Langkah Alana mantap saat ia tiba di depan apartemen Dina. Pintu terbuka setelah tiga kali bel berbunyi. Dina berdiri di sana, alis terangkat sedikit, mulut membentuk senyum setengah bingung, setengah menyambut.“Kak Alana? Tumben ke sini?” tanyanya, manis. “Masuklah. Ada apa nih?”Alana tidak membuang waktu. Ia menatap adiknya lurus, tak duduk di sofa, tak melepas tas.“Kamu ngomong apa ke Ibu?”Dina memiringkan kepala, gerak tubuhnya terlihat polos.“Lho, maksudnya?” Ia tersenyum kecil, seperti sedang bicara pada anak kecil yang menuduh tanpa alasan. “Aku cuma cerita kalau kamu nggak pulang. Aku khawatir, kak. Gimana kalau sesuatu terjadi sama kakak? Aku kan
Pagi datang tanpa salam hangat. Hanya suara alat makan beradu pelan di meja makan panjang yang terlalu mewah untuk dua orang yang nyaris tak bicara. Sarapan pagi itu terasa canggung, bahkan bagi standar mereka. Alana duduk tegak, tangan kanan mengaduk kopi yang sudah dingin, sementara matanya tanpa malu mengamati Brian.Namun sorot matanya bukan lagi sorot curiga. Kali ini ada rasa ingin tahu yang lebih diam, lebih dalam. Ia mengamati cara Brian memotong roti, cara ia duduk sedikit condong ke depan, dan jeda kecil saat ia menarik napas sebelum menjawab pertanyaan basa-basi yang tidak pernah benar-benar dilontarkan. Setiap gerakannya kini tampak seperti potongan dari teka-teki yang perlahan ingin ia selesaikan.Brian bisa merasakannya. Ada sesuatu yang bergeser. Ia tidak tahu apa, tapi perubahan itu jelas. Ia makan dengan pelan, tetap menjaga bahasa tubuh yang netral, namun kewaspadaan kecil tampak di matanya. Mereka berdua tahu, keheningan ini bukan perdamaian. Ini gencatan senjata ya
Alana masih berlutut di lantai ruang penyimpanan yang dingin dan berdebu. Lututnya mulai terasa ngilu, tapi ia tidak bergerak. Cahaya senter ponselnya menyorot ke permukaan kanvas-kanvas yang kini tak bersuara. Tapi justru dalam keheningan itu, ia mendengar sesuatu yang lebih nyaring dari teriakan, gema dari semua yang pernah disimpan, lalu ditinggalkan.Bukan lagi rasa bersalah sebagai penyusup. Yang kini menjalari dirinya adalah sesuatu yang lebih hening, lebih menusuk. Ia merasa seperti seseorang yang tanpa sengaja menemukan catatan harian yang seharusnya tak pernah dibuka. Catatan yang ditulis dengan hati, dengan air mata, dengan niat untuk tak pernah dibaca siapa pun. Tapi kini ia tahu. Ia sudah membaca lembar paling rahasia dari pria itu.Dengan gerakan lambat, Alana berdiri. Ia memungut kain yang tadi disingkap, lalu mengibaskannya pelan agar tidak menja
Alana membaca komentar itu berulang kali, seolah mencoba memastikan bahwa ia tidak salah baca. “Tiba-tiba menghilang. Pindah jurusan. Tidak pernah menyentuh kuas lagi.”Kata-kata itu membentuk bayangan baru dalam benaknya, perlahan-lahan menyusun ulang narasi yang selama ini ia yakini. Mungkin Brian yang ia kenal selama ini bukanlah Brian yang asli. Mungkin selama ini ia hanya berhadapan dengan versi yang “dibentuk,” yang “diarahkan,” bukan yang tumbuh dengan bebas.
Alana duduk diam di kursi putar studionya, tubuhnya menghadap laptop yang baru saja dinyalakan. Ia bersandar sejenak, menatap layar kosong yang menunggu diisi. Sebuah kesadaran pelan tapi tajam menyusup ke dalam pikirannya.“Aku tidak tahu apa-apa tentang Brian Ravenshade.” Pria yang kini memakai cincin yang sama dengannya. “Yang aku tahu hanyalah versi publik dari Brian, pengusaha muda dengan aura dingin, efisien, punya reputasi baik, dan... jauh. Selebihnya, aku hanya mengandalkan cerita-cerita dari keluarga Brian, potongan kesaksian yang mungkin sudah bias.”Untuk bisa mengerti lukisan itu, ia harus mengerti orang yang melukisn
Alana tidak langsung pulang ke penthouse. Ia masih belum siap bertemu Brian. Penthouse itu terlalu dekat dengan apa yang tak bisa dijelaskan, terlalu padat dengan hal-hal yang belum bisa ia hadapi. Maka ia kembali ke kamar hotel, satu-satunya tempat yang terasa cukup netral, cukup sunyi untuk memikirkan semuanya dengan jernih.Ia meletakkan tabung besar itu di lantai, tepat di tengah-tengah ruangan, di mana cahaya siang menembus jendela dan jatuh tanpa suara. Jantungnya berdegup pelan tapi mantap saat ia membuka tutupnya, menarik pelan isi di dalamnya. Ujung kertas kalkir itu menggulung perlahan saat ia membentangkannya, dan dunia yang mereka impikan bersama perlahan terbuka di hadapannya.Setiap garis terasa hidup. Denah ruang yang presisi, sudut-sudut yang familiar. Ia melihat tulisan tangan Chandra yang halus, sedikit miring ke kiri, dengan catatan kecil di