Jessica duduk di depan meja riasnya. Ditatapnya bayangan wajahnya pada cermin di hadapannya. “Aku memang sudah berubah,” ujarnya pada dirinya sendiri. “Bukan lagi Sica yang lugu dan mudah ditipu orang lain.”
Ingatannya kembali pada peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika itu dia baru menerima pesan WA dari Tante Wanda setelah tiga hari menunggu-nunggu dengan hati gelisah.
“Silakan duduk, Sica,” kata perempuan itu ramah begitu melihat Jessica muncul di ruang tamunya.”
“Terima kasih, Tante.”
“Kamu kelihatan lebih segar dibanding beberapa hari yang lalu.”
“Masa Tante? Mungkin Sica senang karena Tante menghubungi Sica.”
Tante Wanda tersenyum. Tiba-tiba seorang pembantu rumah tangga menyuguhkan dua piring puding coklat dan dua gelas air mineral.
“Mari Sica, temani Tante makan puding. Tante sendiri yang bikin, lho. Tommy pernah bilang kalau kamu suka sekali puding coklat.”
Jessica menganggukkan kepalanya dan meraih piring berisi puding nan menggoda itu.
“Enak sekali, Tante.”
“Terima kasih, Sica. Tante senang kamu menyukainya.”
Tak lama kemudian piring Jessica pun bersih tak tersisa dan dia meneguk air mineralnya.
“Oya Sica,” kata sang nyonya rumah sembari mengeluarkan sebuah botol kecil berisi tiga butir kapsul berwarna merah. “Ini vitamin untuk kesehatan janinmu. Minumlah sebutir.”
“Oh, baik, Tante.”
Gadis itu menerima sebutir kapsul yang diberikan ibunda kekasihnya itu dan menelannya dengan bantuan air mineral. Tante Wanda memandangnya dengan tatapan puas.
“Vitamin ini tinggal dua butir. Minumlah sebutir lagi nanti malam sesudah makan dan besok pagi setelah sarapan. Siangnya Tommy akan datang ke rumahmu untuk memberikan lagi sebotol penuh.”
“Oh, Tante meminta Tommy untuk pulang kembali ke Indonesia?”
Perempuan cantik itu tersenyum manis dan mengangguk.
“Dia harus berada di sini untuk mendampingimu, kan? Kasihan sekali kamu hamil tanpa suami. Apa kata orang nanti?”
Jessica merasa terharu. Air matanya hampir menitik jatuh dari pelupuk matanya. Segera dihapusnya dengan punggung tangannya.
“Sekarang Sica pulang saja. Jangan lupa banyak istirahat dan vitaminnya diminum sesuai petunjuk Tante, ya. Besok siang Tommy akan datang ke rumahmu.”
“Terima kasih banyak, Tante.”
“Sama-sama. Jangan banyak pikiran ya, Sica. Nanti bisa berpengaruh pada kandunganmu. Jaga baik-baik cucu Tante. Nanti akan tiba saatnya dia menyandang nama keluarga Saputra.”
Jessica sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu bangkir berdiri dan berpamitan. Sesampainya di rumah, gadis itu menuruti pesan ibunda kekasihnya itu. Malam hari dia meminum sebutir kapsul sesudah makan dan keesokkan paginya menelan kapsul yang terakhir setelah sarapan.
Jessica tak pernah melupakan seumur hidupnya bahwa sekitar tiga jam setelah dia mengkonsumsi kapsul yang terakhir, perutnya meronta-ronta kesakitan. Nyeri yang dirasakannya berpuluh-puluh kali lipat lebih sakit daripada waktu menstruasi. Gadis itu sampai pucat pasi, berkeringat, dan terduduk di sofa menahan sakit.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya ibunya yang saat itu masih hidup. Sorot matanya begitu kuatir memperhatikan anaknya yang tampak kesakitan.
“Pe…perut Jessi sakit sekali, Ma. Se…seperti mau ron…rontok….”
“Ya Tuhan, Jessi!” jerit ibunya seraya menunjuk ke arah rok anaknya yang berlumuran darah.
Jessica langsung pingsan melihatnya. Ketika dia tersadar kembali, kepalanya terasa pening dan perutnya agak mual. Gadis itu juga sudah tidak duduk di sofa rumahnya, melainkan terbaring di atas tempat tidur rumah sakit.
“Jessi, syukurlah. Kamu sudah sadar!” seru suara yang sangat dikenalnya.
“Kak Jenny kenapa bisa berada di sini?” tanya gadis itu keheranan. Kakak kandungnya itu tinggal di luar kota bersama suaminya.
Jenny tersenyum lega dan berkata, “Mama tadi siang menelepon dan menceritakan keadaanmu. Katanya kamu pingsan akibat mengalami pendarahan dan Mama segera memanggil taksi untuk membawamu ke rumah sakit. Aku langsung menyetir dari Mojokerto kemari.”
“Kakak sendirian?”
Satu-satunya saudara Jessica itu mengangguk dan tersenyum getir. Semua orang tahu bahwa semenjak ayahnya divonis hukuman penjara, suaminya sudah tak mempedulikannya lagi. Pernikahan mereka yang belum juga dikaruniai anak sudah berada di ujung tanduk.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Jessi? Kenapa kau sampai bisa keguguran? Apakah kamu terlalu cemas memikirkan Papa?”
Jessica tersentak mendengar ucapan kakaknya itu. “Ke…keguguran? Aku keguguran, Kak?” tanyanya terbata-bata.
Kakaknya mengangguk membenarkan. Saat itu juga Jessica menangis histeris dan meraung-raung seperti orang tidak waras. Dia berusaha melepaskan jarum infus di tangannya sampai Jenny berteriak-teriak memanggil suster. Dua orang perawat datang berusaha menenangkan gadis yang tampak kesetanan itu. Jenny hanya bisa tertegun sambil meneteskan air mata.
Akhirnya seorang perawat lagi datang dan menyuntikkan obat penenang melalui selang infus dan tak lama kemudian Jessica tertidur lelap. Keesokkan harinya dia tersadar dan melihat ibunya serta Jenny sedang menungguinya.
“Mama….”
“Semuanya akan baik-baik saja, Anakku. Tidak apa-apa. Kamu yang tabah, ya,” sahut perempuan setengah baya itu seraya mengelus-elus rambut anak bungsunya.
Air mata menitik dari pelupuk mata Jessica.
“Tolong ceritakan apa yang terjadi, Ma. Jessi mohon….”
Ibunya mengangguk dan berkata pelan, “Mama akan menceritakan semuanya, Nak. Tapi kamu mesti berjanji tidak akan histeris lagi. Ok?”
Gadis yang wajahnya sudah basah oleh air mata itu menganggukkan kepalanya. Jenny yang merasa kasihan mengambil sehelai tisu dan menghapus air mata adiknya.
“Kamu mengalami pendarahan dan pingsan di rumah. Lalu Mama menelepon taksi dan membawamu ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa kamu hamil dan sedang dalam proses pengguguran kandungan. Kondisimu sangat parah. Dokter berhasil menyelamatkan nyawamu tetapi….”
“Janin Jessi tak tertolong lagi!”
“Betul dan….”
“Apa, Ma?”
Ibunya menatap gadis itu dalam-dalam lalu memperingatkan, “Kamu sudah berjanji tidak akan histeris lagi, Sayang. Jadi berusahalah menerima kenyataan ini dengan lapang dada.”
Lagi-lagi berita buruk! Apalagi yang bisa kulakukan selain menerima kenyataan?! batin Jessica nelangsa.
“Dokter berkata bahwa sepertinya kamu mengkonsumsi obat penggugur kandungan yang sangat keras sehingga tidak hanya membunuh janinmu tetapi juga….”
Ucapan sang ibu terhenti sejenak. Dia merasa tak sanggup melanjutkan kalimatnya lagi hingga Jenny merangkul bahunya. “Juga membuat cacat rahimmu, Nak. Kamu tidak akan bisa mempunyai anak lagi.”
Jessica terpukul sekali mendengar berita maha buruk itu. Tapi dia sudah berjanji tidak akan histeris lagi. Gadis itu lalu diam saja tak bereaksi. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. Ya Tuhan, betapa mahal harga yang harus kubayar akibat beberapa kali berhubungan intim dengan Tommy! Aku bersedia melakukannya karena sudah lama bersamanya. Aku begitu yakin bahwa kami berdua tak terpisahkan! batinnya penuh penyesalan.
Ternyata di dunia ini tak ada yang abadi. Begitu keluargaku terpuruk, laki-laki yang kucintai dan kupercaya mereguk maduku menghilang tanpa jejak. Ibunya menipuku dengan memberikan obat penggugur kandungan yang tak hanya membuatku kehilangan janinku tapi juga harga diriku sebagai seorang wanita! Aku…Jessica Irawan…sekarang adalah seorang perempuan mandul. Mandul!
Tiba-tiba sebersit perasaan bersalah dalam lubuk hatinya dan dia pun menangis tersedu-sedu. Jenny dan ibunya hanya diam saja melihatnya. Maafkan aku, Anakku! jerit Jessica dalam hati. Mama telah membunuhmu tanpa sengaja. Maafkan Mama, Nak!Hati Jessica masih teriris setiap kali mengenang kejadian menyakitkan itu. Ia keguguran, rahimnya cacat, dan bahkan tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit! Jenny-lah yang melunasi semua tagihan rumah sakit dengan uang tabungannya. Ponsel Tante Wanda tak dapat dihubungi. Rumahnya pun kosong ketika didatanginya bersama Jenny beberapa hari kemudian sekeluar dirinya dari rumah sakit.Hanya spanduk bertuliskan kata Dijual yang menyambutnya di depan pagar rumah mewah tersebut. Ketika nomor agen properti yang tertera pada spanduk itu diteleponnya, orang itu mengatakan bahw
Dada Wanda berdebar-debar mendengarnya. “Untuk apa?” tanyanya keheranan.“Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma,” ucap pemuda itu sembari menatap ibunya penuh penyesalan. “Tommy sudah lama mengetahui bahwa Mama Wanda bukanlah ibu kandung Tommy yang sebenarnya. Juga bahwa almarhum Papa membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh aset keluarga Saputra menjadi hak milikku sepenuhnya dan bebas kukelola saat diriku menginjak usia dua puluh enam tahun. Saat ini umurku dua puluh tujuh tahun. Berarti telah terjadi penggelapan sejumlah aset keluargaku selama setahun terakhir. Tentunya Mama Wanda adalah orang pertama yang bisa kumintai pertanggungjawaban, bukan?”Wanda terbelalak. Dia…dia sudah mengetahuinya! Bagaimana mungkin?“Papa yang memberitahu Tommy sendiri sebelum akhir hayatny
“Mau datang kok nggak ngasih kabar dulu, sih? Aku sebentar lagi mau pergi,” jawab sang nona rumah sebal sembari membuka gembok pagar. Dibukanya pagar itu sedikit sehingga leluasa berbicara dengan tamunya yang datang tanpa pemberitahuan ini.“Aku kebetulan habis antar klien survey rumah di dekat sini. Sekalian aja mampir kemari. Mau pergi ke mana? Kuantar, yuk.” “Ehm…, “ jawab Jessica kebingungan. “Aku nanti dijemput teman.”“Oya? Siapa?”“Yah…teman.”Moses menatapnya lekat-lekat. “Teman spesial?” tanyanya
“Lihatlah, Ma. Sica masih rendah hati sekali seperti dulu, tidak suka menonjolkan diri,” cetus Tommy membangga-banggakan gadis pujaannya di depan ibunya.Wanda manggut-manggut dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan yang mengenakan seragam perawat muncul dan berkata lirih, “Makan malamnya sudah siap, Bu Wanda.”Sang nyonya rumah mengangguk dan kemudian mengajak putra serta tamunya menikmati makan malam bersama. “Mari Sica, kita makan malam sama-sama.”“Baik, Tante. Terima kasih,” jawab tamunya sopan. Sorot matanya begitu dingin dan membuat hati Wanda agak mengerut melihatnya. Tommy yang tak menyadari ketegangan yang terjadi diant
“Suara tawamu terdengar mengerikan. Lihat, bulu kuduk Kakak sampai berdiri.”Jessica menatap kakaknya dengan wajah berseri-seri. “Tuhan sedang berpihak kepadaku, Kak. Tentu saja takkan kulewatkan kesempatan ini. Suatu saat Kakak akan mengerti apa yang kumaksud. Sekarang sudah malam. Tidur, yuk. Besok pagi aku mesti pergi ke kantor notaris untuk melakukan transaksi sewa-menyewa ruko.”Jenny mengangguk dan kemudian meninggalkan kamar tidur adiknya dengan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Semoga adikku tidak nekad melakukan hal-hal yang berisiko, batinnya was-was. Kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri.***Keesokkan paginya tanpa sengaja Jessica bertemu
Moses menatapnya getir. “Aku memang bukan laki-laki alim, Jess. Tapi kamu juga tahu bahwa perempuan-perempuan itu juga sama halnya dengan diriku. Gadis-gadis lajang yang sekedar suka bermain-main dan tak peduli akan komitmen. Atau janda-janda muda yang kesepian dan butuh kenikmatan sesaat. Sama sekali tak ada pihak yang dirugikan dalam hubungan kami.”“Berarti kamu sangat menikmatinya, kan?”“Aku berusaha menikmati apa yang tersedia di depanku karena gadis yang kucintai tak pernah menghiraukan perasaanku.” Jessica terdiam seketika. Perasaannya kini campur-aduk tak karuan. Ia tak ingin menyakiti hati pria yang selalu bersikap baik padanya ini. Dirinya percaya cinta Moses sangat tulus dan jauh lebih layak diperjuangkan daripada c
Sahabatnya itu mengangguk dan langsung menghilang ke kamar mandi. Jessica duduk menunggu di sofa ruang tamu. Gadis itu lalu memeriksa pesan-pesan WA yang masuk dalam ponselnya. Ada pesan dari Tommy, batinnya ingin tahu. Dia menyuruhku menunggu dua hari terhitung sejak kemarin. Katanya akan membawakan sesuatu yang dapat membuatku percaya bahwa dia takkan meninggalkanku lagi. Hmm…apa itu, ya? pikirnya penasaran. Gadis itu lalu membuka chat WA Tommy dan membacanya dalam hati. Sica, apakah jam 5 sore besok kita bisa bertemu di rumahmu? Ada sesuatu yang perlu kutunjukkan padamu. Semoga hal itu akan membuatmu yakin bahwa aku setulus hati bermaksud menikahimu dan takkan meninggalkanmu lagi. Jessica tersenyum getir dan membalas
Jessica tercenung mendengar cerita Moses. Tak pernah disangkanya lelaki don juan itu telah menjadi seorang ayah. Diakah jodoh yang Kau peruntukkan bagiku, Tuhan? jerit gadis itu dalam hati. Terus terang tak terpikir olehnya untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki manapun. Ia lebih suka sendirian. Hingga Tommy tiba-tiba hadir kembali dalam kehidupanya dan menghendaki mereka berdua bersatu kembali.Tapi aku sudah tidak mempunyai perasaan cinta padanya, cetus gadis itu jujur dalam hati. Aku hanya ingin menyakiti hati Tante Wanda dengan menyiksa batinnya secara perlahan-lahan sebelum meninggal dunia akibat penyakit kankernya.“Bagaimana, Cantik? Kamu sudah percaya bahwa aku tidak menuntutmu memberikanku keturunan? Seorang William bagiku sudah cukup.”&nbs