Ya, seperti yang aku ceritakan di awal, selanjutnya aku tiba-tiba terbangun dipelukan Mas Bimo, suami tampan dari istri tetanggaku itu. Aku terkejut dan langsung turun dari ranjang. Apa yang kulakukan dengannya? Kuitari pandanganku ke seisi kamar. Ini bukan kamarku. Tak sengaja kulihat wajahku di cermin yang ada di pojok kamar. Betapa kagetnya melihat wajahku berubah menjadi istri dari pria yang masih ngorok di ranjang itu.
"Tidak," pikirku.
Apakah jiwaku tertukar? Jika benar, di mana tubuhku sekarang? Apakah jiwa asli yang ada dalam tubuh ini telah bersemayam di tubuh asliku? Kenapa ini bisa terjadi?
Aku pun langsung keluar dari kamar itu. Aku pun begegas menuju rumahku. Pintu rumah terkunci. Aku menggendor-gedor pintu rumahku sendiri berharap tubuhku ada di dalam sana.
"Ada orang di dalam?!" teriakku.
Tak lama kemudian Mas Bimo datang, masih menggunakan celana kolor dan bertelanjang dada.
"Kamu ngapain ngedor rumah orang sih, Lastri?" tanya Mas Bimo.
Aku baru tahu, perempuan yang memiliki tubuh ini bernama Lastri. Akhirnya aku berusaha sebisa mungkin bersikap seperti Lastri padanya
"Tahu yang punya rumah kemana, Mas?" tanyaku khawatir.
Bagaimana pun, yang punya rumah itu adalah tubuh asliku.
"Dia di rumah sakit, kemarin ada perampok yang ngerampok rumahnya," jawab Mas Bimo.
Aku semakin khawatir, "Perampok?"
"Iya. Tapi nggak tahu gimana detailnya. Aku cuma membantunya membawa ke rumah sakit saja. Saat aku pulang kantor, kamu malah nggak ada di rumah. Aku juga baru sadar pas bangun, kamu sudah di rumah," ucap Mas Bimo menjelaskan.
Kemana tubuh ini semalam? Apakah dia juga terlibat membuat aku koma? Tapi kalau terlibat, kenapa aku bisa merasuki tubuhnya? Ini benar-benar tidak masuk akal.
"Anter aku ke sana, Mas." pintaku.
Aku ingin tahu kondisinya bagaimana sekarang.
"Masih pagi, nanti sorean aja kalo mau jenguk. Udah masuk yuk, nggak enak sama yang lewat."
Tanganku di tarik Mas Bimo ke dalam rumah. Aku pun terpaksa mengikutinya biar dia tidak curiga kalau aku bertukar jiwa dengan istrinya. Di dalam rumah aku bingung. Apa yang harus aku lakukan?
"Mas!" ucapku memanggil Mas Bimo.
Mas Bimo yang hendak ke dapur, langkahnya terhenti lalu menoleh padaku, "Kenapa?" tanya Mas Bimo sambil menggaruk isi celana di kolornya.
Aku risih melihat itu, tapi mungkin dia sudah biasa cuek melakukan apapun yang diinginkan pada tubuh istrinya ini, tapi saat melihat dadanya yang bidang itu, aku tak berdaya. Dia benar-benar merusak kekalutanku.
"Indah baik-baik aja, kan?" tanyaku mengucap namaku sendiri pada Mas Bimo.
Bagaimana pun, jiwaku yang terjebak di tubuh istrinya ini harus aku rahasiakan dulu. Mas Bimo heran, dia tersenyum.
"Tumben kamu khawatir sama dia? Biasanya jelekin dia mulu semenjak dia pindah ke sini?" tanya Mas Bimo heran.
Hah? Rupanya Lastri istri Mas Bimo ini sering menjelek-jelekkan aku. Apa salah aku? Kenal juga tidak. Aku pun berhenti memikirkan itu agar Mas Bimo tidak curiga.
"Jawab dulu pertanyaanku," desakku.
Mas Bimo mendekat ke tubuh yang jiwaku ada di dalamnya ini. Dia membelai rambutku dengan lembut. Astaga. Aku tak berdaya akan apa yang dilakukannya. Aku pun pasrah. Bukan karena mau menikmatinya, tapi aku tak mau Mas Bimo curiga kalau aku merasuki tubuh istrinya.
"Dio koma. Tapi aku seneng kamu berubah baik pada tetangga," ucap Mas Bimo.
Tiba-tiba aku sadar, membiarkan dia menyentuh tubuh ini sama saja dia menyentuh tubuhku. Seketika kudorong tubuh Mas Bimo. Karena bagaimana pun di tubuh ini ada aku. Aku tak ingin merasakan semua sentuhannya. Bagaimana pun dia adalah suami orang lain. Meskipun tubuh ini adalah tubuh istrinya, tapi apa yang dilakukan tubuh ini aku akan merasakannya, aku tidak mau itu. Mas Bimo tampak bete tapi dia mengalah.
"Yaudah kalo masih nggak mau disentuh," ucap Mas Bimo dengan kecewanya.
Aku pun semakin lemas mendengar aku sedang koma. Lalu apa yang terjadi, kenapa aku bisa koma? Kenapa aku tidak ingat kejadian itu?
"Siapa yang membawanya ke rumah sakit, Mas?" tanyaku penasaran.
"Kemarin pas aku mau membawa Mbak Indah ke rumah sakit, ada cowok datang ke sini, katanya keluarnganya Mbak Indah, akhirnya aku sama dia nganter Mbak Indah ke rumah sakit."
"Cowok? Kayak gimana cowoknya, Mas?"
"Tubuhnya agak kurus, dia punya tahi lalat di dagu."
Aku semakin terkejut. Dia adalah Mas Raka, mantan suamiku. Kenapa dia datang ke rumahku? Apakah sekarang si Raka yang menjagaku di rumah sakit?
"Kamu kenapa nanya detail gitu sih?" tanya Mas Bimo heran.
Aku kaget, aku tidak boleh membuat Mas Bimo curiga.
"Nggak apa-apa, perempuan itu kan gitu, kalo ada informasi nggak mau setengah-setengah, Mas." ucapku ngeles.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Waktu itu aku tak sengaja melihat istri Mas Bimo sedang selingkuh dengan lelaki Brondong itu. Mereka mendapatiku melihat mereka, lalu masuk ke rumahku dengan mengancam. Lalu kepalaku dibentur Lastri ke tembok, kemudian aku pingsan. Dan Lastri pingsan karena kakinya aku tendang. Astaga. Selanjutnya apa yang terjadi? Apa lelaki berondong itu yang membuatku koma karena aku mencelakai Lastri?
"Nanti aku anter kamu ke rumah sakit buat jenguk dia. Kalian sudah akrab ya? Kok aku nggak tau," tanya Mas Bimo heran.
"Pokoknya nanti anterin aku besuk ya, Mas." pintaku.
Mas Bimo mengangguk. Aku berjalan ke arah kamar, bagaimana pun aku harus menjadi seseorang dalam tubuh ini. Jika tidak, pasti akan jadi masalah besar. Saat aku melewati Mas Bimo hendak berjalan ke kamar, dia menarik tanganku. Aku kaget.
"Lastri..." panggilnya lembut dengan pandangan mata penuh nafsu.
Aku lemas. Kubiarkan dia memegang tanganku.
"Kenapa, Mas?" tanyaku.
"Udah enam bulan, kamu masih belum mau ngasih jatah ke aku. Aku janji bakal ikutin kemauan kamu untuk pindah ke Sukabumi, tapi pleas... suamimu ini lagi butuh kamu." Ucap Mas Bimo dengan penuh harap.
"Butuh apa?" tanyaku sok polos.
"Belaian, sayang," jawab Mas Bimo genit.
"Nggak!" ucapku tegas.
Sebenarnya aku tidak ingin berucap itu. Aku ingin berkata ; iya atau terserah. Sejak kejadian dia membantu mengganti ban mobilku, aku sudah jatuh hati padanya, seperti yang sudah aku ceritakan. Tapi waktu itu aku pikir dia belum menikah. Akan tetapi saat aku tahu dia sudah punya istri yang jiwaku ada dalam tubuhnya ini, aku tidak mau menjadi selingkuhannya karena perselingkuhan lah yang membuat aku meminta cerai pada mantan suamiku dulu.
"Lastri! Melayani suami itu kewajiban istri!" tegas Mas Bimo sekali lagi.
Matanya masih penuh nafsu melihatku. Entah kenapa wajahnya semakin manis. Apalagi saat ini aku bisa melihat jelas bagaimana tubuhnya yang bertelanjang dada itu. Dia tampak begitu menggairahkan di mataku.
Akhirnya aku diam, tak berapa lama Mas Bimo menarik tubuhku ke dadanya hingga dapat kucium wangi tubuhnya. Jantungku berdegub kencang. Kemudian Mas Bimo menciumku dengan beringas. Aku diam saja. Lama-lama aku membalas ciumannya. Kami berdua seperti orang kelaparan yang baru mendapatkan makan.
"Tidak, apa yang aku lakukan?" pikirku.
Tapi aku tak berdaya mencegahnya. Setan sudah menguasai jiwaku yang lemah. Aku juga tak tahu kenapa aku pasrah saja? Apa karena aku sudah lama tidak melakukan hubungan intim juga semenjak bercerai? Hingga saat dipancing begini aku kalah?
Tak lama kemudian Mas Bimo menggotong tubuhku dan membawaku ke kamar seperti Singa yang kelaparan yang tak sabar untuk memangsaku. Dan aku pun masih pasrah, membiarkan dia melakukan apapun semaunya.
Mas Bimo menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Kemudian dia kembali menciumku dengan beringas. Mas Bimo menarik kolornya ke ujung kakinya sambil menciumku hingga dia telanjang bulat. Saat Mas Bimo hendak meloroti pakaianku, aku langsung mendorong tubuh Mas Bimo. "Jangan, Mas?" pintaku dengan degup nafsu yang masih membuncah. Mas Bimo yang sedang duduk di hadapanku, di atas kasur, yang sudah telanjang bulat itu, hingga terlihat jelas sesuatu yang tak pantas aku lihat di tubuhnya. "Kenapa? Aku ini suamimu," ucap Mas Bimo seperti memohon. Bagaimana pun tubuh ini memang tubuh istri Mas Bimo. Sementara jiwanya adalah jiwaku. aku tidak boleh semena-mena terhadap tubuh ini. Meski tubuh ini adalah istri sahnya Mas Bimo, tapi jiwa aslinya sudah tidak ada. Apalagi aku tidak tahu bagaimana kondisi tubuh asliku saat ini. "Jangan sekarang!" pintaku sekali lagi pada Mas Bimo. Aku pun langsung beranjak dari sana dan keluar kamar menuju toilet untuk menj
"Kenapa, Lastri?!" teriak Mas Bimo sambil menggedor pintu kamar. Suara ketukan dalam lemari semakin kencang. Aku pun langsung membuka pintu kamar. Mas Bimo masuk dengan heran. "Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo khawatir. "Ada suara aneh dalam lemari, Mas." jawabku dengan cemas. Mas Bimo heran lalu berjalan menuju lemari dan langsung membukanya. "Suara apa? Nggak ada apa-apa kok selain pakaian kita." ucap Mas Bimo dengan heran. Aku pun memeriksa isi lemari, memang tak ada apa-apa. Aku semakin heran. Apakah itu suara arwah Lastri yang kini mengawang? Ah, mungkin ini pikiranku saja yang terlalu banyak menonton film-film fantasy. "Kok, nggak ada? Tadi beneran ada suara loh, Mas." ucapku heran. Mas Bimo menghela napas. "Yaudah tidur saja. Kamu lagi kecapean aja itu," pinta Mas Bimo padaku. "Iya, Mas." jawabku. Mas Bimo pun berjalan keluar kamar. Aku yang masih ketakutan akhirnya memanggilnya. "Mas.
Ilyas masih memegangi kepalaku dan memaksa aku untuk melakukan hal yang terlaknak itu. "Buruan, sayang!" pinta Ilyas padaku,"udah nggak tahan, nih." Aku masih mengunci mulutku dan memejamkan mataku. Aku tak mau melakukan itu. Tak lama kemudian terdengar suara motor. Ilyas melepas tangannya dari kepalaku lalu berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Aku berdiri dengan heran, siapa yang datang itu? Ilyas buru-buru menarik celana jeansnya ke atas dan mengunci gespernya dengan panik. "Suami kamu pulang! Aku harus pergi dari sini," ucap Ilyas dengan panik. Aku lega. Sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi ternyata ada penyelamatnya. Ilyas pun buru-buru berjalan ke arah belakang. Mungkin dia akan keluar melalui pintu belakang. Terdengar suara ketukan pintu. "Lastri!" Itu suara Mas Bimo. Aku pun pergi ke belakang, memastikan Ilyas tidak ada lagi di sana. Ternyata Ilyas sudah pergi. Dia keluar dari pintu belakang. Aku p
Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana. "Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana. "Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran. "Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel. Isabel tampak shock. "Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung. Isabel tampak berpikir. "Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih." Aku menghela napas. "Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek. Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi. "Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi. Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langs
Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel. "Halo!" sapa Isabel di seberang sana. "Isabel...," lirihku. "Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon. "Iya ini aku." "Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?" "Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku. "Syukurlah kalo kamu u
"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo. Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku. Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas. Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin. Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri? Mas Bimo tampak heran melihatku. "Kamu kenapa sayang?" "Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu. "Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran. Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
"Emang kalungnya kenapa?" tanya Lastri tampak bingung. Aku melihat ke Lastri. "Itu kalung untuk menyelamatkan kita. Kalung itu bisa ngembaliin jiwa kita ke tubuh kita masing-masing," jelasku pada Lastri. Lastri tampak senang mendengarnya. "Yah, kemana dong kalungnya? Aku beneran nggak tau?" jawab Lastri yang mendadak ikut-ikutan panik. Aku pun terduduk lesu. "Kita cari sampe ketemu. Siapa tau masih ada di sini," pinta Isabel pada kami. Kami pun mencari-cari kalung itu di semua ruangan di dalam rumahku. Lastri pun ikut sibuk mencarinya. Aku tak mau terjebak dalam tubuh ini selamanya. Dan aku tak mau tubuhku dimiliki oleh Lastri selamanya. Kami duduk bertiga dengan bingung di ruang tengah rumahku itu. Kami sudah mencari kalung itu kemana-mana, tapi kami tidak menemukannya. "Gimana, nih?" tanya Lastri dengan panik. "Aku nggak tau," jawabku bingung. Isabel tampak berpikir. "Coba aku tan