Share

Bab 3 : Sebuah Misteri yang Masih dicari Jawabannya

Mas Bimo menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Kemudian dia kembali menciumku dengan beringas. Mas Bimo menarik kolornya ke ujung kakinya sambil menciumku hingga dia telanjang bulat. Saat Mas Bimo hendak meloroti pakaianku, aku langsung mendorong tubuh Mas Bimo.

"Jangan, Mas?" pintaku dengan degup nafsu yang masih membuncah.

Mas Bimo yang sedang duduk di hadapanku, di atas kasur, yang sudah telanjang bulat itu, hingga terlihat jelas sesuatu yang tak pantas aku lihat di tubuhnya.

"Kenapa? Aku ini suamimu," ucap Mas Bimo seperti memohon.

Bagaimana pun tubuh ini memang tubuh istri Mas Bimo. Sementara jiwanya adalah jiwaku. aku tidak boleh semena-mena terhadap tubuh ini. Meski tubuh ini adalah istri sahnya Mas Bimo, tapi jiwa aslinya sudah tidak ada. Apalagi aku tidak tahu bagaimana kondisi tubuh asliku saat ini.

"Jangan sekarang!" pintaku sekali lagi pada Mas Bimo.

Aku pun langsung beranjak dari sana dan keluar kamar menuju toilet untuk menjernihkan pikiranku dari hawa nafsu yang menguasaiku.

Di dalam toilet aku duduk di atas closed yang tertutup dengan merasa bersalah. Apa yang sudah aku lakukan? Pintu toilet itu digedor-gedor.

"Lastri!" panggil Mas Bimo di luar sana.

Aku menoleh ke arah pintu.

"Jangan, Mas. Jangan sekarang, aku mohon!" pintaku padanya.

"Yaudah buruan, aku mau ke kamar mandi." ucapnya yang terdengar agak kecewa.

Tak lama kemudian, aku membuka pintu toilet. Kulihat Mas Bimo sedang berdiri telanjang bulat di hadapan toilet. Aku buru-buru pergi dari sana meninggalkannya. Kulirik Mas Bimo sebentar, dia langsung masuk ke toilet. Aku pun keluar rumah dan duduk dengan bingung di teras rumah.

Kenapa semua bisa seperti ini? Kenapa jiwaku bisa berada dalam tubuh ini. Seketika aku teringat saat aku hendak membeli rumah di komplek itu.

Aku mendapatkan rumah itu gara-gara diberitahu Isabel teman kerjaku. Saat pertama kali aku memasuki rumah itu bersama Isabel dan pemilik rumah yang lama bernama Pak Mahmud, aku menemukan ada yang menggantung di ruang tengah. Tepat di dekat bolham lampu ruang tengah. Benda itu mirip tengkorak kepala elang dan ada juga bulu sayap elang berjumlah tujuh yang ikat bersamaan dengan tali hitam.

"Itu benda apa, Pak?" tanyaku pada Pak Mahmud kala itu.

"Itu hadiah dari sodara saya," jawab Pak Mahmud.

"Buat apa digantung di sana?" tanya saya penasaran.

"Katanya sih biar nggak ada orang jahat yang berani masuk ke dalam rumah," jawab Pak Mahmud.

Isabel juga tampak ikut penasaran.

"Maksudnya, Pak?" tanya Isabel pada Pak Mahmud.

"Ya katanya, kalo ada orang yang punya niat jahat, dia bakal langsung berubah jadi baik." Pak Mahmud menambahkan.

Aku dan Isabel saling lihat waktu itu. Kami antara percaya dan tidak percaya dengan hal begitu. Dan saat rumah itu sudah aku beli, Pak Mahmud meninggalkan benda itu, katanya mau dibuang juga tidak apa-apa. Aku malah membiarkannya tergantung di ruang tengah. Apa karena benda itu jiwaku bisa merasuk ke tubuh istri Mas Bimo ini?

Lamunanku terhenti, saat Mas Bimo datang, dia sudah selesai mandi dan sudah memakai kaos oblong dan celana kolor yang baru. Mas Bimo tampak heran melihatku.

"Aku minta maaf," ucap Mas Bimo padaku.

Aku diam saja.

"Aku janji nggak bakal maksa lagi kalo emang kamu belum mau...," ucap Mas Bimo seperti memelas.

Aku masih diam. Mas Bimo duduk di sebelahku.

"Maafin aku ya?" ucapnya tulus.

Aku tiba-tiba mengangguk. Seolah aku ini benar-benar istrinya. Mas Bimo tersenyum.

"Suamimu ini laper. Kamu nggak mau masakin?" ucap Mas Bimo manja.

"Yaudah, aku masakin, tapi habis makan nanti anter aku jenguk Mbak Indah ya, Mas?" pintaku.

Mas Bimo mengangguk. Aku pun masuk ke dalam dan memasak untuk Mas Bimo. Setelah selesai masak kami makan bersama dengan diam. Mas Bimo terus saja memperhatikan tingkahku. Semoga saja dia belum curiga padaku yang merasuki tubuh istrinya ini.

***

Aku dan Mas Bimo akhirnya berangkat menuju rumah sakit dengan motor Mas Bimo. Aku duduk di boncengan dengan gelisah dan masih menyimpan penasaran kenapa semuanya bisa terjadi seperti ini. Sekitar tiga puluh menit kami sampai di rumah sakit, masih di daerah sentul Bogor. Mas Bimo mengajak aku ke ruangan tubuh asliku yang sedang dirawat. Saat kami tiba di depan pintu kamar rawat inap tempat tubuhku dirawat, kulihat ada Mas Raka sedang duduk dengan sedih. Aku diam saja, pura-pura tidak kenal. Jika aku menyapa duluan, Mas Bimo pasti curiga denganku yang merasuki tubuh istrinya ini.

"Mas!" panggil Mas Bimo pada Mas Raka dengan terkejut.

"Iya. Eh, yang kemaren bantuin Indah ya?" tanya Mas Raka memastikan.

"Iya, Mas. Ini istri saya mau jenguk Mbak Indah. Kebetulan dia akrab sama Mbak Indah," ucap Mas Bimo pada Raka.

"Oh, boleh Mas. Ajak masuk ke dalam saja," pinta Mas Raka pada Mas Bimo.

Aku dan Mas Bimo masuk ke ruangan tempat tubuhku dirawat. Saat melihat tubuhku sendiri yang masih koma dan sedang dipakaikan oksigen dihidungnya, tiba-tiba kepalaku sakit, sakit sekali. Mas Bimo tampak cemas dan khawatir terhadapku.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo.

Tiba-tiba sakit di kepalaku hilang.

"Nggak kenapa-napa, Mas."

Aku pun duduk di dekat tubuhku yang sedang berbaring koma. Ternyata seperti itu orang-orang melihatku. Aku tampak bingung dan sedih. Jika jiwaku merasuki tubuh istri Mas Bimo ini, kemana jiwa Lastri? Apa sedang bergentayangan dan melihat semua kejadian yang aku lakukan bersama Mas Bimo? Tiba-tiba aku merinding, takut. Tak berapa lama kemudian kudengar suara Isabel di depan ruangan.

"Udah, Mas. Kita pulang yuk," pintaku.

Mas Bimo tampak heran.

"Kok, buru-buru? Baru aja nyampe?" tanya Mas Bimo heran.

"Yang penting aku udah liat kondisinya," jawabku.

"Yaudah, yuk." Mas Bimo akhirnya mengalah.

Lalu kami keluar dari ruangan itu. Benar saja, di depan pintu ruangan kulihat Isabel ada di sana sedang duduk bersama Mas Raka. Saat Isabel melihat kami keluar dari ruangan itu, Isabel langsung masuk ke dalam ruangan dengan sedih. Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku yakin dia tak akan percaya jika jiwaku sedang berada di dalam tubuh perempuan lain? Kami pun pamit pada Mas Raka lalu pergi dari sana.

Malam itu aku gelisah. Aku masih duduk di hadapan televisi. Mas Bimo keluar dari kamar dan duduk di dekatku.

"Tidur, yuk?" ajak Mas Bimo padaku.

Aku diam saja. Mas Bimo sepertinya mengerti aku masih takut kalau Mas Bimo mengajak aku untuk berhubungan intim lagi.

"Jangan takut, aku nggak akan minta jatah lagi kok, sampe kamu mau sendiri," ucap Mas Bimo menenangkan kekhawatiranku.

"Aku tidur di sofa aja," ucapku.

"Kalo kamu nggak mau tidur sama aku, biar aku aja yang tidur di sofa, kamu yang di kamar," ucap Mas Bimo yang tampak kecewa.

"Yaudah, tapi jangan nyelonong masuk kamar ya?" pintaku.

Mas Bimo mengangguk. Aku langsung beranjak dari sana hingga kudengar Mas Bimo menggumam.

"Sama suami sendiri kok kayak gitu?"

Aku diam saja dan masuk ke dalam kamar. Saat aku sudah berada di dalam kamar, ku kunci kamarnya lalu berbaring di atas kasur. Sesaat kemudian kudengar ada suara aneh dalam lemari yang kudengar. Seperti sebuah tangan yang mengetuk-ngetuk dari dalam lemari. Aku pun langsung merinding. Suara apa itu? Aku langsung bangkit dari kasur dan hendak memeriksa isi lemari, namun suara ketukan dari dalam lemari baju itu semakin kencang. Aku pun tak berani membuka lemarinya dan langsung berteriak.

"Mas!!!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
waduh tangan siapa??...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status