Di depan gerbang, Afi melambaikan tangan. Mobil Dani berlalu meninggalkan halaman depan. Kini tinggallah Afi seorang diri.
Ah, tidak-tidak! Afi tidak sendiri. Lima belas menit yang lalu dua orang wanita paruh baya datang untuk membersihkan rumah. Saat ini mereka masih mengerjakan part masing-masing.
Afi berbalik dan menatap bangunan megah di depan matanya. Bibirnya tersenyum. “Di balik musibah, selalu ada berkah. Kalau rumahku enggak kebakaran, aku pasti enggak akan pernah ngerasain tidur di rumah mewah.”
Rumah Afi yang sebelumnya memang tidak bisa dibilang kecil. Cukup besar untuk ukuran wanita lajang yang tinggal sendiri. Namun, desain interiornya biasa saja. Tidak ada yang mewah dan patut untuk dibanggakan. Ukurannya pun kalah telak dibandingkan dengan rumah ini. Mungkin luas bangunan ini tiga kali lipat dari rumahnya yang terbakar.
Afi meregangkan otot-otot lengan. Mengulet sambil mematah leher ke kanan dan kiri.
Sesaat kemudian dia menguap. Kantuk pun melanda. Dia tidak sabar untuk meniduri ranjang super empuk dan lebar. Suhu AC-nya pun tak kalah dingin dari ruang kerjanya di rumah sakit. Kamar itu pasti akan membuatnya terlelap sampai besok pagi.
Baru saja Afi melangkah hendak memasuki gerbang, tiga bunyi klakson beruntun membuatnya menoleh. Sebuah taksi biru berhenti. Afi membalikkan badan, menunggu siapa sosok penumpang yang berani menyuruh supir membunyikan klakson seperti itu.
Detik berikutnya, Afi benar-benar menyesali niatnya tinggal di rumah ini. Dia mengutuk Dian yang meninggalkannya di saat yang tidak tepat.
“Sial,” desisnya sambil membuang muka.
Tepat ketika Afi mengumpat pelan, seorang pria berkemeja putih turun dari taksi. Kakinya terlihat panjang dan ramping dalam balutan celana kain hitam ketat. Rambutnya panjang, tapi dikuncir rapi. Tampak berkilau terkena biasan matahari senja. Perawakannya ramping, tapi berisi. Dadanya bidang. Otot-otot di lengan atasnya membuat lengan kemejanya terlihat sesak.
Pria itu menutup pintu, lalu melepaskan kacamata hitam. Rupanya dia memiliki mata yang indah; besar dan bening. Lensa matanya berwarna cokelat dan bulunya begitu lentik. Alisnya yang tebal menambah kesan mengintimidasi. Tatapannnya terlihat tajam meskipun bibirnya tersenyum.
“Hai!” sapanya dengan suara berat. “Thank you, Sir!” ucapnya kepada supir taksi yang meletakkan koper di samping kakinya.
Afi berada di situasi yang tidak nyaman. Dia gugup. Meskipun begitu, dia mencoba memasang senyum senormal mungkin agar terlihat baik-baik saja. Dia membalas sapaan pria itu sambil mendekat.
Ketika berhadapan dalam jarak setengah meter, Afi tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia bingung—antara ingin mengajukan pertanyaan basi seperti ‘Udah pulang, Om?’ atau langsung memberitahukan alasan keberadaannya di tempat ini. Ya, pria ini adalah Egi—paman sekaligus pemilik rumah megah di belakang Afi.
“Yuk!”
Satu kata ajakan itu membuat kening Afi berkerut. Sementara itu, orang yang mengucapkannya berlalu begitu saja. Suara gesekan roda koper dengan bata menjadi penghantar kebingungan Afi.
‘Yuk? Maksudnya ... dia ngajak aku masuk? Apa dia udah baca chat-nya Bang Dian?’
Sebelum Dian pulang, Afi sempat menanyakan, apakah Egi sudah membaca chat-nya atau belum. Afi masih tidak nyaman meninggali rumah orang tanpa izin yang jelas.
Ketika itu, Dian memperlihatkan chat-nya kepada Egi masih dalam keadaan centang dua. Belum biru. Normalnya, tanda itu mengartikan bahwa chat belum dibaca meskipun terkadang ada juga beberapa pengguna aplikasi yang sengaja menonaktifkan fitur read.
“Rosmalina!”
Panggilan itu membuat Afi tersentak. Kelopak matanya berkedap-kedip melihat Egi setengah berbalik.
“Why are you standing there?”
Sebenarnya itu pertanyaan biasa saja. Tidak ada nada yang mengintimidasi. Namun, entah kenapa Afi terdorong untuk berlari kecil dan berjalan sejajar dengannya yang sudah kembali melangkah.
Tidak ada percakapan sepanjang mereka menapaki rumah. Bahkan tidak ada langkah yang memulai pemberhentian. Keduanya terus melangkah hingga menaiki tangga di sisi kanan. Mereka baru berhenti saat berada di puncak tangga.
Berdiri berhadapan dengan sosok yang lama tidak dijumpai membuat Afi grogi. Dia sampai tidak berani mendongak untuk menatap mata Egi. Dia hanya menatap kerah yang satu kancingnya terbuka.
“Emmm, udah baca chat Bang Dian?” tanyanya.
Jujur, Afi kebingungan memilih kata pembuka. Tadinya dia ingin langsung meminta izin untuk tinggal beberapa hari di rumah ini. Namun, Afi cukup malas kalau harus menjelaskan alasan kenapa dia harus menginap di rumah orang. Dia sudah bosan membahas kebakaran.
“Yes.” Egi mengangguk-angguk santai. “Belum di-read, sih. Tapi, notif-nya udah kelihatan di lock screen.”
Sekarang Afi semakin bingung. Apa lagi yang harus dia katakan? Haruskah dia meminta izin ulang agar terlihat sopan?
Gara-gara kebimbangan yang memenuhi benaknya, Afi sampai tak sadar sudah menggaruk kepala sampai rambutnya berantakan. Dia pun tidak tahu kalau Egi tersenyum samar melihat anak rambut di puncak kepalanya yang berdiri.
“See you at dinner.”
Ucapan yang datang berbarengan dengan tepukan di pundak berhasil meruntuhkan kebimbangan Afi. Saat wanita itu sadar, Egi sudah melangkah membelakanginya. Sayangnya, Afi merasa bahwa pembicaraan ini belum berakhir. Belum ada kejelasan tentang izin tinggalnya di rumah ini.
“Tunggu!” pintanya sambil mengejar Egi.
Pria itu berhenti. Mereka pun kembali berhadapan.
‘Sial! Kenapa jadi gugup gini, sih?’
Afi menyesalkan tingkah jantungnya yang kampungan. Bukankah dia sudah terbiasa menghadapi manusia. Kenapa segugup ini berhadapan dengan paman sendiri? Bukankah berhadapan dengan Direktur tidak pernah semendebarkan ini?
“Why? Want to say something?” tanya Egi.
Afi menggumam dan mengangguk. “Saya butuh tumpangan selama beberapa hari. Mungkin dua atau tiga hari karena rumah saya—”
“I know. Your mother has told me. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapan pun. Selamanya juga enggak apa-apa.”
Kelopak mata Afi melebar. Sedikit terkejut dan tidak percaya mendengar jawaban Egi. Bagian yang membuat Afi tercengang adalah kalimat terakhir.
Afi mengerti bahwa Egi mungkin hanya berbasa-basi. Namun, kata ‘selamanya’ menurutnya sangat berlebihan.
“Saya enggak bakal lama-lama, kok. Begitu dapat kontrakan baru, saya bakal—”
Tubuh Afi mendadak tegang. Seluruh sarafnya berhenti beroperasi. Dia sampai tidak bernapas selama beberapa detik.
Kebekuan Afi terjadi karena sentuhan ibu jari Egi di leher kanannya. Gosokan lembut itu tidak hanya membuat bulu halusnya berdiri, tapi jantungnya juga berdetak cepat. Adrenalinnya terpantik.
Seharusnya Afi memukul tangan kurang ajar itu. Sentuhan tanpa izin ini bisa dianggap pelecehan.
Anehnya, tidak sekalipun Afi berpikir untuk menjauhkan tangan itu. Sensasi yang menggelitik kulit lehernya terasa menyenangkan sekaligus menegangkan. Terlalu dini untuk mengusirnya.
“Sorry,” kata Egi setelah berhenti. Dia memperlihatkan jempolnya yang menghitam seperti tergesek arang. “Kayaknya remah-remah tiang rumah kamu nempel di leher.”
Egi tidak ingin repot menjelaskan bahwa sebelumnya di leher Afi terdapat coretan hitam. Ketika melihat coretan kotor itu, jempol Egi merasa gatal ingin membersihkan. Dia bergerak refleks tanpa pikir panjang. Bahkan dia tidak berpikir untuk meminta izin.
“Kamu bisa tuntut saya atas pasal pelecehan kalau merasa enggak terima,” tambahnya sambil menyapukan jempol ke kain celana.
‘Ekspresinya terlalu santai untuk ukuran seseorang yang merasa bersalah. Mungkin karena dia pengacara, jadi meskipun dituntut, dia udah tau mau ngelakuin apa supaya terbebas dari jeratan hukum.’ Afi menilai dalam hati.
-----BERSAMBUNG---
Jangan lupa kasih jejak, ya, Guys! Seenggaknya, kasih semangat supaya aku rajin update. Love you all.
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan