Alana masih duduk di sofa, matanya menatap kosong ke arah secangkir teh yang masih mengepul. Aroma chamomile itu menguar di udara, lembut dan menenangkan. Ia belum beranjak. Pintu ruang kerja Brian tetap tertutup, dan keheningan yang memenuhi ruangan kini terasa seperti pertanyaan yang tak kunjung dijawab.
Ia menatap teh itu dengan pandangan bingung. Ia tidak mengerti. Ia bergumam sendiri mencari rasio yang mungkin bisa menenangkannya.
“Mengapa Brian meminta maaf?” Itu bukan bagian dari skenario yang ia bayangkan.“Seharusnya ia marah. Seharusnya ia datang dengan emosi meledak, menuntut penjelasan, mencaci, atau paling tidak, menatap dengan kemarahan yang jelas.”
Udara malam belum juga menghangat. Alana masih duduk di bangku taman, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Napasnya mulai lebih teratur, tapi detak jantungnya masih menyimpan sisa kepanikan. Di jalan utama, semuanya nyata, semuanya biasa. Tapi pikirannya tidak.“Enggak aku ga bisa pulang sekarang. Aku nggak bisa ketemu dia dulu…”Ia sudah tak bisa berpura-pura bahwa apa yang terjadi barusan adalah kebetulan biasa. Studio itu, lukisan itu, wajah bingung Brian, semua itu terasa seperti serpihan mimpi buruk. Ia butuh jarak, ia butuh waktu, dan yang paling mendesak, ia butuh jawaban untuk pertanyaan yang perlahan tumbuh jadi ketakutan.Dalam keputusasaannya, tangannya merogoh saku jaket. Ia meraih ponsel, membuka layar, lalu be
Mata Alana tak berkedip. Rasanya sulit menarik napas. Ada sesuatu yang mengeras di tenggorokannya saat ia terus menatap lukisan setengah jadi itu. Warna-warna hangat yang dibaurkan dengan sapuan hati-hati. Rerumputan di bagian bawah, pancaran matahari dari sisi kanan atas, dan langit senja yang belum selesai dilapisi warna. Tapi ia sudah tahu, bahkan sebelum lukisan itu rampung. Ia tahu kemana arahnya.Tangan Alana masih menggenggam kuas, tapi tak lagi punya fungsi. Yang ia lihat di depan matanya adalah pemandangandi tepi danau yang terlihat dari dalam rencana rumah impian mereka. Bukan milik siapa pun selain mereka berdua.Pemandangan di belakang rumah. Tempat seharusnya mereka ngobrol bersama sambil memandang ke tempat itu. Tempat cahaya jatuh dengan tenang di pinggir kolam, pohon ketapang kecil yang miring ke kanan, dan dua kursi kayu yang menghadap ke
Alana membuka pintu apartemen dengan langkah ringan. Matanya menatap sekeliling ruang tamu yang kosong dengan ekspektasi terpendam. Tak ada tas kerja di atas meja, belum ada jas tergantung di sandaran kursi. Ia menarik napas, berjalan perlahan ke dapur dan menuangkan segelas air, sambil menghitung detik-detik dalam kepalanya. Brian akan pulang kapan saja. Dan ia sudah siap untuk segala bentuk konfrontasi.“Percakapanku tadi siang bersama Leo, pasti sudah sampai di telinganya…”Tapi yang datang bukanlah marah. Yang datang adalah keheningan.Brian masuk ke penthouse tanpa tergesa. Menggantung jasnya, mencuci tangan, lalu menatap Alana yang berdiri diam di sisi dapur dengan senyum manis yang disiapkan secara strategis. Ia membalas senyum itu dengan tenang.“Hai, aku pulang,” katanya seperti biasa.“Hai,” jawab Alana. Ia menunggu. Menunggu kalimat berikutnya yang menyelipkan kata ‘Leo’ atau ‘makan siang’. Tapi yang datang hanyalah bunyi sendok dan piring kecil saat Brian mengambil makanan
Alana mematung. Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam pertahanannya yang paling dalam. Ia mengharapkan perang dingin, sindiran, manipulasi, strategi. Tapi permintaan itu… memindahkannya ke medan yang tak dikenal. Ia tahu jika ia menolak, ia akan kehilangan dominasi yang sudah ia bangun. Tapi jika ia menerima… ia sendiri tak yakin apa yang akan ia lakukan.Brian tidak memaksakan. Ia hanya menatapnya. Lalu perlahan, ia mendekat. Tangannya terulur, meraih jemari Alana dengan hati-hati, seakan sedang menyentuh sesuatu yang sangat rapuh.“Brian…” bisik Alana, nyaris tak bersuara. Ia menutup mata. Genggamannya mengencang. Napasnya mulai dangkal, dada terasa sempit oleh ketegangan yang tak ia mengerti. Ia menunggu sesuatu terjadi. Tapi detik demi detik berlalu dalam keheningan dan kegelapan matanya. Tak ada sentuhan di bibir. Tak ada hasrat yang diledakkan.
Perjalanan pulang dibungkus keheningan yang berat. Alana duduk dengan posisi tubuh sedikit menyamping, gaun malamnya masih sempurna, namun ada kelelahan di wajahnya. Ia melirik ke sisi lain. Brian duduk dengan bahu merosot sedikit, tatapannya menembus keluar jendela. Tak ada kata, tak ada napas berat. Hanya diam.Sesampainya di penthouse, mereka masuk tanpa sapaan. Tak satu pun dari mereka berbicara. Brian berjalan lurus ke ruang kerja, sedangkan Alana melangkah ke kamar tidur.Gaun malam itu akhirnya ia lepas, dan ia duduk di depan meja rias, mulai menghapus riasan yang menempel selama berjam-jam. Kemenangan malam ini telah memberinya sorotan, reputasi, dan simpati publik. Tapi saat make-up itu luntur, ia merasa bagian dari dirinya yang paling terdalam justru ikut menghilan
Cahaya kristal dari chandelier raksasa memantulkan gemerlap gaun malam dan kilau berlian. Ruangan ballroom itu telah diubah menjadi panggung megah untuk malam amal paling bergengsi tahun ini. Musik lembut dari kuartet senar mengalun dari sudut ruangan, nyaris tertelan oleh riuh percakapan para tamu yang tertawa dan bersulang, mengenakan jas terbaik dan gaun rancangan eksklusif.Di tengah semua itu, Alana bergerak luwes seperti pusat gravitasi pesta. Gaun merah anggunnya membelah kerumunan, dan senyumnya yang menawan, menjadi magnet bagi kamera. Ia menyalami para tamu penting, mencium pipi sosialita terkenal, menanggapi pertanyaan wartawan dengan sikap dermawan yang telah ia latih dalam cermin berkali-kali. Malam itu adalah panggungnya. Dan ia memainkannya dengan sempurna."Alana, ini luar biasa," kata seorang pengurus dari yayasan Anak Matahari, menatap s