Kami tiba di area pemakaman. Aku tahu tempat pemakamannya di sana karena melihat sebuah berita tentang pembunuhannya itu. Sampai di sana aku dan Rangga mencari-cari makamnya. Setelah menemukan nama Isabela, mataku langsung sembab. Aku terduduk di makam yang masih baru itu.
Aku berdoa di sana agar arwahnya diterima yang Maha Kuasa. Rangga ikut duduk sambil merangkulku dan menepuk-nepuk bahuku.
“Kamu nggak pernah cerita soal dia,” ucap Rangga padaku.
Aku diam saja.
“Semoga dia tenang di alam sana,” ucap Rangga mendoakannya.
Ya, Isabel adalah sahabat terbaikku sejak SMA. Kami berkenalan saat kami tengah melakukan kegiatan OSPEK di sekolah. Waktu itu aku sangat pemalu dan sering menyendiri karena tidak pede berkenalan dengan siswa dan siswi baru yang ada di sana. Isabel mendekatiku dan mengenalkan diri duluan padaku. Sejak itu kami akrab dan melakukan apapun sering berdua.
Bahkan kami pun kuliah di universitas yang sama. Dia sudah dianggap
“Nayara orang baik,” bela Rangga. “Dia jahat. Dia udah bunuh Isabe, Lastri dan yang lain, Ga.” Rangga tampak tak percaya. “Ato jangan-jangan kamu yang jahat. Aku nggak percaya kalo Nayara jahat, soalnya dia nggak pernah jahatin aku,” kilah Rangga. “Terserah kamu mau percaya ato nggak sekarang. Nanti jika udah waktunya kamu bakal tau semuanya,” ucapku. “Bawa aku ke sana, aku pengen nemuin dia,” pinta Rangga. “Tapi dia udah ngancem aku,” ucapku kemudian. “Bawa aku ke sana! Aku pengen buktiin dulu kalo kalian beneran bertukar jiwa!” teriak Rangga dengan memaksa. Orang-orang di dekat kami melihat kami dengan heran. Aku tahu suara Rangga terlalu keras. Mereka pasti merasa aneh ketika tadi Rangga menyebut tentang pertukaran jiwa itu. Kami pun tak menghabiskan makanan di hadapan kami. Rangga langsung membayar dan mengajakku pergi ke tempat tubuhku yang dirasuki Nayara itu. Dia tampak tak peduli
“Tolong bantu dia jelasin ke keluarganya kalo kalian lagi bertukar jiwa,” pinta Rangga. “Gue nggak bisa. Kalo dijelasin juga mereka nggak bakal percaya,” ucap tubuhku pada Rangga. “Kalo kamu yang jelasin, mereka pasti percaya,” pinta Rangga pada tubuhku. “Justru itu yang gue nggak mau. Dan satu hal yang elo harus tau. Gue nggak pernah suka sama elo dan gue nggak pernah mau jadi anak bapak dan ibu di Sukabumi. Dan kalo pun jiwa gue masuk lagi ke tubuh asli gue, jangan pernah temuin gue lagi. Sekarang kalian buruan pergi dari sini sebelum gue panggil bodyguard-bodyguard gue buat ngusir kalian paksa dari sini!” ancam tubuhku itu pada kami. Rangga tampak shock melihat sikap Nayara di tubuhku. “Kenapa kamu jadi kayak gini, Nayara?” tanya Rangga heran. “Pergi!” teriak Nayara. Aku pun menarik tangan Rangga untuk memasuki mobil. Tubuhku itu pun membuka gerbang sendiri karena dia punya kunci gerbang. Lalu aku dan Rangga langsung m
Kami pun masuk ke dalam. Rangga duduk di ruang tamu. Aku pun duduk. Bapak dan ibu Nayara itu duduk memandangiku dengan lega. Aku pun menjelaskan semua alasanku kabur. Tentu dengan alasan yang tidak sesungguhnya. Bapak dan ibu Nayara pun meminta Rangga untuk meningap, karena besok katanya kedua orang tua Rangga akan ke rumah. Rangga pun nurut. Bapak menyuruh Rangga istirahat di ruang tamu. Sementara aku pamit pada semua untuk istirahat di kamar Nayara. Saat berada di kamar Nayar itu, buru-buru aku mengunci kamar. Aku ingin tahu semua isi kamar Nayara. Aku ingin belajar semua tentangnya agar bapak dan ibunya tidak curiga dengan pertukaran jiwa ini. Setelah kuperiksa segala isi kamarnya, aku menemukan buku harian Nayara. Aku pun duduk di tepi kasur, membuka buku harian itu halaman demi halaman. Aku sangat terkejut saat membaca isi buku harian itu mengenai penyesalan dan kebencian. Nayara sangat membenci kedua orang tuanya yang sudah membuangnya di panti asuhan. Nayara sudah
Aku menghela napas mendengarnya. Rupanya dia dan Nayara memang sudah sangat dekat. Sampai hal pribadi mereka tahu. Tiba-tiba aku jadi teringat Isabel. Aku dan dia sama seperti Entin dan Nayara. Entin tampak heran melihatku yang mendadak murung. “Kamu kenapa?” Aku menggeleng lalu melihat ke arahnya. “Aku ngantuk, aku boleh izin tidur nggak?” pintaku. “Yaudah, kalo gitu aku pulang dulu. Besok kamu main ke rumahku ya. Orang tua aku kangen banget sama kamu,” pinta Entin. Aku pun mengangguk dengan senyum. Entik lalu buru-buru keluar dari kamar itu. Aku pun merebahkan diri lalu memejamkan mata. Aku baru merasa kalau tubuhku sangat lelah.Pagi itu, kedua orang tua Rangga datang ke rumah. Ayahnya memang asli orang jepang, terlihat sekali dari tampangnya. Sementara ibunya tampak cantik. Dia terlihat segar dan tampak masih muda. Rambutnya dia biarkan tergerai panjang. Kalau di kampung itu, umur segitu sudah tak pede lagi menguraik
Aku terbangun di kamar pengantin. Kamar Nayara yang disulap menjadi kamar pengantin. Di sebelahku kulihat Rangga duduk menungguku. Hanya ada dia di kamar itu. Sementara kamar dalam keadaan tertutup. Rangga tampak senang saat melihatku sudah membuka mata. “Kamu sudah sadar?” tanyanya dengan senang. “Iya, tadi aku kenapa?” tanyaku pada Rangga. “Tadi kamu pingsan di tengah-tengah acara resepsi. Terus kita bawa kamu ke sini. Dan dokter juga tadi udah datang, katanya kamu kelelahan saja,” ucap Rangga. Rangga menunjukkan raut kecewa. Aku heran kenapa dia tampak kecewa. Apa dia menyangka setelah pingsan tadi jiwa Nayara akan kembali ke tubuh ini? “Kok cemberut?” tanyaku dengan penasaran. “Aku pikir jiwa Nayara akan kembali ke tubuhnya setelah kamu sadar,” ucap Rangga.Berarti benar dugaanku. Rangga berdiri. Tanganku tiba-tiba memegang tangannya sambil duduk di atas kasur. Rangga lalu menoleh padaku dengan heran.
“Aku bukan istri aslimu, Ga.” Ucapku mengingatkannya agar dia sadar diri. “Aku tahu, tapi bagaimana pun tubuh yang kamu gunakan itu adalah tubuh istriku,” jawab Rangga.”jadi apapun yang kamu gunakan dan kamu makan dari uangku, toh juga akan kembali ke tubuh yang sedang kamu gunakan itu kan?” Aku menghela napas. Tak berapa lama kemudian, terdegar suara bel berbunyi. Rangga langsung berjalan ke arah pintu masuk. Aku mengikuti langkahnya. Sampai di sana rupanya yang datang adalah sebuah mobil pick up yang mebawa kardus-kardus yang aku tak tahu isinya apa. Setelah kardus-kardus itu kami buka, rupanya isisnya adalah pakaian perempuan, handphone dan leptop merek mahal. Aku heran. “Ini buat siapa?” tanyaku pada Rangga. “Ini semua buat kamu,” jawab Rangga. Mataku terbelalak saat melihat pakaian yang berjumlah banyak itu di hadapanku. “Kau tahu ukuran pakaianku dari mana?” tanyaku penasaran. “Aku sudah mengenal Nayara. Aku ingin k
“Aku nggak tau,” jawab Rangga. “Aku juga nggak tau,” ucapku. Sesaat kemudian, kulihat Rangga tampak berpikir. Dia berdiri lalu menoleh padaku. “Kamu tahu alamat kantor Mas Bimomu itu?’ tanya Rangga. Aku mengangguk. “Besok kita harus ke sana,” ucap Rangga. Aku mendengarnya dengan heran. “Untuk apa?” tanyaku. “Kita harus menjelaskannya bersama-sama. Mungkin Mas Bimo akan mempertimbangkan kebenarannya kalo aku juga ikut menjelaskan semuanya,” pinta Rangga. Aku kira itu solusi yang bagus untuk kami. Besoknhya, aku dan Rangga pergi ke kantor Mas Bimo. Karena aku dan Rangga memakai pakaian yang pantas dan terlihat mewah, satpam tak lagi mencegat aku untuk memasuki kantor itu. Kami pun berhasil duduk menunggu di ruangan Mas Bimo. Tak lama kemudian sekretarisnya datang kepada kami lalu menyuruh kami masuk. Kami pun masuk ke ruangan Mas Bimo. Mas Bimo tampak heran melihatku, mungkin karena dia masih mengi
Rangga menoleh padaku lagi. “Kalau seandainya jiwa kalian tidak bisa bertukar lagi, maukan kamu untuk terus bersamaku?” tanya Rangga. Aku diam tak bisa menjawab karena aku yakin jiwaku pasti akan bertukar lagi dengan Nayara.Rangga kembali melanjutkan kata-katanya,”Aku akan buat kamu seneng. Aku akan ganti semua hal yang hilang dari hidup lamamu. Kamu jangan khawatir soal harta atau apapun itu. Aku bisa ngasih semuanya ke kamu asal kamu mau hidup sama aku layaknya suami istri sesungguhnya,” ucap Rangga dengan tatapan mata yang serius. Aku tak bisa bernapas lagi mendengarnya. Aku tak bisa menjawabnya sekarang.“Aku belum bisa menjawabnya sekarang, Ga.” Ucapku. Setelah itu Rangga kembali melajukan mobil itu. Saat kami sudah tiba di rumah, Rangga duduk dengan gelisah. Aku heran melihatnya. Tak lama kemudian dia berdiri. “Aku harus ketemu Indah lagi,” ucapnya padaku. Aku kaget mendengarnya. “Jangan