Afi tampak ragu melepaskan sabuk pengaman. Matanya mendongak menatap tingginya gerbang yang menjadi tameng pelindung rumah mewah di belakangnya. Dian berdiri di depan gerbang sambil merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar seolah mengucapkan selamat datang.
“Sikapnya udah kayak pemilik rumah aja,” gumam Afi sambil mendorong pintu.
Saat Afi turun dan menutup pintu mobil, Dian menghampiri. “Gede banget, ‘kan, rumahnya? Kalau mau, kamu bisa boyong beberapa tetangga,” ujarnya sambil memilah anak kunci yang terkumpul dalam satu ring besi.
“Ini seriusan, Bang?” tanya Afi yang tampaknya belum percaya. “Emangnya Om Egi beneran udah kasih izin?”
“Hush! Jangan pakai ‘Om’. Kamu kalau berhadapan langsung sama dia dan panggil ‘Om’, dia bakal marah.” Dian mengingatkan tentang betapa tidak sukanya Egi mendapat panggilan ‘Om’.
Egi adalah adik sepupu mamanya. Secara status kekeluargaan, Egi memang paman mereka. Namun, atas nama usia, Egi lebih muda 2 tahun dari Afi dan 5 tahun dari Dian. Egi berusia 30 tahun, sementara Afi 32 dan Dian 35. Wajar kalau adik sepupu mamanya itu enggan dipanggil ‘Om’.
“Tenang aja. Abang udah izin, kok.” Dian menjawab kekhawatiran adiknya.
“Lewat apa?”
“Chat.”
“Kok, chat? Kenapa enggak ditelepon aja?”
“Enggak dijawab. Sibuk kali. Nanti chat-nya juga pasti dibaca.”
Kening Afi yang semula sudah berkerut kini semakin bergelombang. “Berarti sampai sekarang chat Abang belum di-read?”
Cengiran Dion menjawab segalanya. Afi hanya bisa geleng-geleng kepala dengan cara abangnya.
Afi berniat kembali ke mobil, tapi Dion mencekal lengannya.
“Mending aku nginap di rumah Pak RT, Bang.”
Dion menggeleng. “Enggak. Kamu mending tinggal di sini. Ke toilet enggak perlu antre.”
Sebelumnya—di rumah Pak RT—Dion mendumal gara-gara mengantre saat ingin buang hajat. Tak tanggung-tanggung, dia harus berdiri menunggu giliran 5 orang sebelumnya hingga 20 menit. Bahkan ketika masuk toilet, aromanya sudah ‘tidak manusiawi’. Meski tidak nyaman, Dion terpaksa menggunakan toilet itu lantaran tak tahan lagi.
“Tapi, ini ilegal. Abang izinnya enggak benar.” Afi menurunkan genggaman tangan Dion dari pergelangannya.
“Legal! Mau Abang tunjukin isi chat-nya?” tantang Dion. Dia siap mengeluarkan HP dari kantong celana jeans, tapi batal gara-gara Afi mengibaskan tangan.
Dion menghela napas karena ekspresi Afi masih kelihatan enggan. “Dua tahun yang lalu, Egi pernah berpesan ke Abang. Dia bilang rumah ini boleh digunain buat apa aja. Makanya kuncinya dititipin ke Abang.” Dia mengangkat dan menggoyangkan ring berisi belasan anak kunci.
“Digunain buat apa aja, ‘kan, bukan berarti boleh dihuni secara pribadi, Bang. Ini sama aja kayak kita menyalahgunakan kepercayaan orang.”
“Dia pernah bilang, kok, kalau Abang boleh tinggal di sini. Kalau Abang aja boleh, kenapa kamu enggak? Lagipula sekarang kamu butuh tempat tinggal, ‘kan? Kamu mau tinggal di rumah Abang? Atau mau pulang ke rumah Mama?”
Afi tidak bisa membalas secepat sebelumnya. tinggal di rumah Dion bukanlah pilihan. Dia tidak akan nyaman tinggal bersama istri dan anak abangnya.
Sementara itu, tinggal di rumah mamanya justru lebih menyulitkan. Jarak antara rumah sakit tempatnya bekerja dan rumah mamanya adalah 30 km. Tentu jarak ini akan memakan banyak waktu bagi Afi yang suka berangkat di jam-jam mepet.
“Mau tinggal di hotel?”
Dion memberikan pilihan lain yang mungkin masuk akal bagi sang adik. Sayangnya, Afi tidak pernah memasukkan opsi itu ke dalam list. Dia ingin berhemat. Maklum, semua harta bendanya sudah habis. Uang yang tersisa hanyalah saldo yang tersimpan dalam ATM-ATM dompet. Meskipun jumlahnya cukup besar, tetap saja saldo itu tidak akan cukup membeli rumah dan perabotan.
“Ya, udah, deh,” putus Afi. Sepertinya dia tidak punya pilihan selain tinggal di rumah mewah tak berpenghuni ini. “Om Eginya belum mau pulang, ‘kan?”
Dian menggedikkan bahu. “Kalau soal itu Abang enggak tau, sih. Tapi, kayaknya dia betah di Kalimantan.” Dia membuka gembok gerbang. “Semoga aja dia enggak balik-balik sampai kamu bisa beli rumah baru.” Gembok pun terbuka.
Begitu salah satu sisi gerbang di dorong, Afi bergumam takjub dalam hati. Dua pilar raksasa berdiri kokoh menopang rumah itu. Meskipun baru melihat sisi luarnya, suasana megah dan mewah sudah terasa dari ukiran dan warna gold yang diusung. Belum lagi taman kecil yang serba hijau kelihatan benar-benar terawat.
“Egi kerja apaan, sih, Bang? Kok, bisa beli rumah semewah ini?” tanya Afi. Dia seperti wanita udik yang baru pertama kali berhadapan dengan rumah mewah.
“Pengacara. Udah banyak menangin kasus dia. Sini kuncimu. Abang mau masukin ke garasi.”
Setelah memberikan kunci, Afi masuk lebih dulu. Tidak ada langkah lebar. Dia justru menikmati setiap momen saat memandangi tanaman hijau yang membentuk dinding setinggi pinggul.
“Terawat banget. Enggak kelihatan kayak rumah yang enggak berpenghuni,” komentarnya sambil mengamati lantai bata yang dipijaki.
Sepanjang pengamatan, hanya ada beberapa daun yang tergeletak tak jauh dari tanaman. Warnanya pun masih hijau. Segar. Artinya, dedaunan itu belum lama jatuh dari ranting. Tidak seperti deskripsi rumah yang lama tidak dihuni—di mana dedaunan kering akan berserakan hingga mengotori teras.
Ketakjuban Afi tak berhenti sampai di situ. Dia menapaki lima undakan tangga yang sedikit kasar karena terbuat dari kerikil putih. Tangga itu kelihatan bersih. Nyaris tidak ada pasir yang terselip di antara kerikil.
“Pasti ada merawat rumah ini,” gumamnya lagi ketika menapaki teras yang terbebas dari debu. Dia masih sibuk mengamati sekeliling sampai Dian kembali.
“Mobil Abang enggak ikut dimasukin?” tanya Afi ketika abangnya membuka kunci pintu. Dian hanya memasukkan mobil Afi ke garasi, sedangkan mobilnya ditempatkan di halaman.
“Enggak. Abang enggak nginap,” jawab Dian, tepat ketika tangannya mendorong salah satu sisi pintu.
“Rumah ini ada yang merawat, ya, Bang?” tanya Afi saat melangkah masuk. Hatinya kembali bergumam takjub setelah Dian menyalakan lampu. Desain arsitektur rumah ini membuatnya merasa miskin.
“Iya. Tiap pagi sama sore ada yang bersihin. Makanya kamu jangan kaget kalau satu jam lagi ada ibu-ibu yang nongol.”
Afi mengangguk samar. Matanya tak bosan menyisir seluruh area dalam jangkauan. Beberapa bagian yang menarik perhatian adalah kaca yang tinggi menjulang sampai ke lantai dua. Kain gorden yang membingkai jendela itu pun berukuran raksasa. Di belakangnya, kolam renang seperti melambai-lambai—mengajak Afi untuk segera bercebur ke dalamnya.
Selain itu, ada dua buah tangga meliuk yang terhubung dengan sisi kanan dan kiri lantai dua. Tangga itu tidak beralas keramik, melainkan kaca transparan.
“Bang!” panggil Afi. Matanya tertuju ke sisi kanan lantai dua.
Dian menjawab dengan gumaman. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket.
“Aku berasa kayak tinggal di istana Disney tau enggak.”
“Norak! Makanya, banyakin gaul sama crazy rich. Rumah ini belum seberapa kalau dibandingin sama hunian temen-temen Abang.”
Afi mengangguk-angguk. Sadar bahwa pergaulannya terlalu sempit. Wajar rasanya kalau dia mudah sekali takjub dan menganggap rumah ini terlampau mewah, meskipun dia tahu bahwa masih banyak hunian di luar sana yang jauh lebih megah.
“Abang yakin, Dek, kamu bakalan betah tinggal di sini.”
Afi menoleh. “Semoga Om Egi enggak pulang-pulang, ya, Bang.”
Dian tertawa dan mengacak rambutnya. “Amin.”
---BERSAMBUNG---
Hai, Guys! Jangan pelit tinggalin komen ya. Komentar kalian membangun semangatku.
Di depan gerbang, Afi melambaikan tangan. Mobil Dani berlalu meninggalkan halaman depan. Kini tinggallah Afi seorang diri.Ah, tidak-tidak! Afi tidak sendiri. Lima belas menit yang lalu dua orang wanita paruh baya datang untuk membersihkan rumah. Saat ini mereka masih mengerjakan part masing-masing.Afi berbalik dan menatap bangunan megah di depan matanya. Bibirnya tersenyum. “Di balik musibah, selalu ada berkah. Kalau rumahku enggak kebakaran, aku pasti enggak akan pernah ngerasain tidur di rumah mewah.”Rumah Afi yang sebelumnya memang tidak bisa dibilang kecil. Cukup besar untuk ukuran wanita lajang yang tinggal sendiri. Namun, desain interiornya biasa saja. Tidak ada yang mewah dan patut untuk dibanggakan. Ukurannya pun kalah telak dibandingkan dengan rumah ini. Mungkin luas bangunan ini tiga kali lipat dari rumahnya yang terbakar.Afi meregangkan otot-otot lengan. Mengulet sambil mematah leher ke kanan dan kiri.Sesaa
“Egi!”Sebuah panggilan memusatkan atensi Egi dan Afi ke lantai satu. Tepatnya ke ambang pintu yang salah satu sisinya terbuka.Sesosok wanita bertubuh semampai berdiri di sana. Rambutnya panjang sepunggung dan bergelombong. Gradasi warna asli dengan lavender cerah membuat sosok itu terlihat mencolok.Berpijak di lantai yang berbeda dan jarak yang jauh tidak membuat Egi kesulitan mengenali sosok itu. Suara, postur tubuh, dan wajah itu sangat dikenalnya. Namun, tidak ada ekspresi antuasias, terkejut, atau pun bahagia. Justru seringai tipis yang tercetak di wajahnya.Berbeda dengan Egi, bola mata Afi justru melebar. Reaksi keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Bahkan beberapa saat kemudian dia tampak gelagapan, bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Beberapa kali kakinya seperti hendak melangkah pergi, tapi tidak jadi. Dia juga melirik-lirik Egi seolah penasaran dengan reaksi yang akan ditunjukkan.“Bisa turun sebentar?”
Detik demi detik berlalu, tapi Egi tak kunjung memperlihatkan reaksi. Tidak ada senyum tipis seperti sebelumnya. Lensanya masih menyorot ke satu titik, yakni mata Afi.Sorot tajam dan dalam itu membuat sisa-sisa nyali Afi lenyap. Detik itu juga Afi ingin sekali memuai seperti es, lenyap dari dekapan lelaki itu.“Okay!”Satu kata yang keluar dari mulut Egi berhasil menormalkan seluruh sistem operasi tubuh dan saraf Afi. Napas yang semula mengendap di dada akhirnya dapat berembus lega. Tubuh yang semula sekaku besi baja akhirnya melunak bagaikan dilebur dengan bara. Afi nyaris merosot saking leganya. Untung saja dekapan itu begitu kokoh hingga mampu menopang tubuhnya yang meleyot.Rupanya Egi sengaja. Melihat dan merasakan ketegangan Afi merupakan hiburan tersendiri untuknya. Dia nyaris tidak bisa meredam tawa ketika menahan tubuh Afi yang nyaris tumbang dalam dekapannya.Untuk menyamarkan senyum yang terus dikulum, Egi berpindah menatap
Afi mengutuk dirinya sendiri. Sekarang dia sadar, kenapa wanita disarankan agar menikah di usia muda. Mungkin inilah sebabnya. Sekian lama tidak merasakan belaian pria, dia malah seperti wanita murahan. Diam saat disentuh. Patuh saat digiring menuju ranjang.Sebenarnya Afi sendiri heran, kenapa dia begitu mudah mematuhi ucapan Egi. Bahkan tidak ada protes dan perlawanan sama sekali. Dia seperti korban sugesti. Mungkin lebih mirip hamba sahaya yang dibeli saudagar penuh kharisma.“Emmm ... kayaknya kita sudah melewati batas,” kata Afi saat Egi merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka tidak hanya berada di kamar yang sama, tapi ranjang dan selimut yang satu.Afi merasa sesak dalam dekapan pria itu. Namun, rasa hangat dan nyaman justru membuatnya tak ingin berkutik. Dia malah tertarik melihat jakun Egi yang bergerak saat menelan ludah.“Kita mungkin berada di garis keturunan yang sama, tapi saya yakin kamu belum mengenal saya denga
Afi mengatup bibir sangat rapat. Dia sadar bahwa pertanyaan barusan melampaui batas. Terlebih lagi dia mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Kentara sekali bahwa dia lepas kendali.Afi menyesali pertanyaannya—pertanyaan yang menggambarkan kekesalan, ketidakterimaan, dan ketidaknyamanan. Dia seperti wanita pecemburu yang naik pitam mendengar sang kekasih ‘menyemai bibit’ di mana-mana.Sekarang pertanyaannya adalah apakah Afi berhak memiliki emosi seperti ini? Egi memang menyebut dirinya sebagai ‘mine’. Namun, bukankah ‘mine’ saja tidak cukup untuk memperbolehkannya bertanya kasar seperti tadi?“Maaf.” Afi berucap lirih. Segenap rasa sesal menyesakkan dadanya.Dalam hal ini, tampaknya Egi tidak satu frekuensi dengan Afi. Alih-alih maraah, tersinggung, atau pun kesal, Egi justru terlihat baik-baik saja. Dia bahkan tertawa kecil, terhibur melihat Afi berkubang dalam rasa sesal.“It&rsq
Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayundan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya eng
Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika ai
Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me