Beranda / Romansa / Jodi Ruman / RUMAH SEMENTARA

Share

RUMAH SEMENTARA

Penulis: JihanMarc
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-17 11:23:36

“Di mana kamu sekarang?”

Pertanyaan itu datang dari sambungan telepon. Afi mengembuskan napas, lalu memindah letak HP-nya--dari telinga kiri ke kanan. Dia menekuk lutut. Saat ini dia berteduh di rumah Pak RT. Hujan deras sedang melanda.

Duduk di lantai, Afi dikelilingi benda elektronik milik tetangga yang rumahnya juga terbakar. Tidak seperti Afi, dua rumah lainnya yang menjadi korban kebakaran memiliki asisten rumah tangga yang dapat menyelamatkan barang berharga milik majikannya.

“Di rumah Pak RT,” jawabnya malas dan pelan. Afi tidak suka menarik perhatian. Apalagi dengan suaranya. Dia memilih menutupi mulut saat mengulang jawaban karena Mamanya tidak mendengar jawaban sebelumnya.

“Mama suruh Abang kamu jemput, ya.”

Afi menggeleng meskipun sadar bahwa gesture-nya takkan terbaca oleh sang penelepon. “Enggak usah, Ma. Aku bisa nginap di sini untuk sementara waktu. Lagipula—”

Afi menelan lanjutan ucapannya, lalu memeriksa layar HP. Ternyata sambungan telah terputus. Entah diputus secara sengaja atau terkendala jaringan--yang jelas Afi yakin bahwa sebentar lagi abangnya akan datang. Mamanya takkan peduli dengan larangannya barusan.

Afi memeriksa chat group kantor. Banyak rekan kerja yang mengucapkan bela sungkawa atas musibah yang menimpanya. Bahkan ada pula yang meng-update informasi tentang kebakaran di kompleknya. Entah dari mana informasi itu didapatkan.

Afi sempat berniat mengetikkan balasan. Setidaknya dia harus berkabar agar rekannya tidak khawatir. Namun, atensinya teralihkan oleh nyaringnya suara wanita yang bersahut-sahutan.

Rupanya ada pertengkaran di depan pintu menuju lorong dapur. Dua orang wanita sedang dilerai oleh wanita-wanita lain. Afi beranjak untuk mencari informasi.

“Kenapa, Bu?” tanya Afi kepada salah satu wanita paruh baya yang menonton dari kejauhan.

“Bu Inne. Baru datang, eeeh, langsung nyerang Bu Hamish. Katanya gara-gara Bu Hamish rumahnya ikut kebakaran,” papar ibu itu.

Afi hanya ber-oh pendek sambil manggut-manggut. Dia tidak terlihat terkejut. Maklum dan mafhum dengan tabiat tetangganya yang sedikit tempramental.

Afi sudah mendengar selentingan kabar mengenai asal-usul kobaran api. Meskipun tidak yakin bahwa kabar itu 100% valid karena beberapa mulut kerap melakukan aksi drama, setidaknya dia sudah mengantongi inti informasi.

Sekitar jam 11 siang, suara ledakan mengagetkan warga. Seorang saksi yang juga merupakan warga komplek melihat kobaran api dari rumah Bu Hamish. Rumah itu berada di sisi kiri rumah Afi.

Sayangnya, ada kesimpangan kabar yang masuk ke telinga Afi. Dua di antaranya adalah ART Bu Hamish. Mereka kompak mengatakan bahwa api justru dimulai dari dapur rumah Bu Inne.

Bagi Afi, tidak penting dari mana asal api bermula. Intinya, musibah sudah terjadi. Saling menyalahkan tidak akan merubah kejadian. Sebagian rumah mereka sudah menjadi arang.

“Kok, kamu kelihatan tenang? Kayak enggak ada sedih-sedihnya gitu,” komentar ibu tadi saat mengiringi Afi yang kembali duduk ke tempat semula. Dia duduk tepat di sisi kanan Afi.

Afi tersenyum. Tentu saja asumsi ibu itu tidak benar. Jika ingin hitung-hitungan soal rasa sedih, Afilah yang seharusnya mengalami kesedihan besar. Pasalnya, dia tidak bisa menyelamatkan satu pun benda berharga. Bahkan buku rekening dan dokumen penting pun habis dilahap api.

Afi bukan tipe wanita yang suka menyalahkan keadaan. Wanita kalem dan easy going ini memilih menyikapi keadaan secara rasional.

Menurutnya, menerima keadaan dengan lapang dada adalah satu-satunya sikap rasional dan menguntungkan dirinya sendiri. Ya, menguntungkan karena tidak harus mengeluarkan air mata dan pusing menghadapi rasa frustrasi.

“Mau gimana lagi, Bu? Mau marah ... saya bingung harus ke siapa. Enggak mungkin, ‘kan, saya marah-marah, nyalahin Pak RT atau satpam gara-gara gagal menjaga kekondusifan komplek?” Afi tertawa kecil sebelum melanjutkan. “Mau sedih ... enggak bisa. Percuma. Mau saya nangis seember juga keadaan enggak berubah, ‘kan?”

Ibu itu mengangguk setuju. Tak lupa menepuk pelan punggung Afi, seolah memberikan ketabahan.

“Kayaknya saya enggak perlu nyuruh kamu sabar, ya,” canda ibu itu. Disambut oleh tawa kecil Afi. Setelah tawa mereka reda, ibu itu lanjut bertanya, “Terus, kamu mau tinggal di mana? Ada rumah cadangan?”

Lagi-lagi Afi tertawa kecil. “Saya enggak sekaya itu, Bu. Enggak ada istilah rumah cadangan. Mungkin sementara waktu saya bisa tinggal di rumah Mama atau Abang. Yaaa, meskipun jaraknya jauh banget dari rumah sakit.”

Ibu itu mengangguk-angguk lagi. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi batal gara-gara bunyi HP Afi.

“Maaf, Bu. Saya jawab telepon dulu.” Afi meminta izin sebagai bentuk sopan santun. Barulah setelah mendapat anggukan dia menjawab panggilan dari rekan kerjanya.

“Halo, Pak Wisnu!” sapanya setelahh menempelkan HP di telinga kanan. Dia menyelipkan helaian rambut yang menjuntai di belakang telinga kiri.

“Halo, Fi! Saya dengar rumah kamu kebakaran, ya? Gimana keadaannya sekarang?” tanya si penelepon.

Alih-alih langsung menjawab pertanyaan, Afi lebih dulu mengucapkan permintaan maaf. “Tadi saya mau ke ruangan Bapak. Pas mau naik lift, eh, dapat kabar beginian.”

“Ah, enggak apa-apa. Tadi si Jerry udah ngecek komputer saya. Udah di-repair juga dan sekarang udah normal. Everything is getting better.”

Sebelum menerima telepon Pak RT soal rumahnya kebakaran, Afi berniat mendatangi bagian kepegawaian. Beberapa menit sebelum itu dia mendapatkan telepon personal dari Wisnu Hadi—Kabag Kepegawaian. Wisnu melaporkan bahwa komputer di ruangannya tiba-tiba hang*. Namun, setelah dimatikan secara paksa—dengan cara mematikan power CPU—dan dihidupkan kembali, komputer malah mengalami bootloop**.

*Komputer tiba-tiba macet. Stagnan dan tidak bisa dioperasikan.

**Bootloop adalah kondisi di mana komputer tidak bisa masuk ke halaman utama—mati sendiri—meskipun sudah melalui proses booting.

Afi berjanji akan segera mengatasi permasalahan Wisnu. Atas alasan itulah dia hendak menaiki lift menuju lantai 2—kantor manajemen rumah sakit. Sayangnya, Afi batal memasuki lift dan berakhir absen setengah hari gara-gara musibah yang menimpa rumahnya.

Setelah menceritakan kabar penyebab kebakaran yang masih simpang siur, Afi mengatakan bahwa kemungkinan besok akan kembali absen. “Besok saya mau cek puing-puing dulu. Siapa tau ada benda berharga yang enggak ikut kebakar.”

Wisnu mengizinkan. Dia memaklumi keadaan Afi. Bahkan dia mengatakan bahwa Afi boleh absen beberapa hari sampai kondisinya sudah memungkinkan. Urusan pekerjaan, katanya Afi tidak perlu khawatir. Anak buah Afi dapat diandalkan.

Afi sangat berterima kasih atas pengertian seniornya itu. Dia berjanji akan segera kembali bekerja kalau keadaan sudah sedikit normal.

Afi berniat mengakhiri pembicaraan. Saat saling mengucapkan salam perpisahan, ekor matanya menangkap sosok pria berjaket hitam yang bersalaman dengan Pak RT di ambang pintu. Pria itu adalah Suryani Diantoro, abangnya.

“Cepat banget sampainya. Naik jet pribadi?” canda Afi saat abangnya berjabat tangan dengan ibu di sampingnya.

“Hari ini Abang cuti. Memang udah ada rencana mau nengokin kamu. Pas mau jalan, eh, dapat kabar buruk dari Mama. Yaaaa, langsung, deh, Abang ngebut ke sini,” papar Dian sambil bersila di sisi kiri Afi.

Ibu yang duduk di sisi kanan Afi pamit pergi. Alasannya ingin menguping gosip pertengkaran Bu Inne dan Bu Hamish yang sudah reda. Afi tahu bahwa ibu itu sebenarnya hanya tidak nyaman berada di antara dia dan abangnya.

“Ini semua barang-barang kamu?” tanya Dian. Matanya menyapu benda-benda elektronik di sekeliling mereka.

“Bukan. Punya tetangga. Punyaku enggak ada yang bisa diselamatkan.” Afi menyandarkan punggung dan kepala ke tembok sambil mengantongi HP. “Sekarang aku miskin banget, Bang. Hartaku ludes. Persis kayak orang yang kena azab.”

Dian mendecakkan lidah. “Harta bisa dicari lagi, Dek. Yang penting kamu selamat—enggak kenapa-kenapa.” Dia mengacak rambut Afi. “Oh, ya. Soal rumah, tadi Abang udah izin ke Egi. Kamu bisa tinggal di rumahnya untuk sementara waktu.”

Afi tampak terkejut. Kelopak matanya melebar. Punggung dan kepalanya menjauh dari tembok. Bibirnya sedikit menganga.

“Rumah Om Egi?” beonya dengan nada tak percaya.

---BERSAMBUNG---

Hai, Guys! Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Beri dukungan padaku dengan memberikan komen dan vote sebanyak mungkin. See you. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jodi Ruman   KANGEN?

    Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko

  • Jodi Ruman   KLINIK

    “Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin

  • Jodi Ruman   HUJAN, RONDE, DAN PEMBALUT

    “Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan

  • Jodi Ruman   MENGUPING

    “Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na

  • Jodi Ruman   WEEKEND MURAH DAN AMAN

    Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i

  • Jodi Ruman   JAHAT

    Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status