Alana Putri Valestra punya segalanya, kecuali kendali atas hidupnya. Dipaksa menikah demi menyelamatkan bisnis keluarga, ia menolak tunduk dan memilih melarikan diri bersama pria yang ia cintai. Pelarian itu berubah menjadi mimpi buruk saat kekasihnya tewas dalam kecelakaan yang melibatkan pria yang harus jadi suaminya. Brian Ravenshade. Namun setelah menikah, kekasihnya justru kembali dalam bentuk yang tak ia inginkan. Apakah ini hanya halusinasi tingkat tinggi. Atau ... keajaiban yang menuntut pengorbanan?
view more“Sayang, kamu menangis?”
Alana yang berdiri di pojok ruangan langsung berlari ke dekapannya. Chandra dengan cekatan memeluknya, terheran karena bahu Alana berguncang hebat.
“Apa yang terjadi?”
Alana menatapnya sejenak. Wajahnya pucat. Matanya merah. Butuh beberapa detik sebelum Alana bicara.
"Ayah… Memberiku ultimatum semalam," suaranya nyaris seperti bisikan. “Valestra Group diambang kebangkrutan. Aku ga tahu sejak kapan, Tapi tadi Ia berkata ... satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan menjualnya ke Ravenshade.”
Chandra mendengarkan. Napasnya mulai berubah.
Alana melanjutkan. “Tapi mereka bukan cuma mau perusahaan. Mereka mau ... aku.”
“Aku harus menjadi pendamping putra mereka, menikah dengan Brian Ravenshade sebagai bagian dari kesepakatan. Kalau nggak … Ratusan karyawan kehilangan pekerjaan.”
Alana menunduk. “Ayah bilang ini pengorbanan yang harus aku lakukan demi keluarga. Demi perusahaan. Demi semua orang.” Air matanya menetes.
Chandra mengulurkan tangan, menggenggam jemari Alana yang dingin dengan kuat.
“Alana, denger. Nggak ada siapa pun di dunia ini, yang punya hak mutusin hidup kamu,” katanya pelan, tapi pasti. “Aku ga akan ngebiarin mereka merebutmu gitu aja.”
Alana menarik napas panjang. Suaranya lebih tenang saat berkata, “Aku tahu. Kalau mereka bisa bikin keputusan seenaknya ... kita juga bisa.”
Chandra menatapnya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”
Alana mengangguk kecil, lalu berbisik, “Kita pergi. Kita bangun hidup baru jauh dari mereka. Berdua. Kamu mau kan?”
Chandra tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengeratkan genggaman tangannya. Itu cukup.
Mereka tidak tahu ke mana atau bagaimana. Tapi yang pasti, mereka harus meninggalkan semua ini. Cinta mereka bukan bagian dari perjanjian bisnis mana pun.
Mereka tidak perlu menunggu lama, mereka segera menyusun pelarian.
“Kata ayah,” ujar Alana sambil membuka tabletnya, “Jet pribadi Brian Ravenshade dijadwalkan mendarat besok, jam dua siang. Penerbangan langsung dari Tokyo.”
Alana menatap layar tanpa benar-benar membaca isinya.
Chandra memotong. “Oke, kita pergi jam tiga sore. Saat semua perhatian mereka tertuju padanya.”
Ia menoleh, mencari reaksi Alana. “Kita jadikan ini sebagai ... simbol. Balasan atas kesemena-menaan mereka.”
“Kita ketemu dimana?” tanya Alana tegas.
Chandra tidak ragu. “Taman tempat aku nembak kamu.”
Alana mengangguk. Tidak ada pilihan yang lebih tepat. Di sana, kisah mereka bermula. Dan sekarang mereka akan memulai ulang lagi dari sana.
Malam itu Alana tidak tidur. Ia mengulang-ulang rencana di kepalanya, membayangkan setiap langkah, setiap kemungkinan. Tapi tidak sekalipun ia merasa ragu.
Pagi berikutnya, rumah terasa berbeda. Bagi Alana semuanya terasa lebih mencekam.
Ayahnya, Silvano Valestra sudah duduk di ruang makan, Ia sedang membahas detail penyambutan Brian dengan salah satu asisten yang berdiri di sisi meja. Nadanya lugas, formal, dan dingin.
Ibu dan adiknya juga ikut sarapan. Wajahnya tanpa cela, tapi mata mereka memindai Alana dari ujung rambut ke kaki.
“Tim penyambutan sudah siap di bandara,” kata Ayahnya sambil melipat koran. “Jet Brian akan mendarat tepat pukul dua siang sesuai rencana. Dia langsung ke hotel, baru kesini untuk makan malam bersama. Semuanya harus sempurna.”
Alana menahan mualnya dengan mengunyah perlahan. Ia hanya mengangguk pelan dan menelan rasa sesak yang menggumpal di dada.
Dina mengangkat wajah dari ponselnya, lalu menoleh ke arah ayahnya.
“Ayah yakin? Kak Alana kan ... sudah punya kak Chandra,” ucapnya pelan. “Kalau mau gadis Valestra, aku bersedia gantiin kakak … kalau itu bisa nyelamatin perusahaan.”
Keheningan sesaat mengisi ruang makan.
“Ini bukan tentang rela atau nggak,” kata Silvano akhirnya, “Ayah Brian sudah menyebut nama Alana sejak awal. Kita ga berada dalam posisi tawar.”
Ibunya menimpali tanpa menoleh ke siapa pun. “Lagipula ya, siapa sih Chandra? Arsitek lepas tanpa nama, masa depannya ga jelas. Dibandingkan Brian? Jauh banget lah.”
Setiap kata itu terasa menusuk Alana. Tapi juga memperkuat tekadnya.
Setelah selesai, ia berpamitan dengan alasan klien VIP ingin berkonsultasi langsung. Tidak seorang pun mempertanyakan, bahkan ayahnya hanya mengangguk sambil menatap layar ponselnya.
Ransel kecil berisi dokumen, uang tunai, dan beberapa potong pakaian sudah diselipkan ke dalam bagasi sebelumnya, lewat bantuan Riana, asisten pribadinya yang setia dan diam-diam membantu.
Alana melangkah keluar tanpa menoleh. Ia tidak menggunakan mobil pribadi. Taksi online yang ia pesan datang lima menit kemudian. Supirnya ramah, tidak banyak bicara.
Saat kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan gerbang rumah besar yang selama ini mengurungnya, Alana tidak bisa menahan diri untuk menoleh.
Jantungnya berdebar kencang. Ada kecemasan yang tajam, menusuk, menekan.
Tapi di sela-sela itu, muncul rasa yang lain. Rasa yang belum pernah ia kenali sebelumnya. Sensasi ringan... hampir seperti terbang.
Kebebasan.
Tak lama, Sebuah pesan masuk. Alana membuka ponselnya dengan tangan gemetar yang tak ia sadari sejak tadi.
"Aku udah jalan. Bentar lagi kita ketemu ya. Aku nggak sabar."
Ia menatap kata-kata itu beberapa detik lebih lama dari yang perlu. Sebuah penegas bahwa ia tidak sendiri. Bahwa keputusannya bukan keputusasaan, tapi keberanian.
Bangku kayu di bawah pohon rindang itu masih ada, tak berubah. Tempat itu dulu menyaksikan Chandra dengan tangan gemetar menyatakan cinta untuk pertama kalinya, dan Alana menerima dengan air mata bahagia. Kini, tempat yang sama akan menyaksikan permulaan baru mereka.
Ia duduk. Punggungnya tegak, napasnya pendek-pendek. Waktu di ponselnya menunjukkan pukul dua lima puluh lima. Lima menit menuju kebebasan.
Getaran kedua datang. Alana membuka layar.
"Aku udah sampai, tinggal nyebrang ke taman."
Alana langsung berdiri. Matanya menyapu jalanan di depannya. Lalu ia melihatnya.
Di seberang jalan, Chandra melambaikan tangan. Wajahnya teduh, lega. Pandangannya tertuju padanya, utuh. Ia melangkah pelan, bersiap menyeberang saat lampu lalu lintas berubah.
Alana mengangkat tangannya setengah, bibirnya mulai tersenyum.
Tapi tiba-tiba, Suara decitan ban memecah keheningan. Tajam. Mendadak. Memekakkan.
Semua orang menoleh. Sebuah sedan melaju liar tidak terkendali. Mobil itu oleng ke arah kiri, langsung menuju trotoar tempat Alana berdiri.
Tubuh Alana membeku. Ia tidak bisa bergerak. Udara mendadak menghilang dari paru-parunya. Matanya terpaku pada mobil yang semakin mendekat. kepanikan menggulung cepat di dalam tubuhnya.
Dari seberang jalan, Chandra melihat semuanya. Sorot matanya melebar. Tangannya terangkat, dan dari jauh, berteriak.
“ALANA, AWAS!”
Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”
Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah
Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber
“Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”
Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber
Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments