Wah...ceritanya semakin panas nih...
Pagi Paris terasa baru, seakan kota ikut merapikan napasnya. Kirana berdiri di depan cermin kecil di dapur Rue Carducci, mengikat rambut setengah tinggi. Di meja, Haris sudah menyiapkan dua cangkir: teh untuknya, kopi untuk Kirana—kebiasaan terbalik yang mereka tertawakan tiap pagi.“Lo yakin gak mau tukeran minuman?” goda Haris.“Gak. Gue butuh kopi. Lo butuh tenang,” jawab Kirana, mencubit lengannya singkat.Di punggung kursi, jas biru gelap Haris tergantung rapi. Sejak semalam ia sibuk menuntaskan slide presentasi untuk konferensi desain di Swiss—seminggu penuh, panel dan workshop. Kirana masih belum terbiasa dengan kata “seminggu”.“Lo berangkat lusa, kan?” tanya Kirana, memeriksa kalender ponselnya.Haris mengangguk. “Geneva dulu dua hari, habis itu Zurich. Balik minggu depan, sore. Gue kirim itinerary ke lo ya…siapa tau mau dating kelewat kangen…”Kir
Sinar matahari menembus tirai tipis ruang tamu, membelai tubuh Kirana yang masih terlelap di pelukan Haris. Selimut tipis yang menutupi mereka jatuh sedikit, memperlihatkan leher Kirana yang bertanda merah lembut hasil semalam mereka bercumbu. Haris membuka mata lebih dulu, merasakan aroma samar tubuh Kirana yang menempel di kulitnya.Ia tersenyum kecil, antara lega dan masih tidak percaya. Perempuan yang selama ini ia jaga jaraknya, kini tertidur nyaman di lengannya. Wangi tubuhnya sangat ia sukai dan pasti ia rindukan. Bulu matanya lentik. Bibirnya yang kecil dan lembut menjadi hal yang paling bikin Haris candu sepertinya. Kirana teman kecilnya, yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya, kini ada dalam pelukannya. Ternyata rencana Tuhan benar-benar luar biasa.Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga perasaan lain yang menyelinap: tanggung jawab. Haris sadar, apa yang terjadi malam tadi bukan sekadar pelepasan nafsu, tapi sebuah pintu besar yang sudah terbuka. Ia harus bisa memast
Haris bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika jemarinya menyentuh lekuk lembut di balik daster tipis Kirana. Ia tahu ini bukan hanya tentang tubuh—ada sejarah panjang air mata, luka, dan rasa takut di balik tatapan mata Kirana yang kini penuh keberanian.“Apa lo yakin, Ran?” bisiknya, hampir tidak terdengar.Kirana menatapnya dalam-dalam, senyum tipisnya lebih seperti jawaban daripada kata-kata. “Ris… gue nggak mau jadi tahanan masa lalu gue sendiri lagi. Gue juga ga ngerti tapi, lo buat gue ngerasa aman dan nyaman. Perasaan tulus lo...gue kerasa banget...”Haris berkaca-kaca mendengar perkataan Kirana."Ris, orang tua gue pingin gue happy sama lo. Orang tua gue pasti se
Pagi itu, udara Paris masih dingin walau matahari sudah naik. Kirana duduk di meja makan, mengaduk bubur ayam ala Haris. Ia tidak menyangka momen malam itu bisa terjadi juga dalam hidupnya. Terlebih, akhirnya ia melepaskan keperawanannya ke Haris. Pria yang baru saja kembali ke hidupnya setelah sekian tahun. Tapi ia belum bisa benar-benar lepas. Di satu sisi, Kirana merasa senang dan lega. Di sisi lain, ada perasaannya yang belum tuntas.“Ran, gue pengen ajak lo keluar,” kata Haris yang tiba-tiba datang setelah menerima telepon dari Prof. Thérèse tadi.Kirana mengangkat alis. “Kemana?”“Kelas meditasi. Di Rue Saint-Honoré. Temennya Prof. Thérèse yang rekomendasiin. Katanya bagus buat orang yang lagi… banyak pikiran.”Kirana menghela napas, menatap buburnya. “Ris… gue belum tentu bisa fokus.”“Seenggaknya bisa kita coba dulu Ran. Kadang duduk di ruangan yang tenang aja udah beda rasanya. Yuk! Gue temenin ko...”***Ruang meditasi itu sederhana: lantai kayu, dinding putih, dan jendela be
Ada perasaan yang tak ia duga: bukan ledakan, melainkan hangat yang merayap, seperti air yang menemukan cekungan dan tinggal. Haris mengecup pelipisnya berulang, turun ke bawah sedikit demi sedikit seolah setiap sentuh adalah cara baru berkata “gue di sini”. Kirana menyambut, memejam, membiarkan air matanya jatuh satu-dua—bukan duka yang lama, melainkan lega yang lambat. Untuk pertama kalinya setelah banyak kehilangan, ia merasa tubuhnya bukan medan perang, melainkan rumah.Haris mengecup leher Kirana, seolah mengaktifkan semua sensor yang ada. Lalu perlahan Kirana dapat merasakan membuka Haris mencoba kancing Kemeja. "Sayang...Gue ijin buka ya...Boleh?""Boleh Ris...", desah Kirana sambil tersenyum. Haris melihat dua buah gunung kembar yang mulus dan indah. Ia kecupi perlahan dan isap dengan lembut, membuat Kirana mendesah juga. Kirana merangkul tubuh Haris, mengusap punggungnya lembut. Mengikuti gerakannya.Seperti dua sejoli yang sudah lama saling mendamba dan menahan diri, semuan
Dua bulan sudah setelah upacara singkat itu, Paris seperti menahan napas untuk Kirana. Rue Carducci yang biasanya riuh pelan oleh suara roda koper dan tawa mahasiswa kini terdengar lebih tipis, seolah semua orang berbisik saat melewati jendela apartemennya. Di dalam, jam dinding murah berdetak terlalu jelas, mengisi celah-celah hening yang dulu tak pernah ia perhatikan. Kirana sering terbangun sebelum subuh. Ia duduk di kursi dekat jendela kecil, memeluk lutut, menatap atap batu bangunan seberang yang disapu cahaya lampu jalan warna madu. Matanya tidak selalu basah, tapi dadanya seperti disangga sesuatu yang berat dan tak bernama. Ada hari-hari ia ingin bercerita panjang pada kedua orang tuanya—soal kuliah, soal proyek “Healing Through Memory”, soal Haris. Ada juga hari-hari ia hanya ingin diam dan membiarkan napasnya keluar masuk, menandai bahwa ia masih di sini. "Pagi sayang...", ucap Haris seraya mengecup pipi Kirana begitu dia bangun. "Pagi suamiku...", jawab Kirana dengan senyu