Mobil meluncur senyap di tengah hiruk-pikuk Kaliandra, tapi kepala Alana terasa penuh suara. Di dalam kabin yang sejuk dan sunyi, ia duduk diam, menatap kosong ke jendela.
Setibanya di Valestra Bridal, Alana melangkah cepat melewati resepsionis dan tim desain yang menyapanya pelan, tapi tak satu pun ia balas. Ia membuka pintu studio pribadinya, masuk, dan menguncinya dari dalam. Dunia luar menghilang. Di dalam ruangan inilah ia menciptakan gaun-gaun yang membuat wanita lain merasa seperti ratu. Ironis, karena kini ia sendiri tak lebih dari tawanan.
“Chandra… Apa yang terjadi dengan hidupku…?”Ia berdiri lama di depan cermin be
Larut malam. Di ruang kerja penthouse yang senyap, Brian duduk tanpa suara di kursinya. Ia tidak menyalakan lampu, membiarkan gelap merayap di setiap sudut ruangan. Satu-satunya cahaya berasal dari layar laptopnya yang terbuka di depannya, menyinari separuh wajahnya yang tegang dan tak berkedip. Di layar, terpampang denah jaringan internal Ravenshade Tower. Informasi dari Raven berputar terus di kepalanya: server privat, terhubung ke jaringan Ravenshade Tower.Jari-jarinya mengetik pelan, membuka file catatan yang terenkripsi ganda. Begitu terbuka, ia menuliskan tiga nama. “Edgar Ravenshade. Isabella Ravenshade. Leo Ravenshade.”Tiga nama. Satu gedung. Satu keluarga. Hanya mereka yang punya akses penuh dan cukup berani untuk bermain di ruang abu-abu teknologi. Brian menyandarkan tubuh, menggerakkan bahunya perlahan, mencoba meredam ketegangan yang makin merayap dari belakang leher ke kepala. Pikirannya mulai memilah.Edgar. Ayahnya. Rasional, konservatif, nyaris obsesif terhadap rep
Alana merasa udara di penthouse semakin sempit, seperti setiap helaan napasnya diawasi dan ditakar. Dinding-dinding elegan yang dulu terasa mewah kini berubah menjadi penjara kaca yang terlalu terang. Ia melangkah cepat ke arah pintu, tak menoleh lagi.“Sudahlah, Aku mau pergi dulu ke butik,” katanya datar, tanpa menunggu tanggapan. “Nggak usah tunggu aku pulang. Kamu tahu aku di mana.”Ia tidak menunggu jawaban. Tangannya sempat menyentuh tablet di meja, lalu melepaskannya. Ia sengaja membiarkannya di sana. Bukan hanya karena jijik, tapi karena ia tidak mau membawa mata-mata bersamanya.Di dalam mobil, ia tidak menyalakan musik. Jalanan hanya berisi suara mesinnya sendiri dan pikiran yang menabrak satu sama lain. Hanya di Valestra Bridal ia merasa bisa bernapas tanpa rasa curiga. Meskipun ia
Mobil meluncur mulus di jalan kota Kaliandra, tapi jantung Alana memukul-mukul dari dalam, menggedor tulang dadanya setelah membaca pesan itu. Ia menoleh ke kaca spion, berharap menemukan satu yang tampak mencurigakan. Tapi yang dilihatnya hanya mobil biasa, dan bayangannya sendiri yang terpantul di kaca. Tidak ada yang terlihat salah. Tapi perasaannya berkata lain.Ia menarik napas pendek, membuka tas kerjanya dengan gerakan cepat, lalu mengeluarkan tabletnya. Layarnya menyala dengan sedikit jeda. Ia memperhatikan bahwa transisinya tak sehalus biasanya. Peralihannya sedikit tersendat. Ia membuka pengaturan baterai. Angka-angkanya menunjukkan bahwa daya habis lebih cepat dari biasanya. Ponsel dan tablet memang bisa menua, tapi ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak wajar.“Aneh … Sejak kapan seperti ini?”Pikirannya melayang pada malam itu.Ketika Chandra mengajarinya dasar-dasar keamanan digital sambil menyesap kopi sachet favoritnya dari pantry. "Kalau perangkatmu tiba-tiba lemot
Celestine Sky Lounge berada di puncak sebuah Bangunan mixed-use termewah di kota Kaliandra. Meja-meja terpisah oleh sekat kaca dan tanaman, menciptakan ruang privat yang hening.Leo bangkit dari kursinya ketika melihatnya datang. Ia mengenakan jas kasual abu-abu, senyumnya ramah, terlalu ramah. Alana membalasnya dengan senyum tipis yang tampak letih namun tulus.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Leo,” ujar Alana lirih. Ia memilih gaun longgar warna biru keabu-abuan, riasan tipis dengan sengaja memperlihatkan lingkar mata. Luka yang dibalut dengan keanggunan.“Aku justru senang kau menghubungiku,” sahut Leo setelah menarik kursi untuk Alana, sambil duduk kembali, nadanya hangat, manis. “Kau tampak sangat… tenang. Tapi aku tahu tenang itu justru untuk menyembunyikan badai, buka
Pagi itu datang tanpa ampun, memandikan studio dengan cahaya keemasan yang tak diundang. Alana membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa berat, leher kaku karena tidur meringkuk di sofa sempit yang biasa ia pakai hanya untuk rehat sebentar. Sekelilingnya, kertas-kertas sketsa berserakan, beberapa sudah kusut dan penuh coretan marah. Ia tidak pulang semalam.Ia berjalan perlahan ke ruang ganti, menghampiri cermin tinggi yang sering jadi saksi klien menangis haru melihat diri mereka dalam gaun rancangan impian. Tapi yang terlihat kali ini hanyalah dirinya sendiri. Rambut acak-acakan, sisa maskara menghitam di bawah mata, wajah pucat, dan kemeja lusuh yang sudah tak rapi sejak kemarin. Ia menatap pantulan itu dalam-dalam."Enggak," bisiknya pelan, nyaris seperti mantra. "Aku nggak mau jadi korban mereka. Nggak bisa. Nggak boleh." Ia menatap bayangannya seper
Bab 25Mobil meluncur senyap di tengah hiruk-pikuk Kaliandra, tapi kepala Alana terasa penuh suara. Di dalam kabin yang sejuk dan sunyi, ia duduk diam, menatap kosong ke jendela.Setibanya di Valestra Bridal, Alana melangkah cepat melewati resepsionis dan tim desain yang menyapanya pelan, tapi tak satu pun ia balas. Ia membuka pintu studio pribadinya, masuk, dan menguncinya dari dalam. Dunia luar menghilang. Di dalam ruangan inilah ia menciptakan gaun-gaun yang membuat wanita lain merasa seperti ratu. Ironis, karena kini ia sendiri tak lebih dari tawanan.“Chandra… Apa yang terjadi dengan hidupku…?”Ia berdiri lama di depan cermin be