“Diketahui f(x) | x-7 dan g(x) | x2+ x, tentukan (fxg)(x)!” ucap Bu Tatik.
Iskha mengernyitkan dahi. Dia mencoba menulis apa yang didiktekan, ia saja tak faham apa yang didiktekan. Ia pun menulis sebisanya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Dia menulis “fungsi fx | x-7 & fungsi gx | x2+ x”. Itu saja sudah fatal.
“Iskha, kamu itu belajar atau nggak sih? Apa penjelasan ibu kemarin belum jelas?” tanya Bu Tatik.
“Salah ya, bu?”
“Salah!” bentak Bu Tatik.
Hampir saja Iskha melompat. Dia menoleh ke arah Lusi, kawan sebangkunya itu masih menutup wajah. Tahu kalau dia tak tega melihatnya diperlakukan seperti itu. Tak bisa dipungkiri kali ini pasti Iskha dan yang lainnya akan kena hukuman.
Tiba-tiba Kay mengangkat tangannya. Bu Tatik langsung menoleh ke arah murid baru tersebut.
“Iya, ada apa?” tanya Bu Tatik. “Kamu murid baru ya? Sebelumnya ibu belum pernah melihat.”
Kay mengangguk. “Iya, saya murid baru. Boleh saya mengatakan sesuatu?”
Bu Tatik mengangguk. “Iya, katakan!”
“Sebenarnya tadi malam, terjadi pemadaman listrik. Rumah saya juga termasuk terkena pemadaman itu. Maka dari itulah mungkin banyak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya bisa maklumi hal itu, terlebih matematika memang pelajaran yang setidaknya sulit bagi sebagian murid. Saya sendiri juga terkadang kesulitan mengerjakan matematika. Maka dari itu saya kira wajar kalau teman-teman menyalin pekerjaan orang yang lebih pintar karena memang mereka tadi malam belum selesai mengerjakan tugas. Kalau boleh dipertimbangkan, ibu beri kami kesempatan lagipula saya juga murid baru yang tidak tahu kalau ada PR,” ujar Kayla.
Seketika itu seluruh kelas menatapnya. Lusi ternganga. Ia tak pernah menduga kalau Kayla akan berkata seperti itu. Bu Tatik menoleh ke arah murid-murid yang lain. Tampak ada raut harap-harap cemas terpancar dari beberapa murid, yang paling terlihat hanya Iskha.
“Apa benar tadi malam listrik padam?” tanya Bu Tatik.
“Iya buuu!!” seru seluruh isi kelas.
Bu Tatik mendesah panjang. Ia mengangguk-angguk sejenak. “Baiklah, alasan itu bisa ibu terima. Lain kali pulang sekolah langsung dikerjakan. Tapi ingat, jangan menyalin punya teman, kalau nanti sampai ketahuan lagi kalian menyontek punya teman. Maka ibu akan jemur kalian di lapangan upacara. Mengerti?”
“Iya buu!” ucap semuanya.
Iskha menghela napas lega. Ia selamat. Arief mengamati teman sebangkunya ini dengan tatapan aneh. Ada sesuatu yang lain pada diri cewek ini. Sesuatu yang tidak ditemui dengan cewek-cewek lain pada umumnya yang pernah ia temui.
“Kamu duduk kembali Iskha. Ingat, belajar lagi. Kalau tidak mengerti tanya ke ibu!” kata Bu Tatik.
“I-iya bu,” jawab Iskha. Ia pun segera beringsut kembali ke bangkunya. Sekilas ia menoleh ke arah Kayla yang tersenyum kepadanya.
* * *
Setelah jam pelajaran matematika berakhir bel istirahat pun berbunyi. Otak Iskha rasanya seperti diperas habis-habisan. Dari seluruh penjelasan Bu Tatik, ia hanya mengerti sedikit. Sedikit sekali. Ia merutuki dirinya yang sampai sekarang belum faham soal matematika yang disampaikan Bu Tatik. Kalau besok ketemu lagi pelajaran matematika ia bisa mampus seperti tadi. Dia merasa yakin kalau Bu Tatik sudah mengincarnya sejak lama. Tahu kaalu ia bodoh soal matematika.
Belum selesai Iskha mengistirahatkan otaknya yang hampir matang tiba-tiba ada suara mengecohnya. “Hai?!” sapa Kay.
“Hai,” sahut Iskha.
“Susah ya matematikanya?” tanya Kay.
“Iya, tapi sepertinya kamu baik-baik saja,” jawab Iskha.
“Ehmm,... kita belum kenalan. Aku Kay,” kata Kayla sambil mengulurkan tangannya.
Iskha menyambut tangan itu. “Iskha.”
Kayla mengulurkan tangannya ke Lusi. “Aku Kay.”
“Lusi,” jawab Lusi tanpa ekspresi. Ia mengalami hari yang buruk, sama seperti Iskha.
“Bisa minta tolong?” tanya Kayla sambil tersenyum manis.
“Minta tolong apa?” tanya Iskha balik.
“Akukan murid baru di sini, bisa minta tolong antarkan aku keliling sekolah ini? Agar aku lebih mengenal sekolah ini,” jawab Kayla.
Perasaan Iskha tak enak. Kenapa harus dia? Kenapa bukan yang lain? Seolah-olah Iskha merupakan penghuni sekolah ini. Dengan nada kesal iskha menjawab, “Aku sibuk. Apa nggak ada yang lain?”
Kayla mengangkat bahunya sambil memberi isyarat agar iskha melihat seluruh isi kelas. Semuanya telah keluar dari kelas kecuali mereka bertiga. Iskha memutar bola matanya sampai terlihat putih.
“Aku tinggal dulu deh, ke kantin dulu. Ntar susul ke kantin yah?!” ujar Lusi.
“Eh, Lus! Tunggu!” Iskha berusaha mencegah kawan sebangkunya itu untuk tidak pergi dahulu, tapi terlambat. Lusi buru-buru keluar kelas.
Kayla cuma nyengir melihat kelakukan Lusi yang berusaha kabur tadi. Tahu pasti Iskha sedikit canggung, ia pun mencoba menarik lengan gadis itu.
“Eh, apa ini?” tanya Iskha.
“Kenapa?” tanya Kayla.
“Jangan sok akrab pegang-pegang orang baru kenal yah?!” hardik Iskha.
Kayla langsung melepas pegangannya. “OK, baiklah. Jadi? Bersedia mengantarkanku keliling sekolah?”
“Bisa, tapi tidak pakai pegang-pegang. Entar dikira aku belok lagi,” jawab Iskha tegas. Ia risih diperlakukan seperti tadi. Mana baru kenal hari ini pula koq sudah pegang-pegang, baginya hal itu sangat aneh.
Akhirnya Iskha pun mengantar Kayla untuk berkeliling sekolah. Mereka menyusuri lorong kelas. Iskha mulai memperkenalkan bangunan-bangunan yang ada di kelas. Mulai dari lapangan, pembagian kelas-kelas, ruang-ruang kelas sepuluh, sebelas dan kelas dua belas. Kayla cukup antusias melihat bangunan kelas yang mungkin usianya sudah tua tapi masih kokoh. Tampak kayu-kayu jati yang menjadi rangka bangunan sekolah itu juga terlihat masih kuat. Sekolah ini memiliki empat lapangan outdoor dan satu lapangan indoor. Lapangan itu terdiri dari dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan bola voli yang juga terkadang digunakan untuk badminton. Satu-satunya lapangan indoor digunakan untuk beladiri ataupun gymanstic. Cukup luas memang. Ada pula alua, empat ruangan laboratorium, yaitu dua ruang laboratorium IPA, kemudian laboratorium seni dan multimedia dan labo
Jam istirahat berakhir. Kayla sudah kembali ke dalam kelas bersama Iskha. Keduanya telah puas melahap semangkok bakso di kantin. Rasa penat pelajaran matematika yang tadi mereka tempuh hilang begitu saja. Kelas pun kembali ramai riuh dengan suara murid-murid. Kayla kembali duduk ke tempatnya. Terlihat Arief sudah ada di sana.“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Arief. Kayla mengangguk-angguk. “Sekolahnya ternyata luas. Ekstrakurikulernya juga banyak, fasilitasnya lengkap. Aku suka.”
Untuk beberapa saat Agus berpikir. Sampai sekarang memang benar kalau Faiz tidak pernah mencatat di buku tulisnya. Apa benar Faiz ini mengingat segala hal? Tidak mungkin. Orang yang bisa mengingat segala hal biasanya memiliki ingatan fotografis atau memang memorinya sangat kuat. Hanya saja, orang-orang seperti itu biasanya spesial. Tetapi Faiz tidak terlihat spesial. Nilai rapornya juga pas-pasan, ia hanya bagus di satu hal saja yaitu olahraga. Agus meragukan ucapan temannya. Dia pun akhirnya membiarkan Faiz tenggelam dalam mimpinya. Sudah menjadi kebiasaan kalau meja yang mereka tempati pasti basah karena ilernya Faiz. Tetapi Faiz bukan cowok yang jorok, ia pasti membersihkan mejanya karena tahu ia tak sendirian menggunakan meja tersebut.
Iskha mengira mungkin Kayla melakukan itu untuk menjaga perasaannya agar tak dikira menjadi saingannya. Dia bisa menghargai hal itu. Tapi ketidak jujurannya itu berbahaya. Siapa tahu dia diam-diam demen, ternyata besoknya jadian. Kan itu kampret namanya.Di angkot mereka lalu berbincang-bincang tentang banyak hal. Dari mulai urusan sekolah, hingga akhirnya soal musik. Maksud awal Iskha ingin bertanya-tanya tentang Kayla, tapi malah dia menjelaskan tentang dunia musik. Entah bagaimana Kayla bisa menggiringnya untuk menceritakan hal-hal yang dia sukai. Sekali lagi Iskha hanya sedikit tahu tentangnya.
Faiz mengemasi barang-barangnya. Ia baru saja latihan silat bersama rekan-rekan satu ekstrakurikuler. Saat itulah ia dipanggil gurunya. Gurunya termasuk seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin sudah 50-an. Meskipun sudah berumur tapi dia termasuk salah satu pendekar yang paling disegani. Namanya Ki Anwar. Mengajar untuk anak-anak SMA memang merupakan tantangan tersendiri, terlebih biasanya anak-anak remaja itu kebanyakan suka pamer, termasuk pula Faiz. Menyadari Faiz merupakan seorang siswa yang berbakat, maka ia begitu hati-hati untuk menggembleng bocah itu.“Bagaimana akhirnya?” tanya Ki Anwar. Meskipun melatih silat tapi baju yang dipakainya kaos lengan panjang dengan ikat pinggang sebagai penanda tingkatannya di dalam perguruan.Faiz menghela napas, “Saya tidak tahu guru. Rasanya saya harus ke Jakarta. Saya tak punya pilihan lain.”“Aku tidak bisa mencegahmu kalau begitu. Hanya saja, itu artinya waktumu tinggal sedikit la
Faiz mengambil sepeda miliknya dan segera mengayuh pedal. Dia melewati gerbang lalu langsung berbelok ke jalan raya. Dia setel gearnya ke gear berat agar gaya dorongannya bisa membuat dia lebih cepat bergerak. Angin berhembus menerpa wajahnya membawa kesejukan. Sepedanya melaju di atas jalan raya, terkadang ia naik ke trotoar. Untuk menuju ke rumahnya ia pun melewati jalanan kecil yang menurun, jalanan itu kemudian terhubung dengan jembatan kecil. Dari jembatan kecil itu ia masuk ke kampung baru, dari kampung tersebut ia melewati gang sempit kemudian berbelok lagi ke jalanan yang agak lebar. Di sini ia melewati perlintasan kereta api. Saat itu ternyata ada kereta api yang mau lewat. Palang diturunkan petugas dengan cara manual. Ini bukan perlintasan kereta api yang berada di jalanan besar. Perlintasan api ini dibiayai swadaya masyarakat, petugas kereta apinya pun digaji juga dari iuran masyarakat setempat.Sekitar lima menit Faiz menunggu sambil ditemani beberapa pengendara m
Iskha berganti pakaian dengan baju casual. Dia memakai cardigan kemudian mengambil gitar yang tergantung di kamarnya. Setelah selesai berdandan dengan make-up tipis, ia pun keluar dari kamarnya. Dia segera menuju ke dapur untuk mengisi perut. Ada sayur asem berisi kacang, jagung dan tauge. Dia tersenyum saat melihat isi mangkuk tempat sayur tersebut. Sayur asem, salah satu sayur kesukaan Iskha. Dia pasti bakalan nambah kalau ada sayuran tersebut. Dia segera duduk di kursi.“Wah, masak sayur asem nih. Asyiiikk!” seru Iskha.“Iya, mama emang sengaja masak itu. Biar suaramu nggak ancur,” ucap mamanya yang berada di ruang tengah sambil menonton televisi.“Makasih ya ma,” ucap Iskha. Dia pun segera mengambil secentong nasi kemudian mengguyurnya dengan kuah sayur asem beserta isinya.“Nanti pulang jangan malam-malam! Mama nggak mau di rumah sendirian apalagi tiba-tiba listrik mati seperti kemarin,” pinta mamanya.
“Iskha? Iskha? Kau tak apa-apa?” tanya suara anak perempuan. Dia pasti Kayla, pikir Iskha.Iskha membuka matanya perlahan-lahan. Dia merasa pusing dan bingung bagaimana ia bisa berada di ruangan dengan Kayla di hadapannya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dan di pikirannya ada sesosok tubuh manusia tanpa kepala, lalu kepalanya ada di tangannya. Itu menakutkan sekali. Siapapun yang melihatnya bakalan merinding dan dia pingsan ketakutan.“Erggh...,” Iskha mengerang sambil bangun dari tidurnya. Dia memijit-mijit kepalanya. Dilihatnya keadaan sekitar tempat ia berada dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sesosok lelaki yang tadi dilihatnya tanpa kepala dan menggendong kepalanya sendiri. Dia berdiri di sebelah Kayla. Hampir saja Iskha melompat.“I-itu, tadi aku lihat bapak ini nggak punya kepala. Trus kepalanya dibawa,” jelas Iskha menjelaskan apa yang tadi dilihatnya sebelum pingsan.Kayla menoleh ke arah ayah