Share

ISTANA DISNEY

Afi tampak ragu melepaskan sabuk pengaman. Matanya mendongak menatap tingginya gerbang yang menjadi tameng pelindung rumah mewah di belakangnya. Dian berdiri di depan gerbang sambil merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar seolah mengucapkan selamat datang.

“Sikapnya udah kayak pemilik rumah aja,” gumam Afi sambil mendorong pintu.

Saat Afi turun dan menutup pintu mobil, Dian menghampiri. “Gede banget, ‘kan, rumahnya? Kalau mau, kamu bisa boyong beberapa tetangga,” ujarnya sambil memilah anak kunci yang terkumpul dalam satu ring besi.

“Ini seriusan, Bang?” tanya Afi yang tampaknya belum percaya. “Emangnya Om Egi beneran udah kasih izin?”

“Hush! Jangan pakai ‘Om’. Kamu kalau berhadapan langsung sama dia dan panggil ‘Om’, dia bakal marah.” Dian mengingatkan tentang betapa tidak sukanya Egi mendapat panggilan ‘Om’.

Egi adalah adik sepupu mamanya. Secara status kekeluargaan, Egi memang paman mereka. Namun, atas nama usia, Egi lebih muda 2 tahun dari Afi dan 5 tahun dari Dian. Egi berusia 30 tahun, sementara Afi 32 dan Dian 35. Wajar kalau adik sepupu mamanya itu enggan dipanggil ‘Om’.

“Tenang aja. Abang udah izin, kok.” Dian menjawab kekhawatiran adiknya.

“Lewat apa?”

“Chat.”

“Kok, chat? Kenapa enggak ditelepon aja?”

“Enggak dijawab. Sibuk kali. Nanti chat-nya juga pasti dibaca.”

Kening Afi yang semula sudah berkerut kini semakin bergelombang. “Berarti sampai sekarang chat Abang belum di-read?”

Cengiran Dion menjawab segalanya. Afi hanya bisa geleng-geleng kepala dengan cara abangnya.

Afi berniat kembali ke mobil, tapi Dion mencekal lengannya.

“Mending aku nginap di rumah Pak RT, Bang.”

Dion menggeleng. “Enggak. Kamu mending tinggal di sini. Ke toilet enggak perlu antre.”

Sebelumnya—di rumah Pak RT—Dion mendumal gara-gara mengantre saat ingin buang hajat. Tak tanggung-tanggung, dia harus berdiri menunggu giliran 5 orang sebelumnya hingga 20 menit. Bahkan ketika masuk toilet, aromanya sudah ‘tidak manusiawi’. Meski tidak nyaman, Dion terpaksa menggunakan toilet itu lantaran tak tahan lagi.

“Tapi, ini ilegal. Abang izinnya enggak benar.” Afi menurunkan genggaman tangan Dion dari pergelangannya.

“Legal! Mau Abang tunjukin isi chat-nya?” tantang Dion. Dia siap mengeluarkan HP dari kantong celana jeans, tapi batal gara-gara Afi mengibaskan tangan.

Dion menghela napas karena ekspresi Afi masih kelihatan enggan. “Dua tahun yang lalu, Egi pernah berpesan ke Abang. Dia bilang rumah ini boleh digunain buat apa aja. Makanya kuncinya dititipin ke Abang.” Dia mengangkat dan menggoyangkan ring berisi belasan anak kunci.

“Digunain buat apa aja, ‘kan, bukan berarti boleh dihuni secara pribadi, Bang. Ini sama aja kayak kita menyalahgunakan kepercayaan orang.”

“Dia pernah bilang, kok, kalau Abang boleh tinggal di sini. Kalau Abang aja boleh, kenapa kamu enggak? Lagipula sekarang kamu butuh tempat tinggal, ‘kan? Kamu mau tinggal di rumah Abang? Atau mau pulang ke rumah Mama?”

 Afi tidak bisa membalas secepat sebelumnya. tinggal di rumah Dion bukanlah pilihan. Dia tidak akan nyaman tinggal bersama istri dan anak abangnya.

Sementara itu, tinggal di rumah mamanya justru lebih menyulitkan. Jarak antara rumah sakit tempatnya bekerja dan rumah mamanya adalah 30 km. Tentu jarak ini akan memakan banyak waktu bagi Afi yang suka berangkat di jam-jam mepet.

“Mau tinggal di hotel?”

Dion memberikan pilihan lain yang mungkin masuk akal bagi sang adik. Sayangnya, Afi tidak pernah memasukkan opsi itu ke dalam list. Dia ingin berhemat. Maklum, semua harta bendanya sudah habis. Uang yang tersisa hanyalah saldo yang tersimpan dalam ATM-ATM dompet. Meskipun jumlahnya cukup besar, tetap saja saldo itu tidak akan cukup membeli rumah dan perabotan.

“Ya, udah, deh,” putus Afi. Sepertinya dia tidak punya pilihan selain tinggal di rumah mewah tak berpenghuni ini. “Om Eginya belum mau pulang, ‘kan?”

Dian menggedikkan bahu. “Kalau soal itu Abang enggak tau, sih. Tapi, kayaknya dia betah di Kalimantan.” Dia membuka gembok gerbang. “Semoga aja dia enggak balik-balik sampai kamu bisa beli rumah baru.” Gembok pun terbuka.

Begitu salah satu sisi gerbang di dorong, Afi bergumam takjub dalam hati. Dua pilar raksasa berdiri kokoh menopang rumah itu. Meskipun baru melihat sisi luarnya, suasana megah dan mewah sudah terasa dari ukiran dan warna gold yang diusung. Belum lagi taman kecil yang serba hijau kelihatan benar-benar terawat.

“Egi kerja apaan, sih, Bang? Kok, bisa beli rumah semewah ini?” tanya Afi. Dia seperti wanita udik yang baru pertama kali berhadapan dengan rumah mewah.

“Pengacara. Udah banyak menangin kasus dia. Sini kuncimu. Abang mau masukin ke garasi.”

Setelah memberikan kunci, Afi masuk lebih dulu. Tidak ada langkah lebar. Dia justru menikmati setiap momen saat memandangi tanaman hijau yang membentuk dinding setinggi pinggul.

“Terawat banget. Enggak kelihatan kayak rumah yang enggak berpenghuni,” komentarnya sambil mengamati lantai bata yang dipijaki.

Sepanjang pengamatan, hanya ada beberapa daun yang tergeletak tak jauh dari tanaman. Warnanya pun masih hijau. Segar. Artinya, dedaunan itu belum lama jatuh dari ranting. Tidak seperti deskripsi rumah yang lama tidak dihuni—di mana dedaunan kering akan berserakan hingga mengotori teras.

Ketakjuban Afi tak berhenti sampai di situ. Dia menapaki lima undakan tangga yang sedikit kasar karena terbuat dari kerikil putih. Tangga itu kelihatan bersih. Nyaris tidak ada pasir yang terselip di antara kerikil.

“Pasti ada merawat rumah ini,” gumamnya lagi ketika menapaki teras yang terbebas dari debu. Dia masih sibuk mengamati sekeliling sampai Dian kembali.

“Mobil Abang enggak ikut dimasukin?” tanya Afi ketika abangnya membuka kunci pintu. Dian hanya memasukkan mobil Afi ke garasi, sedangkan mobilnya ditempatkan di halaman.

“Enggak. Abang enggak nginap,” jawab Dian, tepat ketika tangannya mendorong salah satu sisi pintu.

“Rumah ini ada yang merawat, ya, Bang?” tanya Afi saat melangkah masuk. Hatinya kembali bergumam takjub setelah Dian menyalakan lampu. Desain arsitektur rumah ini membuatnya merasa miskin.

“Iya. Tiap pagi sama sore ada yang bersihin. Makanya kamu jangan kaget kalau satu jam lagi ada ibu-ibu yang nongol.”

Afi mengangguk samar. Matanya tak bosan menyisir seluruh area dalam jangkauan. Beberapa bagian yang menarik perhatian adalah kaca yang tinggi menjulang sampai ke lantai dua. Kain gorden yang membingkai jendela itu pun berukuran raksasa. Di belakangnya, kolam renang seperti melambai-lambai—mengajak Afi untuk segera bercebur ke dalamnya.

Selain itu, ada dua buah tangga meliuk yang terhubung dengan sisi kanan dan kiri lantai dua. Tangga itu tidak beralas keramik, melainkan kaca transparan.

“Bang!” panggil Afi. Matanya tertuju ke sisi kanan lantai dua.

Dian menjawab dengan gumaman. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket.

“Aku berasa kayak tinggal di istana Disney tau enggak.”

“Norak! Makanya, banyakin gaul sama crazy rich. Rumah ini belum seberapa kalau dibandingin sama hunian temen-temen Abang.”

Afi mengangguk-angguk. Sadar bahwa pergaulannya terlalu sempit. Wajar rasanya kalau dia mudah sekali takjub dan menganggap rumah ini terlampau mewah, meskipun dia tahu bahwa masih banyak hunian di luar sana yang jauh lebih megah.

“Abang yakin, Dek, kamu bakalan betah tinggal di sini.”

Afi menoleh. “Semoga Om Egi enggak pulang-pulang, ya, Bang.”

Dian tertawa dan mengacak rambutnya. “Amin.”

---BERSAMBUNG---

Hai, Guys! Jangan pelit tinggalin komen ya. Komentar kalian membangun semangatku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status