Share

Bab 2.1 | Kamu ini Siapa Sih?

Hal yang paling membuat semua penghuni kelas XI-3 cemburu yaitu ketika akhirnya Kayla duduk di sebelah Arief. Demi apa murid baru cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk di sebelah Arief? Oh, baiklah. Itu karena wali kelas mereka menyuruh Kayla untuk duduk bersebelahan dengan Arief, tapi itu bukan berarti yang lain tidak boleh duduk di sebelahnya, hanya saja mana pantas?!

Hai? Aku Kayla, panggil saja Kay,” ucap Kayla kepada Arief. Keduanya pun bersalaman.

Aku.... Arief,” kata Arief.

Eh, eh, lihat deh! Belum juga semenit berdiri di depan kelas, sudah gerak cepat aja itu murid baru,” ucap Lusi dengan sinis.

Udah ah, apaan sih. Nggak baik ngomongin orang,” kata Iskha.

Is, Iskha. Jangan bilang kamu nggak peduli lagi dengan Arief. Bukankah kita sudah sepakat kalau Arief itu salah satu dari tujuan hidup dan mati kita?” Lusi mencoba mengingatkan Iskha.

Kedua anak ini memang punya sesuatu yang disebut quest dalam hidup mereka sebagai seorang remaja. Salah satu quest-nya yaitu mereka harus berusaha mengejar Arief sebagai target untuk tidak menjomblo. Meskipun mereka berlomba-lomba untuk bisa menjadi tidak jomblo dengan menjadi pacarnya Arief, mereka sepakat untuk tetap bersahabat siapapun pilihan Arief kelak. Itu seperti quest konyol, tetapi hal itu mereka seriusi dalam kehidupan ini. Sebagaimana seriusnya mereka mempersoalkan bubur ayam dengan toping diaduk ataupun tidak.

Bukan begitu maksudnya Lus! Aku tetep ingat koq tentang quest hidup dan mati kita. Hanya saja, jangan terlalu berprasangka buruk. Toh dia duduk di situ emang karena nggak ada tempat lain kan?” kata Iskha sambil mencoba memberitahu Lusi kalau memang benar tak ada tempat duduk lagi bagi murid baru selain di sebelah Arief.

Lusi menghela napas. “Baiklah, kau benar. Aku sepertinya terlalu berburuk sangka, tapi aku akan tetap mengawasi dia.” Lusi membuat gerakan dengan kedua jarinya pertama menunjuk ke matanya, lalu dia arahkan kedua jarinya ke arah Kayla.

Iskha hanya mendesah kesal. Memang sih anak baru itu langsung menyita perhatian banyak orang. Dan ia cukup jadi pemenang karena sebagai cewek, trus cantik pula, boleh dibilang cantiknya di atas rata-rata. Ditambah pula kenyataan dia ternyata punya kesukaan yang sama dengan Iskha merupakan nilai plus. Kalau misalnya dia juga langsung suka ama Arief, berarti saingan bertambah satu. Tapi ada keuntungannya, Iskha bisa mengawasi murid baru itu.

Jam pelajaran pun berganti. Tibalah pelajaran berikutnya, yaitu pelajaran matematika dengan guru killer. Iskha dan Lusi tak merasa gundah karena memang pekerjaan mereka telah selesai. Tentu saja karena menyalin pekerjaan milik Arief, anak terpandai di kelas. Arief merasa tak keberatan meminjamkannya mungkin berbeda kalau diminta contekan ketika ulangan.

Pelajaran matematika itu seperti misteri. Bagi anak-anak seperti mereka mungkin berpikir kenapa harus repot-repot menyelesaikan persamaan-persamaan? Kenapa juga harus bingung membuat kurva? Kenapa juga harus bingung memecahkan fungsi-fungsi kuadrat? Padahal bisa jadi apa yang mereka pelajari sekarang tidak akan ada gunanya nanti ketika lulus. Itulah yang selama ini ada di pikiran Iskha. Buat apa harus bingung dengan matematika ketika matematika itu tak ada kaitannya dengan cita-citanya.

Tugasnya sudah semua ini?” tanya Bu Tatik.

Sudah bu,” ucap seluruh murid.

Ibu mau cek satu per satu. Kalian pelajari dulu Bab selanjutnya!” ucap guru berjilbab tersebut.

Iskha membolak-balikkan buku diktat matematika yang ada di atas mejanya. Tetap saja tak ada yang bisa nyantol di kepala. Dia ingin sekali ada satu saja persoalan matematika yang bisa ia kuasai, tetapi hasilnya nihil. Dia masih belum mengerti tentang huruf x, huruf y, angka-angka ini. Sebenarnya fungsinya untuk apa sih?

Aku heran, kenapa orang belajar matematika? Aku nggak ngerti sama sekali,” keluh Iskha.

Kamu aja heran apalagi aku. Tetapi nikmati aja. Kita sebagai murid sekolah masa’ mau protes?” kata Lusi sambil mencoba memahami isi buku yang ada di tangannya. Sesekali ia melirik ke arah Arief yang duduknya ada di terpaut beberapa bangku dari mereka. Bangku Arief lurus dengan meja guru dan cowok itu sekarang sedang menatap keluar jendela.

Iskha memijat-mijat keningnya. Ia sama sekali tak mengerti.

Ckckckck, ini hampir satu kelas jawabannya sama semua. Apa sumbernya sama semua?” tanya Bu Tatik tiba-tiba setelah melihat hasil pekerjaan rumah murid-murid.

Kami kerja kelompok, bu!” celetuk Lusi.

Kerja kelompok? Ada dua puluh anak kerja kelompok dengan jawaban yang sama? Cara nulisnya, tandanya, semuanya sama. Saya tahu ini sumbernya darimana,” ucap Bu Tatik. “Ibu akan panggil satu anak untuk menjelaskan pekerjaannya.”

Mampus!” bisik Lusi.

Iskha mengangkat alisnya. Dia tahu kalau ia juga menjadi salah satu orang yang akan dipanggil nantinya. Dia sama sekali tak mengerti matematika, bagaimana kalau ketahuan dia juga menyalin pekerjaan Arief? Dia menundukkan wajahnya berusaha menyembunyikan kecemasan. Murid-murid yang lainnya pun berusaha menutupi kecemasan itu dengan berbagai cara. Mereka berharap tidak dipanggil ke depan.

Iskha, ke depan! Jelaskan apa yang sudah kamu kerjakan ini!” perintah Bu Tatik.

Mampus, beneran mampus! Ujar Iskha dalam hati.

Dengan berat akhirnya Iskha pun berdiri dari tempatnya duduk untuk menuju ke depan kelas. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Sepertinya berdiri di depan panggung lebih baik daripada harus berdiri di depan kelas apalagi diuji Bu Tatik seorang guru killer yang terkenal di sekolah ini. Mimpi apa semalam dia sampai harus maju ke depan kelas?

Iskha, coba kerjakan soal nomor dua PR yang kamu kerjakan tadi malam. Serta jelaskan ke teman-temanmu agar mereka juga mengerti!” perintah Bu Tatik.

Lusi menutupi wajahnya. “Mampus Iskha!” katanya dalam hati.

Iskha mengambil spidol yang ada di meja Bu Tatik. Ia sama sekali blank. Meskipun ia tahu soalnya, tetapi untuk mengerjakannya dengan benar, ia sama sekali tak bisa. Dia sampai saat ini masih belum mengerti maksud dari pelajaran matematika yang diajarkan sekarang.

Gadis itu hendak mengambil salah satu buku ditumpukan meja guru, tetapi tangan sang guru matematika menahannya. “Ibu akan diktekan. Kamu tulis di papan!”

Iskha menelan ludah. Dia menoleh ke arah rekan-rekannya, tampak juga si murid baru itu mengamatinya dengan seksama. Lusi tak berani melihat apa yang terjadi. Iskha benar-benar mampus sekarang. Dia tahu kelemahan sahabatnya yaitu pelajaran matematika. Ia sangat benci pelajaran itu. Ada dua sebenarnya, matematika dan sejarah. Dua hal yang dianggap Iskha sebagai pelajaran yang tidak ada gunanya.

Gadis itu menghadap papan. Tahu ia tak akan bisa lolos, sekarang ia hanya pasrah. Dia bersiap untuk menulis soal yang akan diucapkan guru matematikanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status