Kirana Catalunia tidak pernah membayangkan akan menginjakkan kaki di Paris—apalagi dengan beasiswa bergengsi yang diidamkan banyak orang. Ya, Tuhan memang baik. Atau... mungkin sedang mempermainkannya. Paris katanya kota cinta. Tapi Kirana tidak datang untuk cinta. Ia datang untuk bertahan hidup, bermimpi, dan membuktikan bahwa perempuan tidak perlu laki-laki untuk merasa utuh. Bahwa ia berhak punya kendali atas dirinya sendiri. Paris mungkin kota pilihan terakhir Kirana yang dipikirkan untuknya melarikan diri. Dari masa lalu yang terlalu erat mengikat. Dari cinta dua belas tahun-nya yang kandas. Dari orang-orang yang terus bertanya: “Kenapa kamu tinggalkan Andra Logan?”. Orang-orang tidak tahu kalau dalam hati kecilnya, Kirana —ia masih tidak bisa lepas dari nama Andra Logdan. Tapi ia sadar, keputusannya hanya bisa membuatnya mencintai dalam diam. Dulu semua yakin: Kirana dan Andra akan menikah. Dia pria ideal—pintar, romantis, dan stabil. Tapi Kirana memilih pergi. Dan sekarang, semua orang mengira dia bodoh karena begitu Kirana menapakkan diri di Paris, ia mendapati kabar kalau Andra akan menikah dengan wanita lain bulan depan. Sakit bukan main. Oleh karena itu, saat ini Kirana ingin menjauh sejauh mungkin dari semua yang berbau asmara. Kalau bisa ke Antartika. Tapi takdir justru mengirimnya ke negeri croissant dan kental akan romansa—Prancis. Dan menghadiahinya kejutan lain: tetangga masa kecil yang menyebalkan, Haris. Kirana sudah bersumpah tidak akan jatuh cinta lagi. Tapi Paris—dan takdir—punya cara sendiri untuk menertawakan sumpah-sumpah seperti itu.
Lihat lebih banyakBzzzt... Bzzzt...
Sudah lima belas menit ia terlalu fokus dengan laptop dan daftar rundown pameran film internasional yang akan digelar besok. Sebagai penanggung jawab acara, Kirana masih punya daftar ratusan hal yang belum ia cek. Kirana sedang melakukan briefing dengan rekan kerjanya, Donni. Donni masih berceloteh soal panggung yang miring dan tenda sponsor yang tiba-tiba batal di sampingnya.
“Kiran… santai dikit napa. Gue yakin lo bisa beresin ini semua nanti kita bantu kalau udah lebih lowong,” kata Donni sambil menyodorkan snack box yang sudah dari beberapa jam yang lalu dibagikan, tapi Kirana belum juga menyentuhnya sedikit pun.
Kirana mengangkat alis. “Astaga! Gue bahkan gak tahu terakhir kali makan kapan, Don…Thanks ya…”. Kirana akhirnya memakan makanan pertamanya hari itu. Kirana tidak menyadari bahwa perutnya sudah kosong sejak kemarin malam sampai sekarang jam menunjukkan pukul 20.00 WIB ini dan ponselnya di saku celana tidak berhenti berdering sejak satu jam yang lalu.
Di balik semua kesibukannya, ia tidak sadar kalau seseorang sudah memperhatikannya dari kejauhan.
Andra.
Berdiri di seberang taman, dengan ponsel menempel di telinga dan wajah mengeras. Ia memandangi Kirana yang tertawa kecil bersama pria lain—yang bahkan tidak ia kenal. Kirana terlihat nyaman. Terlalu nyaman.
Andra mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu. Pikirannya melesat:
“Dia nggak sadar udah tiga jam nggak bales chat gue?!”Ia menekan tombol panggil lagi.
Bzzzt… Bzzzt…
Sepertinya asupan makanan membuat otak dan syarafnya berfungsi sempurna dan membuatnya sadar bahwa ponselnya sedang bergetar. Ia merogoh saku celananya dan menatap layar ponsel.
50 panggilan tak terjawab. Dari Andra.
Sial.
Jantungnya berdegup kencang. Ia berdiri dengan gelisah dan buru-buru menjauh dari Donni sambil menekan tombol "panggil balik".
Nada sambung pertama belum selesai, suara Andra sudah meledak.
“Seneng, ya? Lupa punya pacar?”
Kirana menahan napas. “Sorry yank… Hp aku ditaro di saku. Gak kedengeran. Sibuk banget aku dari pagi sampe lupa gak cek WA…”
“Udah, gak usah akting bego, Kiran. Jelas-jelas gue sering liat lo online tapi gak bales WA gue. Bisa bisanya ya…”
“Yank, maaf iya aku buka wa-nya cuma buat kontak vendor-vendor. Bukan bales WA kamu…”
“Oh. Gue jadi gak sepenting vendor-vendor lo? Gak sepenting laki di sebelah lo?”
“Eh, gak gitu yank!”, Kirana mencoba mengklarifikasi. “Aku lagi kerja, Andra. Brief buat event besok. Kamu tahu itu…”
“Bales chat dari gue gak bisa, tapi kamu ketawa-tawa sama cowok bisa ya ? Enak, ya? Gue WA dari siang, gak dibales. Gue telponin berkali-kali, dicuekin. Tapi kamu ada waktu buat cengengesan sama laki?”
Sakit. Kata-kata Andra seperti tamparan. Tapi Kirana menahannya. Ia belum mau terbawa emosi. “Cengengesan sama laki? Maksudnya?”, Kirana penasaran dengan lelaki yang dimaksud Andra.
“Kamu pikir aku bodoh? Gue liat kamu. Sekarang juga. Di taman ini. Kamu ketawa sama cowok itu. Siapa dia, hah?”, suara Andra merendah, dingin.
Kirana menoleh pelan. Dan benar. Andra duduk di bangku seberang, menatapnya lekat dengan pandangan menusuk. Ia tertegun. Bahkan tubuhnya terasa dingin meski udara Bandung cukup panas hari ini.
Donni mencoba mendekat. Mulutnya seolah berkata “Lo nggak papa, Kiran?”
Tanpa menjawab, Kirana mulai berjalan pelan menuju Andra. Setiap langkahnya seperti menyeret satu ton rasa lelah. Bukan cuma karena lapar atau capek. Tapi karena hatinya yang semakin berat ditarik ke dasar.
“Takut ketauan kamu selingkuh, ya?” Andra berdiri. Sorot matanya penuh amarah dan rasa dikhianati. “Kita udah tujuh tahun pacaran loh, kamu tega ya…”
Kirana berhenti di hadapannya. “Sejak kapan kamu di sini?”
“Jam setengah enam. Pulang kerja, gue langsung ke sini. Mau kasih kamu kejutan. Tapi ternyata… kejutan balik, ya. Kamu lagi happy-happy dengan cowok lain.”
Kirana menarik napas panjang. Suaranya mulai goyah, tapi tetap berusaha tenang. “Donni itu rekan kerja. Kamu tahu event film internasional besok penting buat aku…”
“Penting sampe ngelupain aku? Lo bisa ketawa sama dia, tapi gak bisa bales chat gue? Semudah itu ya? Gue udah segak penting itu?”
Dalam hatinya, Kirana ingin marah. Tapi bibirnya membisu.
“Selama ini gue selalu prioritasin lo ! Selalu luangin tiap weekend sama lo ! Karena gue pingin bareng lo terus! Tau?!”
Kirana menunduk. Ia mendengar semuanya.
“Apa coba yang belum gue lakuin buat lo? Lo cantik sekarang—siapa yang support? Gue, Kiran! Gue beliin lo make up biar lo cantik! Baju! Gue ajak lo ke klinik kecantikan…gue beliin lo catokan…”
Kirana masih membiarkan Andra bicara meluapkan emosinya. Tapi dalam dadanya, ada kalimat yang ingin keluar sejak lama. Kalimat yang selalu ia tahan, tapi Kiran kali ini mencoba berpendapat, “Tapi aku pernah gak minta itu semua loh yank…itu semua kamu yang mau…kamu yang minta aku ini itu gitu…pake lipstick ini pake baju itu…”
Andra melanjutkan, lebih pelan tapi menusuk, “Ohh gitu? Lo inget gak siapa yang talangin kuliah lo waktu bokap nyokap lo kepepet?”
Deg.
Kirana mendongak. Matanya berkaca-kaca. Kali ini ia tidak bisa tinggal diam.
“Oh, jadi sekarang semua itu hutang, ya? Aku harus patuh gara-gara itu? Harus jadi milik kamu, 24/7? Gak boleh capek? Gak boleh sibuk ngejar mimpi aku?”
Andra terdiam.
Kirana menghapus air matanya yang mulai jatuh. Ia melangkah lebih dekat. Pandangannya tajam.
“Andra... selama ini aku sabar. Kamu selalu nuntut waktu aku. Tapi pernah gak kamu tanya aku bahagia gak? Kamu dengerin cerita aku tentang kerjaan? Tentang mimpi aku?”
“Sekarang, aku capek. Capek banget. Dan kamu tahu kenapa aku gak bales chat kamu tadi?”
Andra tidak menjawab.
Kirana melanjutkan, lebih lirih, “Karena aku terlalu sibuk nahan perut kosong, nahan ngantuk, aku masih ngecek rundown, sambil mikirin kenapa aku masih terus ngalah buat kamu yang gak pernah ngerti...”
Ia berhenti sejenak. Menatap mata Andra yang kini mulai bergetar. Tangannya yang bergetar mengepal, bukan untuk melawan Andra, tapi untuk menahan dirinya sendiri agar tidak runtuh.
“Andra, sorry gue gak bisa lanjutin ini semua. Andra, gue mau putus.”
Sunyi.
Bahkan suara klakson di jalan pun terasa jauh. Orang-orang sibuk berlalu lalang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Napas Andra yang terdengar memburu, dan wajahnya yang perlahan berubah dari marah menjadi… hancur.
“Kiran…lo…”
Tapi membalikkan badannya sambil bicara dengan nada lirih, “Hutang-hutang gue tujuh tahun ini nanti gue transfer Ndra…Thanks…”
Kirana gemetar tapi mencoba melangkah tegap dan tidak menoleh lagi. Tapi tak ada yang menarik kata-katanya kembali. Tidak ada yang bisa.
Untuk pertama kalinya, ia memilih dirinya sendiri.
Pagi Paris terasa baru, seakan kota ikut merapikan napasnya. Kirana berdiri di depan cermin kecil di dapur Rue Carducci, mengikat rambut setengah tinggi. Di meja, Haris sudah menyiapkan dua cangkir: teh untuknya, kopi untuk Kirana—kebiasaan terbalik yang mereka tertawakan tiap pagi.“Lo yakin gak mau tukeran minuman?” goda Haris.“Gak. Gue butuh kopi. Lo butuh tenang,” jawab Kirana, mencubit lengannya singkat.Di punggung kursi, jas biru gelap Haris tergantung rapi. Sejak semalam ia sibuk menuntaskan slide presentasi untuk konferensi desain di Swiss—seminggu penuh, panel dan workshop. Kirana masih belum terbiasa dengan kata “seminggu”.“Lo berangkat lusa, kan?” tanya Kirana, memeriksa kalender ponselnya.Haris mengangguk. “Geneva dulu dua hari, habis itu Zurich. Balik minggu depan, sore. Gue kirim itinerary ke lo ya…siapa tau mau dating kelewat kangen…”Kir
Sinar matahari menembus tirai tipis ruang tamu, membelai tubuh Kirana yang masih terlelap di pelukan Haris. Selimut tipis yang menutupi mereka jatuh sedikit, memperlihatkan leher Kirana yang bertanda merah lembut hasil semalam mereka bercumbu. Haris membuka mata lebih dulu, merasakan aroma samar tubuh Kirana yang menempel di kulitnya.Ia tersenyum kecil, antara lega dan masih tidak percaya. Perempuan yang selama ini ia jaga jaraknya, kini tertidur nyaman di lengannya. Wangi tubuhnya sangat ia sukai dan pasti ia rindukan. Bulu matanya lentik. Bibirnya yang kecil dan lembut menjadi hal yang paling bikin Haris candu sepertinya. Kirana teman kecilnya, yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya, kini ada dalam pelukannya. Ternyata rencana Tuhan benar-benar luar biasa.Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga perasaan lain yang menyelinap: tanggung jawab. Haris sadar, apa yang terjadi malam tadi bukan sekadar pelepasan nafsu, tapi sebuah pintu besar yang sudah terbuka. Ia harus bisa memast
Haris bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika jemarinya menyentuh lekuk lembut di balik daster tipis Kirana. Ia tahu ini bukan hanya tentang tubuh—ada sejarah panjang air mata, luka, dan rasa takut di balik tatapan mata Kirana yang kini penuh keberanian.“Apa lo yakin, Ran?” bisiknya, hampir tidak terdengar.Kirana menatapnya dalam-dalam, senyum tipisnya lebih seperti jawaban daripada kata-kata. “Ris… gue nggak mau jadi tahanan masa lalu gue sendiri lagi. Gue juga ga ngerti tapi, lo buat gue ngerasa aman dan nyaman. Perasaan tulus lo...gue kerasa banget...”Haris berkaca-kaca mendengar perkataan Kirana."Ris, orang tua gue pingin gue happy sama lo. Orang tua gue pasti se
Pagi itu, udara Paris masih dingin walau matahari sudah naik. Kirana duduk di meja makan, mengaduk bubur ayam ala Haris. Ia tidak menyangka momen malam itu bisa terjadi juga dalam hidupnya. Terlebih, akhirnya ia melepaskan keperawanannya ke Haris. Pria yang baru saja kembali ke hidupnya setelah sekian tahun. Tapi ia belum bisa benar-benar lepas. Di satu sisi, Kirana merasa senang dan lega. Di sisi lain, ada perasaannya yang belum tuntas.“Ran, gue pengen ajak lo keluar,” kata Haris yang tiba-tiba datang setelah menerima telepon dari Prof. Thérèse tadi.Kirana mengangkat alis. “Kemana?”“Kelas meditasi. Di Rue Saint-Honoré. Temennya Prof. Thérèse yang rekomendasiin. Katanya bagus buat orang yang lagi… banyak pikiran.”Kirana menghela napas, menatap buburnya. “Ris… gue belum tentu bisa fokus.”“Seenggaknya bisa kita coba dulu Ran. Kadang duduk di ruangan yang tenang aja udah beda rasanya. Yuk! Gue temenin ko...”***Ruang meditasi itu sederhana: lantai kayu, dinding putih, dan jendela be
Ada perasaan yang tak ia duga: bukan ledakan, melainkan hangat yang merayap, seperti air yang menemukan cekungan dan tinggal. Haris mengecup pelipisnya berulang, turun ke bawah sedikit demi sedikit seolah setiap sentuh adalah cara baru berkata “gue di sini”. Kirana menyambut, memejam, membiarkan air matanya jatuh satu-dua—bukan duka yang lama, melainkan lega yang lambat. Untuk pertama kalinya setelah banyak kehilangan, ia merasa tubuhnya bukan medan perang, melainkan rumah.Haris mengecup leher Kirana, seolah mengaktifkan semua sensor yang ada. Lalu perlahan Kirana dapat merasakan membuka Haris mencoba kancing Kemeja. "Sayang...Gue ijin buka ya...Boleh?""Boleh Ris...", desah Kirana sambil tersenyum. Haris melihat dua buah gunung kembar yang mulus dan indah. Ia kecupi perlahan dan isap dengan lembut, membuat Kirana mendesah juga. Kirana merangkul tubuh Haris, mengusap punggungnya lembut. Mengikuti gerakannya.Seperti dua sejoli yang sudah lama saling mendamba dan menahan diri, semuan
Dua bulan sudah setelah upacara singkat itu, Paris seperti menahan napas untuk Kirana. Rue Carducci yang biasanya riuh pelan oleh suara roda koper dan tawa mahasiswa kini terdengar lebih tipis, seolah semua orang berbisik saat melewati jendela apartemennya. Di dalam, jam dinding murah berdetak terlalu jelas, mengisi celah-celah hening yang dulu tak pernah ia perhatikan. Kirana sering terbangun sebelum subuh. Ia duduk di kursi dekat jendela kecil, memeluk lutut, menatap atap batu bangunan seberang yang disapu cahaya lampu jalan warna madu. Matanya tidak selalu basah, tapi dadanya seperti disangga sesuatu yang berat dan tak bernama. Ada hari-hari ia ingin bercerita panjang pada kedua orang tuanya—soal kuliah, soal proyek “Healing Through Memory”, soal Haris. Ada juga hari-hari ia hanya ingin diam dan membiarkan napasnya keluar masuk, menandai bahwa ia masih di sini. "Pagi sayang...", ucap Haris seraya mengecup pipi Kirana begitu dia bangun. "Pagi suamiku...", jawab Kirana dengan senyu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen