Hal yang paling membuat semua penghuni kelas XI-3 cemburu yaitu ketika akhirnya Kayla duduk di sebelah Arief. Demi apa murid baru cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk di sebelah Arief? Oh, baiklah. Itu karena wali kelas mereka menyuruh Kayla untuk duduk bersebelahan dengan Arief, tapi itu bukan berarti yang lain tidak boleh duduk di sebelahnya, hanya saja mana pantas?!
“Hai? Aku Kayla, panggil saja Kay,” ucap Kayla kepada Arief. Keduanya pun bersalaman.
“Aku.... Arief,” kata Arief.
“Eh, eh, lihat deh! Belum juga semenit berdiri di depan kelas, sudah gerak cepat aja itu murid baru,” ucap Lusi dengan sinis.
“Udah ah, apaan sih. Nggak baik ngomongin orang,” kata Iskha.
“Is, Iskha. Jangan bilang kamu nggak peduli lagi dengan Arief. Bukankah kita sudah sepakat kalau Arief itu salah satu dari tujuan hidup dan mati kita?” Lusi mencoba mengingatkan Iskha.
Kedua anak ini memang punya sesuatu yang disebut quest dalam hidup mereka sebagai seorang remaja. Salah satu quest-nya yaitu mereka harus berusaha mengejar Arief sebagai target untuk tidak menjomblo. Meskipun mereka berlomba-lomba untuk bisa menjadi tidak jomblo dengan menjadi pacarnya Arief, mereka sepakat untuk tetap bersahabat siapapun pilihan Arief kelak. Itu seperti quest konyol, tetapi hal itu mereka seriusi dalam kehidupan ini. Sebagaimana seriusnya mereka mempersoalkan bubur ayam dengan toping diaduk ataupun tidak.
“Bukan begitu maksudnya Lus! Aku tetep ingat koq tentang quest hidup dan mati kita. Hanya saja, jangan terlalu berprasangka buruk. Toh dia duduk di situ emang karena nggak ada tempat lain kan?” kata Iskha sambil mencoba memberitahu Lusi kalau memang benar tak ada tempat duduk lagi bagi murid baru selain di sebelah Arief.
Lusi menghela napas. “Baiklah, kau benar. Aku sepertinya terlalu berburuk sangka, tapi aku akan tetap mengawasi dia.” Lusi membuat gerakan dengan kedua jarinya pertama menunjuk ke matanya, lalu dia arahkan kedua jarinya ke arah Kayla.
Iskha hanya mendesah kesal. Memang sih anak baru itu langsung menyita perhatian banyak orang. Dan ia cukup jadi pemenang karena sebagai cewek, trus cantik pula, boleh dibilang cantiknya di atas rata-rata. Ditambah pula kenyataan dia ternyata punya kesukaan yang sama dengan Iskha merupakan nilai plus. Kalau misalnya dia juga langsung suka ama Arief, berarti saingan bertambah satu. Tapi ada keuntungannya, Iskha bisa mengawasi murid baru itu.
Jam pelajaran pun berganti. Tibalah pelajaran berikutnya, yaitu pelajaran matematika dengan guru killer. Iskha dan Lusi tak merasa gundah karena memang pekerjaan mereka telah selesai. Tentu saja karena menyalin pekerjaan milik Arief, anak terpandai di kelas. Arief merasa tak keberatan meminjamkannya mungkin berbeda kalau diminta contekan ketika ulangan.
Pelajaran matematika itu seperti misteri. Bagi anak-anak seperti mereka mungkin berpikir kenapa harus repot-repot menyelesaikan persamaan-persamaan? Kenapa juga harus bingung membuat kurva? Kenapa juga harus bingung memecahkan fungsi-fungsi kuadrat? Padahal bisa jadi apa yang mereka pelajari sekarang tidak akan ada gunanya nanti ketika lulus. Itulah yang selama ini ada di pikiran Iskha. Buat apa harus bingung dengan matematika ketika matematika itu tak ada kaitannya dengan cita-citanya.
“Tugasnya sudah semua ini?” tanya Bu Tatik.
“Sudah bu,” ucap seluruh murid.
“Ibu mau cek satu per satu. Kalian pelajari dulu Bab selanjutnya!” ucap guru berjilbab tersebut.
Iskha membolak-balikkan buku diktat matematika yang ada di atas mejanya. Tetap saja tak ada yang bisa nyantol di kepala. Dia ingin sekali ada satu saja persoalan matematika yang bisa ia kuasai, tetapi hasilnya nihil. Dia masih belum mengerti tentang huruf x, huruf y, angka-angka ini. Sebenarnya fungsinya untuk apa sih?
“Aku heran, kenapa orang belajar matematika? Aku nggak ngerti sama sekali,” keluh Iskha.
“Kamu aja heran apalagi aku. Tetapi nikmati aja. Kita sebagai murid sekolah masa’ mau protes?” kata Lusi sambil mencoba memahami isi buku yang ada di tangannya. Sesekali ia melirik ke arah Arief yang duduknya ada di terpaut beberapa bangku dari mereka. Bangku Arief lurus dengan meja guru dan cowok itu sekarang sedang menatap keluar jendela.
Iskha memijat-mijat keningnya. Ia sama sekali tak mengerti.
“Ckckckck, ini hampir satu kelas jawabannya sama semua. Apa sumbernya sama semua?” tanya Bu Tatik tiba-tiba setelah melihat hasil pekerjaan rumah murid-murid.
“Kami kerja kelompok, bu!” celetuk Lusi.
“Kerja kelompok? Ada dua puluh anak kerja kelompok dengan jawaban yang sama? Cara nulisnya, tandanya, semuanya sama. Saya tahu ini sumbernya darimana,” ucap Bu Tatik. “Ibu akan panggil satu anak untuk menjelaskan pekerjaannya.”
“Mampus!” bisik Lusi.
Iskha mengangkat alisnya. Dia tahu kalau ia juga menjadi salah satu orang yang akan dipanggil nantinya. Dia sama sekali tak mengerti matematika, bagaimana kalau ketahuan dia juga menyalin pekerjaan Arief? Dia menundukkan wajahnya berusaha menyembunyikan kecemasan. Murid-murid yang lainnya pun berusaha menutupi kecemasan itu dengan berbagai cara. Mereka berharap tidak dipanggil ke depan.
“Iskha, ke depan! Jelaskan apa yang sudah kamu kerjakan ini!” perintah Bu Tatik.
Mampus, beneran mampus! Ujar Iskha dalam hati.
Dengan berat akhirnya Iskha pun berdiri dari tempatnya duduk untuk menuju ke depan kelas. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Sepertinya berdiri di depan panggung lebih baik daripada harus berdiri di depan kelas apalagi diuji Bu Tatik seorang guru killer yang terkenal di sekolah ini. Mimpi apa semalam dia sampai harus maju ke depan kelas?
“Iskha, coba kerjakan soal nomor dua PR yang kamu kerjakan tadi malam. Serta jelaskan ke teman-temanmu agar mereka juga mengerti!” perintah Bu Tatik.
Lusi menutupi wajahnya. “Mampus Iskha!” katanya dalam hati.
Iskha mengambil spidol yang ada di meja Bu Tatik. Ia sama sekali blank. Meskipun ia tahu soalnya, tetapi untuk mengerjakannya dengan benar, ia sama sekali tak bisa. Dia sampai saat ini masih belum mengerti maksud dari pelajaran matematika yang diajarkan sekarang.
Gadis itu hendak mengambil salah satu buku ditumpukan meja guru, tetapi tangan sang guru matematika menahannya. “Ibu akan diktekan. Kamu tulis di papan!”
Iskha menelan ludah. Dia menoleh ke arah rekan-rekannya, tampak juga si murid baru itu mengamatinya dengan seksama. Lusi tak berani melihat apa yang terjadi. Iskha benar-benar mampus sekarang. Dia tahu kelemahan sahabatnya yaitu pelajaran matematika. Ia sangat benci pelajaran itu. Ada dua sebenarnya, matematika dan sejarah. Dua hal yang dianggap Iskha sebagai pelajaran yang tidak ada gunanya.
Gadis itu menghadap papan. Tahu ia tak akan bisa lolos, sekarang ia hanya pasrah. Dia bersiap untuk menulis soal yang akan diucapkan guru matematikanya.
“Diketahui f(x) | x-7 dan g(x) | x2+ x, tentukan (fxg)(x)!” ucap Bu Tatik. Iskha mengernyitkan dahi. Dia mencoba menulis apa yang didiktekan, ia saja tak faham apa yang didiktekan. Ia pun menulis sebisanya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Dia menulis “fungsi fx | x-7 & fungsi gx | x2+ x”
Akhirnya Iskha pun mengantar Kayla untuk berkeliling sekolah. Mereka menyusuri lorong kelas. Iskha mulai memperkenalkan bangunan-bangunan yang ada di kelas. Mulai dari lapangan, pembagian kelas-kelas, ruang-ruang kelas sepuluh, sebelas dan kelas dua belas. Kayla cukup antusias melihat bangunan kelas yang mungkin usianya sudah tua tapi masih kokoh. Tampak kayu-kayu jati yang menjadi rangka bangunan sekolah itu juga terlihat masih kuat. Sekolah ini memiliki empat lapangan outdoor dan satu lapangan indoor. Lapangan itu terdiri dari dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan bola voli yang juga terkadang digunakan untuk badminton. Satu-satunya lapangan indoor digunakan untuk beladiri ataupun gymanstic. Cukup luas memang. Ada pula alua, empat ruangan laboratorium, yaitu dua ruang laboratorium IPA, kemudian laboratorium seni dan multimedia dan labo
Jam istirahat berakhir. Kayla sudah kembali ke dalam kelas bersama Iskha. Keduanya telah puas melahap semangkok bakso di kantin. Rasa penat pelajaran matematika yang tadi mereka tempuh hilang begitu saja. Kelas pun kembali ramai riuh dengan suara murid-murid. Kayla kembali duduk ke tempatnya. Terlihat Arief sudah ada di sana.“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Arief. Kayla mengangguk-angguk. “Sekolahnya ternyata luas. Ekstrakurikulernya juga banyak, fasilitasnya lengkap. Aku suka.”
Untuk beberapa saat Agus berpikir. Sampai sekarang memang benar kalau Faiz tidak pernah mencatat di buku tulisnya. Apa benar Faiz ini mengingat segala hal? Tidak mungkin. Orang yang bisa mengingat segala hal biasanya memiliki ingatan fotografis atau memang memorinya sangat kuat. Hanya saja, orang-orang seperti itu biasanya spesial. Tetapi Faiz tidak terlihat spesial. Nilai rapornya juga pas-pasan, ia hanya bagus di satu hal saja yaitu olahraga. Agus meragukan ucapan temannya. Dia pun akhirnya membiarkan Faiz tenggelam dalam mimpinya. Sudah menjadi kebiasaan kalau meja yang mereka tempati pasti basah karena ilernya Faiz. Tetapi Faiz bukan cowok yang jorok, ia pasti membersihkan mejanya karena tahu ia tak sendirian menggunakan meja tersebut.
Iskha mengira mungkin Kayla melakukan itu untuk menjaga perasaannya agar tak dikira menjadi saingannya. Dia bisa menghargai hal itu. Tapi ketidak jujurannya itu berbahaya. Siapa tahu dia diam-diam demen, ternyata besoknya jadian. Kan itu kampret namanya.Di angkot mereka lalu berbincang-bincang tentang banyak hal. Dari mulai urusan sekolah, hingga akhirnya soal musik. Maksud awal Iskha ingin bertanya-tanya tentang Kayla, tapi malah dia menjelaskan tentang dunia musik. Entah bagaimana Kayla bisa menggiringnya untuk menceritakan hal-hal yang dia sukai. Sekali lagi Iskha hanya sedikit tahu tentangnya.
Faiz mengemasi barang-barangnya. Ia baru saja latihan silat bersama rekan-rekan satu ekstrakurikuler. Saat itulah ia dipanggil gurunya. Gurunya termasuk seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin sudah 50-an. Meskipun sudah berumur tapi dia termasuk salah satu pendekar yang paling disegani. Namanya Ki Anwar. Mengajar untuk anak-anak SMA memang merupakan tantangan tersendiri, terlebih biasanya anak-anak remaja itu kebanyakan suka pamer, termasuk pula Faiz. Menyadari Faiz merupakan seorang siswa yang berbakat, maka ia begitu hati-hati untuk menggembleng bocah itu.“Bagaimana akhirnya?” tanya Ki Anwar. Meskipun melatih silat tapi baju yang dipakainya kaos lengan panjang dengan ikat pinggang sebagai penanda tingkatannya di dalam perguruan.Faiz menghela napas, “Saya tidak tahu guru. Rasanya saya harus ke Jakarta. Saya tak punya pilihan lain.”“Aku tidak bisa mencegahmu kalau begitu. Hanya saja, itu artinya waktumu tinggal sedikit la
Faiz mengambil sepeda miliknya dan segera mengayuh pedal. Dia melewati gerbang lalu langsung berbelok ke jalan raya. Dia setel gearnya ke gear berat agar gaya dorongannya bisa membuat dia lebih cepat bergerak. Angin berhembus menerpa wajahnya membawa kesejukan. Sepedanya melaju di atas jalan raya, terkadang ia naik ke trotoar. Untuk menuju ke rumahnya ia pun melewati jalanan kecil yang menurun, jalanan itu kemudian terhubung dengan jembatan kecil. Dari jembatan kecil itu ia masuk ke kampung baru, dari kampung tersebut ia melewati gang sempit kemudian berbelok lagi ke jalanan yang agak lebar. Di sini ia melewati perlintasan kereta api. Saat itu ternyata ada kereta api yang mau lewat. Palang diturunkan petugas dengan cara manual. Ini bukan perlintasan kereta api yang berada di jalanan besar. Perlintasan api ini dibiayai swadaya masyarakat, petugas kereta apinya pun digaji juga dari iuran masyarakat setempat.Sekitar lima menit Faiz menunggu sambil ditemani beberapa pengendara m
Iskha berganti pakaian dengan baju casual. Dia memakai cardigan kemudian mengambil gitar yang tergantung di kamarnya. Setelah selesai berdandan dengan make-up tipis, ia pun keluar dari kamarnya. Dia segera menuju ke dapur untuk mengisi perut. Ada sayur asem berisi kacang, jagung dan tauge. Dia tersenyum saat melihat isi mangkuk tempat sayur tersebut. Sayur asem, salah satu sayur kesukaan Iskha. Dia pasti bakalan nambah kalau ada sayuran tersebut. Dia segera duduk di kursi.“Wah, masak sayur asem nih. Asyiiikk!” seru Iskha.“Iya, mama emang sengaja masak itu. Biar suaramu nggak ancur,” ucap mamanya yang berada di ruang tengah sambil menonton televisi.“Makasih ya ma,” ucap Iskha. Dia pun segera mengambil secentong nasi kemudian mengguyurnya dengan kuah sayur asem beserta isinya.“Nanti pulang jangan malam-malam! Mama nggak mau di rumah sendirian apalagi tiba-tiba listrik mati seperti kemarin,” pinta mamanya.