s wrong?&
“Tidak lagi, Sayang,” jawab suaminya sambil tersenyum. “Di Jakarta Moses merintis pekerjaannya dari awal sebagai agen properti. Setiap hari dihabiskannya dengan bekerja, nge-gym, dan bermain dengan anaknya. William namanya. Sekarang sudah berumur enam belas tahun dan mau masuk SMA. Anak itu sering bertanya kapan papanya menikah lagi. Mamanya sendiri sudah lama membentuk keluarga baru. Tapi Moses cuma ketawa dan bilang sudah tidak tertarik pada wanita.”“Homo, kali!”kata sang istri cuek.“Hush! Nggak boleh sembarangan ngomong,”kata Tommy sembari mengelus-elus pipinya yang tadi ditampar Jessica. Sang istri jadi panik. “Masih sakit, ya?” tanyanya kuatir. “Sebentar kuambilkan waslap dan es batu buat kompres.”&n
Sore harinya waktu suaminya pulang, Jessica bersikap biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia melayani pria itu makan dan minum. Sama sekali tak ditanyakannya hasil pertemuan Tommy dengan pebisnis asal Cina di Jakarta. Justru suaminya itu yang bercerita sendiri tentang pembicaraannya dengan orang asing tersebut.“Sepertinya aku nggak jadi berbisnis dengan orang itu, Sica. Bahasa Inggrisnya parah sekali dan nggak pakai penerjemah. Aku yang cuma bisa sedikit-sedikit bahasa Mandarin kesulitan berkomunikasi dengannya. Daripada di belakang nanti ada apa-apa, lebih baik kuurungkan niatku menjalin kerja sama.”Jessica menatap suaminya tajam. Hebat sekali kamu berbohong, Suamiku Tercinta, sindirnya dalam hati. Dan begonya aku sudah berhasil kau tipu selama ini. Benar-benar tolol kau, Jessica Irawan!&nb
Karena tidak mau bertengkar dengan sang suami, dia akhirnya mengalah. Nah, sekarang tiba-tiba Tommy bilang mau pergi ke Jakarta besok untuk urusan bisnis. Sang istri kuatir pendamping hidupnya itu akan terserang sakit kepala lagi di perjalanan. “Aku temani kamu, ya,” pintanya dengan sorot mata memohon. “Nanti kalau sakit kepalamu kumat lagi bagaimana?” “Aku akan mengajak sopir kita. Dia akan menjagaku. Tapi sebenarnya yang kubutuhkan adalah doamu agar pembicaraan bisnis ini berhasil, Sayang.” “Kamu kan tahu aku selalu mendoakanmu dalam segala hal. Termasuk sakit kepalamu itu. Kubawakan minyak atsiri, ya. Jangan lupa dihirup sesering mungkin. Oleskan juga di dahi dan pelipis untuk mencegah sakit kepala. Kalaupun sakitnya masih muncul, seti
Dua minggu kemudian Tommy pergi menemui pengacaranya. Pria tua yang sudah puluhan tahun menjadi kuasa hukum keluarganya itu menatapnya serius. “Apakah sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu ini, Tom? Perusahaan itu adalah peninggalan keluargamu. Warisan buat anakmu kelak,” nasihatnya gundah. Bagaimanapun juga dia sudah lama sekali menangani aset keluarga Saputra. Ada ikatan antara dirinya dengan keluarga itu yang tak bisa dinilai dengan uang.Tommy tersenyum yakin. “Kesehatan saya tak memungkinkan untuk terus menjalankan perusahaan itu, Pak. Saya juga tidak mau memaksakan istri saya untuk meneruskan bisnis yang tak diminatinya. Dia pernah membantu saya di perusahaan sebelum Nathanael lahir. Selama berbulan-bulan itu saya bisa menilai bahwa minatnya bukan di bisnis pengalengan ikan.”“Kamu k
Gadis itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan rupawan. Mata Jessica berbinar-binar melihatnya. Tommy tersenyum bahagia. Benar kata Moses, batinnya menyadari. Sica sangat mendambakan seorang anak. Berbulan-bulan dia mencari-cari nama yang pas buat calon anak mereka. Kebetulan Melani sudah mengirimkan kabar bahwa janin yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki.“Akhirnya kau beri nama siapa, Sayang?” tanya Tommy sembari merangkul mesra sang istri. Dengan wajah berseri-seri Jessica menjawab, “Nathanael. Artinya hadiah dari Tuhan.”Sang suami mengangguk setuju. Bayi ini memang hadiah dari Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam hati istrinya sekaligus menyempurnakan kebahagiaan perkawinan mereka.***Tujuh tahun telah berlalu. Nathanael tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, baik hati, dan sangat menyayangi kedua orang tuanya. Jessica sudah tidak bekerja di perusaha