Share

Jiwa Dara yang Terkoyak
Jiwa Dara yang Terkoyak
Author: Pena_Zahra

Prolog dan Bab 1 JDYT

Prolog

[Naaa ... sorry, aku typo nggak sadar, wey! Seharusnya kamar nomor 313, bukan nomor 314! Ni akibat angka 3 ma 4 deketan sih di keyboardku, dasar emang! Sorry ya, Beb ... kamu pindah ke sebelah ya! Kita bentar lagi balik kok.😭😂]

"What?!"

Aina memekik sesaat setelah membaca pesan yang dikirim oleh temannya, 15 menit yang lalu, tepatnya saat ia baru sampai dan memutuskan untuk langsung mandi karena terlalu gerah.

Ia sengaja mengabaikan notiv pesan dari Abidah karena menganggapnya tak penting.

"Astaga Abidah! Pantesan tadi kamarnya nggak kekunci, ternyata aku salah kamar?" batin Aina.

Sementara di lorong hotel, seorang lelaki dewasa tengah berjalan cepat sembari terus mengumpat, "dasar teman-teman nggak ada akhlak! Bisa-bisanya mereka mencampurkan obat sial*n itu ke dalam minuman gue!" Lelaki dengan tubuh tegap itu berseloroh dalam hati seraya mempercepat langkahnya. Pengaruh obat perangsang yang sengaja dibubuhkan temannya ke dalam minuman membuatnya harus segera berendam air dingin untuk meredam gejolak kelelakiannya.

Namun betapa terkejutnya ia saat membuka kamar dan mendapati seorang wanita berada di kamarnya. Posisi wanita yang hanya mengenakan kimono mandi selutut dan handuk yang melilit di kepala itu membelakanginya, membuatnya tak menyadari kehadirannya.

"Pucuk di cinta ulam pun tiba, inikah yang dinamakan rejeki? Datang di saat yang tepat. Seperti inilah mungkin rasanya saat Jaka Tarub mendapati bidadari yang tertinggal di bumi. Berasa dapat rejeki nomplok!" Lelaki yang mulai gelap mata akibat pengaruh obat perangsang yang tak sengaja dikonsumsinya itu bagaikan seekor kucing yang melihat ikan di hadapannya, siap menerkam kapan saja.

Ia menutup pintu, perlahan, kemudian memutar kunci hingga menimbulkan bunyi 'klik' dan mengejutkan Aina. Gadis itu menoleh, dan seketika menjerit saat mendapati seorang lelaki berdiri di sana dengan senyum evilnya.

"Aaaaaaaa."

***PZ

Malam yang diharapkan menjadi malam penuh kenangan bersama teman-temannya, justru menjadi malam petaka bagi Aina.

Kedatangannya ke Bali untuk berlibur dan healing selepas kelulusan pesantren berubah menjadi awal dari malam-malam nestapanya. Bagaimana tidak? mahkota yang selama ini ia jaga terenggut begitu saja oleh lelaki yang tidak dikenalnya di malam itu. Harkat martabatnya sebagai seorang santri seolah sirna berganti kehinaan.

Hidup Aina terasa menyeramkan sejak malam itu. Jangankan memikirkan hendak melanjutkan mengejar cita-cita, berpikir bagaimana caranya untuk bisa melanjutkan hidup saja rasanya sudah membuatnya lelah. Aina yang ceria menjadi pendiam, dia yang selalu aktif bersosial menjadi pribadi yang lebih introvert.

Namun perubahan itu justru menciptakan kelegaan di hati orang tuanya. Putri yang selama ini mereka cap "Ra iso meneng" itu menjelma jadi sosok yang kalem. Mereka tak tahu, ada sebab di balik perubahan itu.

Aina, memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian malam itu pada orang tuanya, karena terlalu takut dengan reaksi Abahnya yang terkenal tegas dalam urusan agama. Profesinya sebagai seorang ustad kondang di desa, membuatnya menjadi overprotektif terhadap putri-putrinya.

Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, hingga tak terasa, sudah berjalan satu bulan lamanya sejak kejadian di malam itu. Dan Aina tetap dengan jawaban yang sama, tiap kali ditanya ingin melanjutkan cita-cita ke mana. Ia selalu menjawab 'masih bingung'.

Hidupnya tak lagi menemukan arah. Aina, kehilangan harapannya.

Bab 1

"Bilang sama Abah, siapa bapak dari jabang bayi itu?!" Ustadz Sofyan, Abah Aina tak dapat lagi menahan amarahnya. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit, sesampainya di rumah, ia tak sama sekali memberikan kesempatan untuk Aina beristirahat sesuai anjuran dokter. Ia langsung menodong putrinya dengan pertanyaan yang sangat menyudutkannya.

Aina menunduk, matannya terpejam mendengar suara Abahnya yang lantang. Ia meremas-remas tangannya yang bergetar, berharap dengan begitu akan mendapatkan ketenangan.

"Jawab!" Suara Ustadz Sofyan kembali menggelegar, bagaikan petir yang menyambar tepat di sisi telinga Aina. Gadis yang telah terenggut keperawanannya itu sampai terlonjak kaget mendengar bentakan Abahnya. Ia semakin bingung, harus dari mana menjelaskan kisahnya pada sang ayah.

"Istighfar, Bah ... Istighfar!" Shoimah, Ummi Aina mencoba menenangkan suaminya. Dengan suara bergetar akibat menangisi nasib putrinya.

"A ... Ai ... Aina tidak tahu, Bah!" Aina menjawab dengan suara terbata.

"Bohong! Kau yang melakukannya, mana mungkin kau tak mengetahui siapa lawan mainmu!"

"Demi Allah, Aina beneran nggak tahu, Bah!" Aina berusaha meyakinkan Abahnya dengan bersumpah atas nama Tuhan.

"Halah! Nggak usah bawa-bawa nama Allah. Harusnya kamu malu, Aina, karena kamu sudah kotor, nggak punya harga diri! Jangan berlindung dari kehinaan di balik asma suci Allah. Istighfar, Aina, istighfar!" Ustadz Sofyan kembali meneriaki putrinya dengan penuh emosi, membuat Aina kembali memejamkan mata dan menutup telinga. Wanita 20 tahun itu, kini terisak di bawah tekanan abahnya.

"Bagus! Nangislah, minta ampun sama Allah atas dosa-dosamu itu! Kau dilahirkan dalam kondisi suci, dididik di tempat suci, tapi kau justru mengotori dirimu sendiri, Aina! Bikin malu aja!" Ustadz Sofya berkata seraya menendang meja di hadapannya. Lagi-lagi, suara yang ditimbulkan membuat Aina kembali terlonjak.

Aina mendongak, memandang abahnya dengan penuh kecewa. "Aina korban, Ba! Aina juga nggak mau ini terjadi! Seharusnya Aina bisa mengharapkan Abah menjadi pengayom untuk Aina di saat-sat seperti ini. Anina kecewa sama Abah!" Aina mengumpulkan segenap tenaga untuk balas meneriaki abahnya. Terlampau sakit rasanya saat ayahnya sendiri tak bisa mempercayainya.

"Heh, kau nggak akan jadi korban kalau bisa jaga diri baik-baik. Berapa kali aku bilang, sing anteng jadi wong wadon! Ojo kelayapan! Tapi nawar aja kerjaanmu. Kalau udah kejadian gini terus sok berteriak jadi korban? minta perlindungan? Kamu sadar nggak, semua itu terjadi karena kecerobohanmu sendiri, Aina!"

Brak!

Kali ini suara itu disebabkan oleh meja yang digebraknya.

Ustadz Sofyan meraih dagu Aina, mengangkat wajahnya yang tertunduk dengan kasar, "Dengar aku baik-baik, sekarang juga kau bawa lelaki itu kemari, minta pertanggung jawabannya atas bayi ini. Dan jangan pernah kembali ke rumah ini tanpa membawanya.

Aku nggak mau menanggung malu atas kehamilanmu itu. Apa kata orang nanti kalau sampai tau putri seorang ustadz malah hamil di luar nikah? Bisa hancur nama baikku gara-gara kelakuanmu, Aina! Na'udzubillah ... dasar anak aib kamu, Aina!" Ustadz Sofyan terus menghujani Aina dengan kata-kata yang semakin menghancurkan perasaannya. Ia kalap tak lagi mampu mengendalikan emosi, bahkan ia memutuskan sepihak, tanpa mau mendengarkan penjelasan putrinya.

"Tapi, Bah, ini musibah, Aina—."

"Nggak usah tapi-tapian. Ini memang musibah. Musibah besar untuk keluarga kita. Kamu tau, akibat kelakuanmu ini, bisa saja nama baikku sebagai seorang yang terpandang tercoreng. Dan itu artinya, kamu menjadi penghambat rizki keluarga. Itulah yang disebut musibah besar. Dan semua karena kamu, Aina!" Sarkas Ustadz Sofyan semakin berapi-api. Menjadi Ustadz memang profesi satu-satunya yang ja jalani. Hanya dengan mengandalkan amplop pemberian orang lah selama ini ia menghidupi keluarga.

"Abah ... sudah, Bah ... sudah ...." Dalam tangisnya Shoimah berusaha menenangkan suaminya.

"Diam, Mi. Anak seperti ini ojo dimanja. Dia harus diberi pelajaran biar jera!" ucap Ustadz Sofyan pada istrinya.

"Sudah, Ba ... Kasian Aina ... dia sedang hamil, kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin, ya!" rayu Shoimah sekali lagi.

"Nggak ada solusi lain, lelaki itu harus datang dan menikahi Aina, hanya dengan cara itu nama baik keluarga kita bisa diselamatkan.

Dan kau ... sekarang juga kau pergi dari sini!" Ustadz Sofyan menunjuk wajah Aina kemudian mengarahkan tulunjuknya ke arah pintu.

"Bah ... tolong dengar penjelasan Aina dulu." Aina berusaha meraih tangan Abahnya, mencoba meluluhkan hatinya agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Namun ustadz Sofyan justru menepisnya.

"Aku bilang pergi!" Bentak ustadz Sofyan sekali lagi.

Hati Aina mencolos, merasakan perlakuan ayah yang selama ini dihormatinya, ayah yang selalu ia dengarkan nasihatnya, ayah yang selalu ia jaga nama baiknya. Namun kini, ternyata ayah yang disayanginya itu menjadi sosok yang paling banyak menorehkan luka mendalam di hatinya.

Ia segera bangkit, mengusap cepat air mata yang mengaliri pipi dengan kedua tangannya. Ia yang semula duduk kini berdiri, menegakkan tubuhnya agar tak terlihat lemah.

"Oke, Aina akan pergi. Dan lihat saja nanti, Abah akan menyesal karena telah mengusir Aina dengan cara sekeji ini!" Aina mengucapkan kalimatnya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, namun ia berusaha untuk tetap terlihat tegar.

Kemudian ia segera berlalu pergi, berjalan ke arah pintu, mengabaikan teriakan Umminya yang histeris melarangnya pergi. Ustadz Sofyan menahan istrinya agar tak mengejar Aina, Shoimah semakin meraung, namun sedikitpun tak merubah keputusan suaminya.

Aina mengehentikan langkahnya sejenak di teras rumah, menghela nafas panjang, sebelum melanjutkan langkah.

"Pergi sana! Nggak usah balik lagi! Mulai sekarang kau bukan anakku lagi!" Kalimat itulah yang terakhir ia dengar sebelum akhirnya ia benar-benar hilang dari pandangan kedua orang tuanya. Dan kalimat itulah yang tertancap dan membekas di hatinya. Ia pergi dengan menggenggam luka kekecewaan terhadap orang tuanya.

***PZ

Malam telah mencapai pertengahannya saat Arsen, lelaki 32 tahun itu kembali mendapati mimpi serupa dalam tidurnya.

"Ya Tuhan ... dia datang lagi. " Arsen menggumam seraya mengusap wajahnya. Lagi-lagi, gadis yang ia renggut mahkotanya beberapa waktu lalu itu kembali hadir dalam mimpinya. Ia selalu datang seperti arwah yang menuntut pertanggung jawaban, padahal ia tak memb*nuhnya.

Sejak ia terbangun dan mendapati tubuhnya tanpa busana di kamar 314 sebulan yang lalu, ia jadi selalu dihantui rasa bersalah terhadap gadis yang telah dinodainya. Gadis yang entah sekarang berada di mana? karena saat ia terbangun, gadis itu sudah tak ada di sisinya. Ia pergi, tanpa meninggalkan jejak apapun untuk ditelusuri. Hanya menyisakan kenangan yang menyesakkan dada, terlebih saat ia mengingat air mata yang menetes dari kedua pelupuk matanya di akhir permainannya.

"Salah gue sendiri yang nggak make sure dulu, dia Abella atau bukan. Asal tancap gas aja. Gini kan jadinya! Salah sasaran yang membawa petaka.

Lagian gue juga nggak tau kan kalau ternyata dia masih virgin, andai gue tahu sejak awal, gue nggak akan ngelakuin itu, gue nggak sebrengs*k itu lah.

Huh, gegara gue renggut mahkotanya, gue berasa kaya habis cabut nyawa orang dari raganya. Selalu dihantui rasa bersalah, dan dia selalu datang layaknya arwah yang menuntut pembalasan. Gue nggak akan bisa tenang kalau terusan begini! Gue harus segera menemuknnya, dan memastikan kondisinya baik-baik aja."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status