"Kalau sekarang Mas Arsen bertanya apakah Aina bahagia? maka Aina akan menjawab, iya, Aina sangat bahagia. Bahkan saat ini Aina berada di atas puncak kebahagiaan Aina.
Bagaimana mungkin Aina tidak berbahagia, sementara Aina memiliki keluarga yang utuh, dan sangat-sangat menyayangi Aina, menerima Aina dengan segala kekurangan yang Aina miliki.Bagaimana Aina tidak bahagia, Mas? sedangkan Allah memberikan anugerah terindah di dalam hidup Aina, anugerah itu berupa Shena dan juga kamu Mas Arsen, kalian berdua adalah warna di dalam kelamnya kehidupan yang pernah Aina lalui.Dan yang terpenting, bagaimana mungkin Aina tidak bahagia, sedangkan Allah telah memberikan Aina kesempatan untuk kembali mendekati-Nya, setelah Aina mengambil jalan untuk menjauhkan diri dari-Nya?Ini adalah sebuah anugerah. Hidayah adalah anugerah terindah bagi setiap mukmin dan mukminah, dan hal itu tak pernah luput untuk Aina syukuri, Mas." Aina menjawab panjang kali lebar.Awan meredup tatkala tanah mulai menimbun raga Aina yang tak lagi bernyawa, seolah bumi tak rela ditinggalkan salah satu penghuni terbaiknya.Mendung yang sama juga menebal dan menggelap di mata suami Aina. Kelopak mata indah itu sejak tadi bekerja keras untuk membendung air yang berdesak-desakan ingin ditumpahkan dari sana. Berkali-kali Arsen menengadahkan wajahnya ke langit, menahan agar air matanya tak sampai jatuh membasahi tanah kubur sang istri."Ikhlaskan, Arsen ... ikhlaskan!" gumamnya menguatkan diri sendiri, kemudian lanjut mengayun cangkul untuk mengubur jasad Aina. Ia sengaja ingin ikut serta di dalam step by step prosesi pemakaman Aina. Mulai dari memandikan, mengkafani, mengantar jenazah, hingga menguburkan, dia selalu turut serta, dibantu orang-orang yang bertugas.Di sisi kiri liang lahat, ustadz Sofyan tergugu di atas kursi rodanya. Kabar tentang kematian putrinya benar-benar mengguncang jiwanya. Belum kering rasanya air mata kesedihan ata
Prolog[Naaa ... sorry, aku typo nggak sadar, wey! Seharusnya kamar nomor 313, bukan nomor 314! Ni akibat angka 3 ma 4 deketan sih di keyboardku, dasar emang! Sorry ya, Beb ... kamu pindah ke sebelah ya! Kita bentar lagi balik kok.😭😂]"What?!"Aina memekik sesaat setelah membaca pesan yang dikirim oleh temannya, 15 menit yang lalu, tepatnya saat ia baru sampai dan memutuskan untuk langsung mandi karena terlalu gerah.Ia sengaja mengabaikan notiv pesan dari Abidah karena menganggapnya tak penting."Astaga Abidah! Pantesan tadi kamarnya nggak kekunci, ternyata aku salah kamar?" batin Aina.Sementara di lorong hotel, seorang lelaki dewasa tengah berjalan cepat sembari terus mengumpat, "dasar teman-teman nggak ada akhlak! Bisa-bisanya mereka mencampurkan obat sial*n itu ke dalam minuman gue!" Lelaki dengan tubuh tegap itu berseloroh dalam hati seraya mempercepat langkahnya. Pengaruh obat perangsang yang sengaja dibubuhkan temannya ke dalam minuman membuatnya harus segera berendam air di
Bab 2Aina berjalan gontai menyusuri setapak demi setapak jalan desa yang dilaluinya. Tiga hari sudah ia berjalan tanpa arah, hanya berbekal sisa uang di dompet dan tabungannya yang tidak seberapa.Tabungan di bank yang susah payah ia kumpulkan dengan menyisihkan uang saku bulanan selama di pesantren itu sudah ia habiskan untuk biaya liburan di Bali bersama teman-temannya. Liburan yang ia harapkan akan menjadi penawar penat setelah melalui lika liku kehidupan di penjara suci yang cukup melelahkan. Namun ternyata, hal itu justru menjadi awal dari malapetaka yang harus ia terima.Ia sudah mencoba menghubungi beberapa temannya, namun jarak yang jauh juga kesibukan persiapan masuk perkuliahan membuat mereka slow respon. Aina cukup tahu diri, untuk tak banyak merepotkan teman-temannya."Ya Allah ... sekedar untuk berkeluh kesah saja rasanya aku bingung harus pada siapa? Kenapa jalan takdirku sepedih ini? Mana uang pegangan semakin menipis lagi, kalau buat modal lagi khawatir malah tambah h
Bab 3Shoimah memandang nanar kepergian suaminya, ia tak menyangka bahwa suaminya yang selama ini dianggapnya paling menguasai ilmu agama ternyata justru memiliki pemikiran yang salah dan menyimpang.Rasa sesal mulai datang menyapa hati, "seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang wanita, seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang ibu, mungkin aku bisa mengetahui kehamilan Aina sejak awal, dan semua ini tidak pernah terjadi.Soimah memandangi ruang makan tempat ia duduk saat ini dengan penuh penyesalan, ruangan tempat keluarga biasa beramah-tamah untuk makan bersama itu kini menjadi ruangan penuh kenangan buruk. Sepi, sunyi, tidak ada kebahagiaan. Ingatannya kembali memutar kejadian pagi itu."Aina, kamu sakit?" tanya Ustadz Sofyan ketika mendapati putri bungsunya terlihat pucat saat di meja makan. Sudah menjadi rutinitas keluarga Sofyan di setiap pagi, seluruh anggota keluarga berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama."Cuma meriang biasa aja kayaknya, B
Bab 4Aina POVMalam semakin larut, sementara aku tak kunjung mendapatkan tempat untuk bermalam. Sudah tiga malam lamanya aku menggelandang. Mata tak bisa terpejam, karena tak adanya tempat untuk sekedar merebahkan tubuh dan memejamkan mata.Beruntung uang peganganku masih bisa digunakan untuk makan, sedikitnya dua kali dalam sehari, sehingga sumber energi dan gizi untuk diriku dan janin dalam kandunganku masih terpenuhi selama tiga hari ini.Sejak keluar dari rumah, aku merasa benar-benar sendiri. Bukan aku tidak memiliki kerabat, aku mengenal beberapa saudara dari pihak abah maupun ummi yang tinggal tak jauh dari rumah, akan tetapi aku berpikir dua kali untuk menumpang di rumah mereka. Aku tak ingin membuat abah dan ummi semakin malu kalau sampai keluarga besarnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lagipula, aku pun tak cukup punya muka jika sampai aibku tersebar ke mana-mana.Sempat terbesit dalam pikiranku untuk singgah di pesantren tempatku menimba ilmu, setidaknya se
Bab 5 JDYTTaksi yang ditumpangi Aina dan Tasya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Tasya membayar tarif taksi kemudian mengajak Aina turun."Maaf ya mungkin tempatnya kurang nyaman dan tidak cocok untuk kamu, tapi setidaknya kamu bisa istirahat dan bermalam di sini untuk malam ini." Sebelum masuk ke rumahnya, Tasya terlebih dahulu memohon maklumnya dari Aina."Nggak apa-apa, Mbak, bisa dapat tumpangan malam ini saja saya sudah bersyukur. Makasih ya, karena sudah mau bantu saya." Aina menjawab ramah."Ya sudah, kalau gitu kita masuk aja, biar kamu bisa cepet istirahat." Tasya membuka pintu seraya mempersilakan Aina masuk."Iya, Mbak."Tasya melangkah lebih dulu, sementara Aina mengikuti di belakangnya. Mendengar suara derap langkah dari luar, seorang lelaki keluar dari kamar depan."Kamu udah pulang?" tanyanya menyapa Tasya yang sedang melepas high hillsnya. Tasya memberi isyarat pada Aina untuk duduk di kursi kayu yang terletak di ruang tamu mini rumahnya."Di
Bab 6Obrolan di antara Aina dan Tasya masih terus berlanjut. Tasya banyak berkisah tentang masa lalunya, sementara Aina lebih banyak mendengar dan sesekali bertanya."Jadi yang pertama kali membawa Mbak Tasya kemari suami, Mbak?" tanya Aina setelah mendengarkan kisah masa lalu Tasya yang tak banyak berbeda dengannya."Iya, sama seperti saat aku membawamu, bedanya, saat itu kami sama-sama tak memiliki tempat tinggal. Suamiku mulanya seorang pecandu, korban dari temannya yang pengedar, dia salah pergaulan, dan dia kesulitan berhenti sampai seluruh harta bendanya habis tak tersisa.Keluarga menolak menolongnya, sedangkan dia mulai kebingungan karena sudah kehabisan dana untuk membeli obat yang biasa dikonsumsinya.Saat bertemu denganku, dia menawarkan pekerjaan, menjelaskan dengan detail apa yang harus kukerjakan. Kebetulan dia kenal dengan salah satu Germo di sini. Dulu gang Dolly masih beroperasi bebas, beda seperti sekarang yang pemasarannya lebih banyak online, karena pemerintah set
Bab 7"Thanks, ya!" Ucap seorang lelaki dengan dandanan macho seraya merapikan penampilannya."Sama-sama, balik lagi ya, Om!" Sahut wanita muda berwajah cantik alami seraya memaksakan senyumnya."Pasti, gue akan langganan kemari deh kalau pas mampir Surabaya. Lo beda dari yang lain. Nggak agresif, tapi bikin nagih." Lelaki itu menjawab dengan senyuman mengembang, tampak sekali kepuasan tergambar di wajahnya."Ah, si Om bisa aja.""Gue serius, Ai. Ya udah ya, gue cabut dulu.""Oke, Om!" Lelaki berusia 35 tahun itu berjalan meninggalkan tempatnya membeli kenikmatan menuju mobil, diikuti oleh wanita yang baru saja dibayarnya untuk memuaskan hasrat semalam.Setelah mobil yang ditumpangi kliennya melaju meninggalkan gang Dolly, wanita tersebut kembali menutup pintu ruangannya, ia segera mengunci pintu kemudian menyandarkan tubuhnya di sana.Perlahan tubuhnya merosot seiring berjatuhannya air mata dari kedua pelupuk matanya.Ia membuka tiga lembar uang berwarna merah yang berada di dalam g