Alana tidak langsung pulang ke penthouse. Ia masih belum siap bertemu Brian. Penthouse itu terlalu dekat dengan apa yang tak bisa dijelaskan, terlalu padat dengan hal-hal yang belum bisa ia hadapi. Maka ia kembali ke kamar hotel, satu-satunya tempat yang terasa cukup netral, cukup sunyi untuk memikirkan semuanya dengan jernih.
Ia meletakkan tabung besar itu di lantai, tepat di tengah-tengah ruangan, di mana cahaya siang menembus jendela dan jatuh tanpa suara. Jantungnya berdegup pelan tapi mantap saat ia membuka tutupnya, menarik pelan isi di dalamnya. Ujung kertas kalkir itu menggulung perlahan saat ia membentangkannya, dan dunia yang mereka impikan bersama perlahan terbuka di hadapannya.
Setiap garis terasa hidup. Denah ruang yang presisi, sudut-sudut yang familiar. Ia melihat tulisan tangan Chandra yang halus, sedikit miring ke kiri, dengan catatan kecil di
Riana telah pergi, meninggalkan studio dalam keadaan setengah gelap. Gaun-gaun setengah jadi bergantung di manekin seperti saksi bisu yang tidak bisa menenangkan apa pun. Alana duduk di kursi kerjanya, punggungnya melengkung ke depan, jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Ruangan itu terasa lebih dingin sekarang, seakan perpisahan barusan menyisakan celah yang belum bisa ditutup.Ia memutar ulang tiap detik yang baru saja terjadi. Nada suaranya sendiri yang penuh tuduhan. Wajah Riana yang berubah drastis dari terkejut menjadi hancur. Dan pelukannya yang datang terlambat, mencoba menambal sesuatu yang sudah sobek terlalu dalam. Ini bukan hanya kesalahan komunikasi. Ini adalah luka. Dan ia yang menyayatnya. Riana adalah orang terakhir yang ia pikir akan menangis karena dia, dan mungkin justru itu yang membuat rasa bersalah ini begitu menggigit.Alana
Kata-kata itu menghantam Alana tanpa peringatan. Dinginnya menembus kulit, menyusup ke dalam sistem sarafnya. Ruangan terasa mengerut. Napasnya tertahan sesaat, nyaris tak terdengar. Ia tahu betul, ini bukan sekadar pertanyaan ringan dari seorang klien, ini adalah ujian tersembunyi di balik senyum elegan.Seseorang telah menyebarkan racun terlebih dulu. Ia belum sempat membela dirinya, tapi versi lemah dan rapuh dari dirinya sudah lebih dulu diperbincangkan di ruang-ruang privat para sosialita.Ekspresinya terkontrol, tapi pikirannya berputar liar.“Siapa? Siapa yang bisa tahu cukup tentang kehidupan pribadi dan kondisi mentalku?”Hanya ada lingkaran kecil. Sangat kecil. Dan dari tempat duduknya, ia bisa merasakan satu nama mencuat perlahan di
Valestra Bridal siang itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Riana duduk di balik meja desainnya, jari-jarinya diam di atas tablet digital, seolah terjebak di antara satu garis sketsa dan sketsa berikutnya. Bayangan ancaman yang dilempar pria itu tempo hari terus muncul, mencuri fokusnya, menyesakkan dadanya. Dina memang berkata akan melindunginya, tapi rasa bersalah dan Ketakutan terus tumbuh dalam diam.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dina muncul di layar."Riana, kapan kamu senggang? Aku sangat khawatir dengan kak Alana. Dia tampak begitu tertekan, dia bahkan sempat tak pulang ke penthouse-nya. Bisakah kita bicara sebentar? Aku butuh saran darimu."Riana menatap pesan itu lama. Terdapat tekanan dalam kata-kata yang tampak manis itu, seperti undangan yang tak bisa ditolak. Ia mengetik balasan singkat dan menyetujui pertemuan.Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat gedung butik, tempat yang cukup sepi untuk menyamarkan isi percakapan. Dina datang dengan tampilan sempurna sep
Langkah Alana mantap saat ia tiba di depan apartemen Dina. Pintu terbuka setelah tiga kali bel berbunyi. Dina berdiri di sana, alis terangkat sedikit, mulut membentuk senyum setengah bingung, setengah menyambut.“Kak Alana? Tumben ke sini?” tanyanya, manis. “Masuklah. Ada apa nih?”Alana tidak membuang waktu. Ia menatap adiknya lurus, tak duduk di sofa, tak melepas tas.“Kamu ngomong apa ke Ibu?”Dina memiringkan kepala, gerak tubuhnya terlihat polos.“Lho, maksudnya?” Ia tersenyum kecil, seperti sedang bicara pada anak kecil yang menuduh tanpa alasan. “Aku cuma cerita kalau kamu nggak pulang. Aku khawatir, kak. Gimana kalau sesuatu terjadi sama kakak? Aku kan
Pagi datang tanpa salam hangat. Hanya suara alat makan beradu pelan di meja makan panjang yang terlalu mewah untuk dua orang yang nyaris tak bicara. Sarapan pagi itu terasa canggung, bahkan bagi standar mereka. Alana duduk tegak, tangan kanan mengaduk kopi yang sudah dingin, sementara matanya tanpa malu mengamati Brian.Namun sorot matanya bukan lagi sorot curiga. Kali ini ada rasa ingin tahu yang lebih diam, lebih dalam. Ia mengamati cara Brian memotong roti, cara ia duduk sedikit condong ke depan, dan jeda kecil saat ia menarik napas sebelum menjawab pertanyaan basa-basi yang tidak pernah benar-benar dilontarkan. Setiap gerakannya kini tampak seperti potongan dari teka-teki yang perlahan ingin ia selesaikan.Brian bisa merasakannya. Ada sesuatu yang bergeser. Ia tidak tahu apa, tapi perubahan itu jelas. Ia makan dengan pelan, tetap menjaga bahasa tubuh yang netral, namun kewaspadaan kecil tampak di matanya. Mereka berdua tahu, keheningan ini bukan perdamaian. Ini gencatan senjata ya
Alana masih berlutut di lantai ruang penyimpanan yang dingin dan berdebu. Lututnya mulai terasa ngilu, tapi ia tidak bergerak. Cahaya senter ponselnya menyorot ke permukaan kanvas-kanvas yang kini tak bersuara. Tapi justru dalam keheningan itu, ia mendengar sesuatu yang lebih nyaring dari teriakan, gema dari semua yang pernah disimpan, lalu ditinggalkan.Bukan lagi rasa bersalah sebagai penyusup. Yang kini menjalari dirinya adalah sesuatu yang lebih hening, lebih menusuk. Ia merasa seperti seseorang yang tanpa sengaja menemukan catatan harian yang seharusnya tak pernah dibuka. Catatan yang ditulis dengan hati, dengan air mata, dengan niat untuk tak pernah dibaca siapa pun. Tapi kini ia tahu. Ia sudah membaca lembar paling rahasia dari pria itu.Dengan gerakan lambat, Alana berdiri. Ia memungut kain yang tadi disingkap, lalu mengibaskannya pelan agar tidak menja