Share

Bab 2 JDYT

Bab 2

Aina berjalan gontai menyusuri setapak demi setapak jalan desa yang dilaluinya. Tiga hari sudah ia berjalan tanpa arah, hanya berbekal sisa uang di dompet dan tabungannya yang tidak seberapa.

Tabungan di bank yang susah payah ia kumpulkan dengan menyisihkan uang saku bulanan selama di pesantren itu sudah ia habiskan untuk biaya liburan di Bali bersama teman-temannya. Liburan yang ia harapkan akan menjadi penawar penat setelah melalui lika liku kehidupan di penjara suci yang cukup melelahkan. Namun ternyata, hal itu justru menjadi awal dari malapetaka yang harus ia terima.

Ia sudah mencoba menghubungi beberapa temannya, namun jarak yang jauh juga kesibukan persiapan masuk perkuliahan membuat mereka slow respon. Aina cukup tahu diri, untuk tak banyak merepotkan teman-temannya.

"Ya Allah ... sekedar untuk berkeluh kesah saja rasanya aku bingung harus pada siapa? Kenapa jalan takdirku sepedih ini? Mana uang pegangan semakin menipis lagi, kalau buat modal lagi khawatir malah tambah habis tak bersisa." Di bawah pohon randu Aina terduduk di sebuah bangku, merenungi nasib di tengah senja yang sendu.

Ia benar-benar bingung harus melakukan apa? Sejak kecil ia hidup di pesantren, tidak pernah mengenyam pahit manisnya hidup di dunia bebas seperti saat ini. Membuatnya kebingungan saat harus menghadapi segala problematika seorang diri.

Tidak ada tempat untuk bertanya, tidak ada yang mengarahkan, tidak ada yang bisa diajak diskusi. Semuanya harus ia putuskan sendiri, semua harus diaturnya sendiri, dan hal itu cukup membuatnya frustasi.

Berbagai cara telah dilakukannya, ia menggunakan uang pegangan yang hanya tiga ratus ribu untuk berjualan, membeli beberapa kue basah untuk ditawarkan dengan cara berkeliling, berharap uang itu akan menghasilkan untung sehingga bisa ia gunakan untuk biaya kost sebagai tempat tinggal.

Namun pengalaman yang minim membuatnya tidak bisa memperkirakan. Ia terlalu banyak mengambil kue di hari pertama berjualan, sementara yang laku hanya beberapa. Kue-kue itu masih tersisa menjelang maghrib setelah seharian penuh dibawanya keliling hingga bercucur peluh.

Tak ingin kue yang dibelinya mubadzir sia-sia, ia pun memutuskan untuk membagi-bagikannya pada orang-orang di jalanan, berharap dengan sedikit sedekah, Allah akan mempermudah urusannya.

Namun hingga detik ini ia tak kunjung mendapatkan kemudahan yang diharapkan. Tiap kali ia mendapatkan pekerjaan, selalu ada saja masalah yang membuatnya kehilangan pekerjaan tersebut.

Seperti dua hari lalu, saat seseorang berbaik hati memberinya pekerjaan untuk membantu mencuci piring di tempat makan miliknya, ia pun dengan bahagia menyambut uluran tangan tersebut, walau bayaran yang dijanjikan tak seberapa, setidaknya hal itu bisa menambah pemasukannya.

Akan tetapi akibat tidak fokus dan terlalu banyak melamun, ia tak sengaja memecahkan piring dan beberapa gelas minuman, akibatnya, upah pun gagal diberikan untuknya.

Suara speaker masjid mulai dinyalakan. Ayat-ayat Al Qur'an mulai dilantunkan, pertanda waktu maghrib akan segera tiba.

"Sudah tiga kali Maghrib aku lalui, tapi hidupku masih begini-begini saja. Aku bingung harus ke mana? Ke mana aku harus menemukan ayah dari janin ini? Seandainya malam itu aku sedikit saja menggunakan akalku, mungkin saat ini aku tak kan luntang-luntung seperti ini." Aina membatin, ingatannya kembali memutar kejadian di malam yang menghancurkan hidupnya.

Bagaimana ia tak berdaya di bawah tekanan lelaki yang memandangnya dengan pandangan buas. Layaknya seekor singa kelaparan kemudian menemukan mangsa di hadapannya.

Ia berusaha melawan, namun tenaganya yang tak seberapa tak cukup kuat untuk mengalahkan tubuh kekar yang terus menghimpitnya. Semua terjadi tanpa bisa dikendalikannya, perbuatan biad*b itu, akhirnya terjadi dan menyisakan trauma mendalam dalam benaknya.

Bodohnya ia karena setelah kejadian itu, ia kabur meninggalkan lelaki biadab itu tanpa pamit. Bahkan tanpa mengantongi sedikitpun informasi tentang dirinya. Ia pergi begitu saja, meninggalkannya yang terlelap akibat terlalu lelah bermain-main dengannya.

Saat itu yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar bisa terlepas dari hal yang dianggapnya petaka. Berusaha mengubur memori tentang hari itu sebagai kenangan buruk yang harus dilupakannya. Menganggapnya sebagai aib yang harus ditutupnya rapat-rapat.

Aina terus berusaha melupakan kejadian kelam yang menimpanya, menganggapnya hanya sebuah mimpi buruk yang tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Namun sayang, kenyataan tak kan pernah berubah menjadi mimpi. Kenangan di malam itu ternyata meninggalkan sesuatu di dalam rahimnya, sesuatu yang dianggap aib oleh keluarga.

Aib yang harus ditanggungnya selama sembilan bulan lamanya. Aib yang ia sendiri tak sampai hati untuk membuangnya.

Aina menyentuh pelan perutnya yang masih rata, dengan tangan bergetar ia mengusapnya.

"Aku sudah dibuang layaknya seonggok sampah oleh orang tuaku sendiri. Hidup sudah berlaku dengan sangat tak adil terhadapku. Dan aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama denganku.

Anakku, aku berjanji akan memberimu kehidupan yang adil. Aku berjanji tak kan berlaku sama dengan apa yang telah orang tuaku lakukan terhadapku. Karena terlampau sakit rasanya saat kehadiran kita tak lagi diharapkan oleh orang yang sangat kita sayangi.

Setidaknya kamu harus lahir dengan selamat, karena kamu tak salah apa-apa, kamu layak mendapatkan kebahagiaan, walaupun mungkin aku tak dapat memberikan itu untukmu, tapi aku selalu berharap, Tuhan akan memberikannya untukmu, melalui uluran tangan orang-orang baik yang telah dipilih oleh-Nya. Bertahanlah, kamu hadir di sini untuk dilahirkan ke dunia. Dan aku akan melaksanakan tugasku dengan sebaik-baiknya."

***PZ

"Makanlah, kamu mogok makan seperti itu nggak akan bikin Aina balik perawan!" Ucapan ustad Sofyan terdengar menyakitkan di telinga istrinya.

Malam ini mereka hanya berdua di rumah. Alina, kakak Aina sudah pulang ke tempat suaminya.

"Abah ini keterlaluan kok, sudah tiga hari anak pergi dari rumah, kok ndak ada khawatir-khawatirnya? Apa Abah ndak memikirkan bagaimana kehidupan Aina di luar sana? Dia anak kita loh, Bah. Anak yang selalu kita jaga sejak dalam kandungan." Shoimah berkata dengan mata berkaca-kaca. Ia tak habis pikir dengan sikap suaminya yang acuh tak acuh terhadap kepergian putri mereka.

"Selama ini kita menjaganya agar menjadi gadis yang sholihah, menjadi wanita yang bisa menjaga harga dirinya. Dan sekarang saat dia sudah kehilangan itu semua, untuk apa lagi kita jaga? Biar saja dia hidup sak karep-karepe dewe, lagian bocah itu dari dulu diatur ya angel, sekarang kalau sudah begini kita lagi yang harus disusahin, Yo ra sudi aku, Mi ...!" Ustadz Sofyan mengucapkan kalimatnya dengan nada berapi-api.

"Istighfar, Abah! Ingat, sampai kapanpun anak adalah amanah yang harus kita jaga! Kalau memang Abah nggak bersedia, biarkan Ummi yang melakukannya. Ummi akan cari Aina." Istri ustadz Sofyan berusaha mengingatkan tentang tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

"Aku nggak akan meridhoi setiap langkahmu, Mi. Berani kamu keluar dari rumah ini untuk mencari Aina, maka kamu bukan lagi istriku!"

"Astaghfirullah, Abah!" Shoimah mengelus dada mendengar ucapan suaminya.

"Kalau kamu mau hidupmu berkah, nurut sama aku, nurut sama suamimu! Biarkan Aina mendapatkan pelajaran. Jangan terlalu memanjakannya, dia sudah dewasa, dia harus tahu bahwa ada konsekuensi dari setiap perbuatan."

"Setidaknya kita harus mencarinya, Bah. Kita bisa asingkan Aina kalau memang Abah menganggapnya aib, tapi setidaknya Aina harus tetap dalam pantauan kita. Jangan lepas tangan total seperti ini, Bah!" Ummi Aina itu tetap berupaya untuk mengubah keputusan suaminya.

"Mau diasingkan di mana lagi? Ndak ada biaya untuk itu, Mi. Job bulan ini aja sepi, belum lagi kalau orang-orang sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi, bisa-bisa nama baik yang selama ini aku bangun hancur, dan kita akan kehilangan sumber penghasilan satu-satunya. Orang ndak akan percaya lagi dengan yang aku sampaikan! Dan aku akan kehilangan banyak jamaah yang selama ini sudah aku ayomi." Ustad Sofyan tetap menolak usul istrinya.

"Ya Allah, Bah ... yang wajib kita ayomi pertama kali itu anak kita, Bah, baru ummat. Yang wajib kita bimbing itu anak kita, baru ummat. Lah kalau mendidik anak saja kita gagal, kenapa malah sibuk mendidik ummat?

Kerjaan bisa dicari, Bah, tapi tanggung jawab atas anak kita itu paten, selamanya!" Shoimah tak berhenti meluruskan pemikiran suaminya.

"Enteng aja kamu ngomongnya. Coba kamu yang ada di posisiku? Kamu tuh ndak tahu gimana susahnya jadi Abah, jadi kepala keluarga yang harus menanggung nafkah.

Wis toh, aku ndak mau ambil risiko lah! Wis biarin aja, biar Aina juga belajar, anggap aja ini hukuman buat dia. Aku akan nerima Aina lagi kalau dia berhasil bawa lelaki itu kemari, dan bersedia menikahi Aina sebagai bentuk tanggung jawabnya. Aku nggak mau bayi itu lahir di rumah ini tanpa seorang bapak. Itu aib besar buat kita!" Ustad Sofyan berdiri dari tempatnya.

"Kalau Aina ndak menemukannya gimana, Bah?"

"Ya itu urusan dia!" Lelaki berkulit sawo matang itu mulai beranjak meninggalkan istrinya.

"Abah mau ke mana?"

"Ke depan, ndak jadi nafsu makan aku ngomongin Aina!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status