"Itu muka apa jemuran baru diangkat sih? Kusut amat," olok Angga yang baru saja masuk ke dalam ruangan Gala dan melihat raut sahabat sekaligus bosnya itu tampak muram.
Jika sudah berbicara seperti ini, Angga sudah menanggalkan statusnya yang merupakan asisten Gala. Untuk kali ini lelaki berambut ikal itu menempatkan dirinya sebagai sabahat Gala.
Dan sebagai sahabat yang baik tentu saja ia harus bisa menjadi tumpahan segala keluh kesah sahabat kita bukan?
"Aku putus sama Gendis?"
Uhuukk.. Uhuukk...
Angga tersedak teh yang baru saja ia minum. Beruntung saja ia tak menyemburkan minuman itu ke wajah Gala. Bisa digantung di pohon tomat kalau hal itu sampai terjadi.
"Jorok banget sih, Ngga," omel Gala tak suka.
"Sorry, sorry, aku nggak sengaja."
Angga menarik selembar tisu tuk kemudian ia usap di sekitar mulutnya. Namun, matanya tetap menelisik wajah Gala tuk mencari kebohongan yang mungkin saja disembunyikan oleh sahabatnya tersebut.
Angga segera mengusir pikirannya yang menganggap jika Gala tengah berbohong saat melihat raut serius di wajah Gala. Tak urung hatinya bertanya-tanya. Ia cukup tahu bagaimana hubungan Gala dengan Gendis. Dan saat mendengar kabar tak mengenakkan itu membuat Angga diserang rasa penasaran.
Yang Angga tahu hubungan Gala dan Gendis selalu baik-baik saja. Keduanya seolah saling melengkapi satu sama lain. Gala adalah tipe laki-laki yang selalu menjaga apa yang sudah menjadi miliknya.
Bahkan untuk sekedar rencana Gala yang akan melamar Gendis pun Angga sudah tahu.
"Aku masih nggak ngerti deh, Gal."
Gala yang sedang menggerakkan kursi yang ia duduki dengan asal seketika menghentikan gerakannya. Lelaki itu menatap ke arah Angga dengan tatapan penuh tanya. Padahal orang yang paling penasaran di sini adalah Angga.
"Nggak ngerti apa?" tanya Gala tak paham.
Angga menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Lelaki itu menyilangkan tangannya di bawah dada.
"Ya nggak ngerti aja. Bukannya selama ini hubunganmu sama Gendis baik-baik aja? Terus kenapa kalian sampai putus, hm? Kamu nggak lagi ngepank kan, Gal?"
Gala mendengkus pelan mendengar kalimat terakhir Angga. Mana mungkin ia menggunakan hubungan sebagai bahan bercandaan seperti itu. Hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dimasukkan ke ranah lelucon.
"Tante Fatma nggak setuju kalau aku nikah sama Gendis."
"Lho? Kenapa?"
"Weton kita nggak cocok untuk menjalin hubungan rumah tangga."
"Haa?"
Angga menatap Gala tak percaya. Mungkin jika Gala dan Gendis putus dengan alasan kesalahpahaman, Angga masih bisa percaya. Tapi ini?
Bukankah alasan tersebut terkesan seperti mengada-ada.
"Kamu serius, Gal?"
"Terserah kalau kamu nggak percaya," ujar Gala acuh. Ada gurat keputus-asaan yang dapat Angga rasakan pada ucapan sahabatnya itu.
Gala menengadahkan kepalanya lalu memejamkan matanya sejenak. Sampai detik ini ia juga belum memberi kabar pada Gendis. Ia takut jika nantinya hatinya terlalu rapuh untuk menghadapi keputusan ini.
"Tapi emangnya kamu bakalan putusin Gendis gitu aja?"
"Ya, nggaklah. Aku tetep bakal perjuangin Gendis tapi sekarang bukan waktu yang tepat buat menentang keputusan Tante Fatma," ucap Gala lugas.
Sekarang Angga paham dengan apa yang dilakukan oleh Gala. Terkadang seseorang perlu mundur sedikit tuk memiliki jarak lompatan yang lebih jauh. Seperti itu yang sedang Gala terapkan dalam hidupnya.
Ia menyetujui untuk berpisah dengan Gendis, tapi bukan berarti Gala lepas tangan begitu saja. Mungkin saja Gala hanya ingin mendinginkan suasana yang sedikit memanas.
Dering ponsel yang memekakkan telinga membuat ruangan Gala yang terasa dingin menjadi terasa lebih 'berpenghuni'. Gala meraih ponsel yang tergeletak di tangannya dan menemukan nama Janu tertera di layarnya yang berkedip.
"Halo, Bang."
"Bantu aku bujuk Gendis dong, Gal."
Gala merubah posisi duduknya setelah mendengar nama Gendis disebut. Dari nada suaranya terlihat jelas jika Janu merasa khawatir.
"Emangnya Gendis kenapa, Bang?"
Terdengar helaan napas dari seberang yang membuat Gala menunggu jawaban Janu dengan gusar. Hatinya ikut merasa khawatir meski ia belum tahu apa yang telah terjadi dengan perempuan yang masih menempati posisi pertama di hatinya.
"Dia nggak mau makan sejak kemarin. Aku khawatir kalau Gendis bakal sakit nanti."
Gala memejamkan matanya sejenak. Ia tak tahu jika Gendis akan berbuat nekat seperti itu. Kalau sudah seperti ini, Gala menjadi merasa bersalah dengan Gendis.
Terlebih lagi, Gala tahu jika Gendis memiliki riwayat penyakit maag yang cukup kronis. Bisa bahaya jika Gendis dibiarkan tidak makan terus-menerus.
"Abang di rumah nggak sekarang?"
"Aku ada di rumah sekarang. Aku juga udah coba bujuk Gendis buat makan tapi hasilnya nihil, Gal," ungkap Janu, "Gendis bener-bener nggak mau makan kalau bukan kamu yang bujuk."
Kali ini giliran Gala yang menghela napasnya pelan. Meski Fatma tak membatasi pertemuannya dengan Gendis tapi Gala juga tak mungkin datang ke rumah Gendis. Setidaknya untuk aaat-saat ini.
"Boleh nggak, Bang, kalau Gala ngomong sama Gendis lewat handphone Abang?"
Terdengar jeda sejenak. Gala sampai melihat ke layar ponselnya tuk mengecek apakah teleponnya masih tersambung atau tidak.
"Dia nggak mau kalau kamu nggak ke sini, Gal."
"Astaga, aku nggak enak sama Tante Fatma, Bang," tukas Gala lirih.
"Mama lagi nggak ada di rumah kalau kamu mau ke sini, Gal."
Ucapan Janu membuat Gala menghembuskan napasnya pelan. Ia harus berpikir berulang kali apakah ia harus datang ke rumah Gendis atau tidak. Tapi jika ia tak datang, bagaimana dengan keadaan perempuan yang masih ia cintai nanti?
"For your information kalau Mama lagi ikut Papa ke luar kota. Mungkin lusa baru pulang." Suara Janu dari seberang menarik kembali Gala pada kenyataan.
Gala melirik ke arah Angga yang masih senantiasa menunggu atau memang ingin menguping pembicaraannya dengan calon kakak iparnya itu.
"Oke, Bang. Nanti aku usahain dateng ya. Aku masih ada kerjaan soalnya."
"Thank you, Gal. Aku tahu kalau kamu tulus sama adikku."
Setelah berbicara selama beberapa detik, Gala memutus sambungan teleponnya. Rasanya ia ingin segera bertemu dengan Gendis. Namun, mengingat perkerjaannya yang masih menggunung membuat Gala mengurungkan niatnya.
"Kenapa sama Gendis?"
"Dia nggak mau makan sejak kemarin," beritahu Gala pada Angga. "Orang di rumahnya nggak ada yang berhasil bujuk dia."
"Secinta itu dia sama kamu?" tanya Angga dengan nada mengejek, "Padahal Gendis punya semua hal yang bisa sekedar untuk mencari pengganti kamu lho."
Gala melemparkan bolpen ke arah Angga. Beruntung lelaki itu bisa menghindari serangan dari bosnya tersebut.
"Sialan, lo."
Angga terkekeh pelan saat melihat raut wajah kesal Gala. Setidaknya itu lebih baik daripada ia berwajah muram.
"Sebenarnya aku punya cara jitu biar Tante Fatma restuin kalian."
Raut wajah Gala berubah sumringah mendengar ucapan Angga. Ia terlihat antusias mendengar perkataan asistennya yang belum selesai.
"Emang gimana caranya?"
"Kamu yakin mau denger saran dari aku?"
Gala mendecakkan lidahnya kesal, "Nggak usah bertele-tele deh, Ngga. Jadi, sebenarnya kamu punya solusi nggak sih?"
"Sabar, Boss." Angga menjawab dengan ringan, "Kalau cara jitunya sih ya kamu hamilin aja Gendis karena mereka nggak mungkin biarin Gendis hamil tanpa suami, kan?"
Gala mengumpat keras mendengar saran gila dari Angga, "DASAR SINTING!!"
"Bisa nggak kalau permintaan kamu nggak aneh-aneh kayak gitu?"Gendis mengerucutkan bibirnya saat Gala mengatakan jika permintaannya aneh-aneh. Padahal menurutnya permintaannya cukup sederhana. Pergi bersama Gala sepertinya adalah hal lumrah. Tapi Gala malah menyebutnya seolah adalah hal yang tak bisa dikabulkan."Permintaanku itu simpel tahu, Mas," elak Gendis tak mau disalahkan. "Emangnya kamu beneran bisa terima kenyataan kalau aku nikah sama orang lain?"Pertanyaan Gendis begitu sarat akan ancaman. Semua itu bukanlah gertakan Gendis belaka. Nyatanya, perempuan itu memang akan menikah dengan laki-laki lain yang merupakan pilihan ibunya.Gala tahu itu. Lantas Gala bisa apa? Gala memang pernah mendengar pepatah yang mengatakan jika sebelum janur kuning melengkung seseorang masih milik semua orang. Namun, apakah Gala bisa berbuat suatu hal yang menurutnya sangat menyimpang dari prinsipnya.Sekalipun rasa sakit menghujam hatinya, mau tak
"Bukannya kamu tahu semuanya tentang aku bahkan lebih dari diriku sendiri?"Perkataan itu terus saja terngiang di kepala Gendis. Apa yang dikatakan Gala memang tak sepenuhnya salah. Namun, Gendis tak mau termakan oleh pemikiran yang bisa saja salah. Sekalipun Gala masih menunjukkan rasa perhatiannya. Pun dengan panggilan sayang yang Gala berikan untuknya. Semua itu tak serta merta membuat Gendis bisa membumbungkan rasa kepercayaan diri jika Gala.... masih menginginkannya. Dalam hal ini, Gendis ingin jawaban yang konkret. "Aku memang tahu semuanya tentang Mas Gala tapi aku kan nggak selamanya bisa tahu isi hatimu, Mas," kata Gendis setelah sekian lama terdiam. Sejak Gala memberi jawaban yang cukup ambigu, keduanya memang tak terlibat dalam percakapan apapun. 15 menit setelah mereka selesai makan, Gala mengajak Gendis dan mengatakan jika akan mengantar perempuan itu. Selama itu pula Gendis hanya menurut kemauan Gala dan Gala hanya akan berbicara seper
(Hollaaa, maaf banget buat yang udah baca bab sebelumnya dan menemukan banyak kata yang keulang. Tapi udah aku revisi pas ngerasa ada yang aneh sama bab yang aku upload) ***Gala tak menyangka Gendis masih mengingat apa yang ia suka dan apa yang tak ia suka. Rasanya ia seperti dihadapkan pada waktu ketika hubungan mereka masih terasa hangat. Saling memiliki satu sama lain dan terasa membahagiakan. Gala sadar jika Gendis memahami semua tentang dirinya melebihi diri Gala sendiri. "Kamu... gimana kabarnya, Dis?" tanya Gala setelah hanya tinggal mereka berdua. Senyum terkembang di wajah Gendis. Perempuan itu sedikit menundukkan tuk menyembunyikan kesedihannya. "Aku baik, Mas," sahut Gendis menipiskan bibirnya skeptis, "tapi nggak dengan hatiku," lanjutnya dalam hati. Gala mengangguk paham. Suasana saat ini cukup canggung. Gala yang merasa bersalah karena mengajak Gendis yang notabenenya adalah tunangan orang lain dan Gendis yang merasa jika Gala sedikit me
Ada perasaan yang tak bisa Gendis ungkapkan saat ini. Entah mengapa ia merasa gugup. Kedua kakinya seolah tak bisa diam begitu saja ketika ia sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu- Manggala Yuda. Gendis merasa seperti abg yang sedang dilanda kasmaran. Terlalu konyol untuk sikap seseorang yang pernah menjalin hubungan selama 5 tahun. Gendis tahu jika pertemuan ini tak sesimpel yang ada dalam bayangan kepalanya. Ini bukanlah sebuah pertemuan ‘kencan’ seperti pasangan pada umumnya. “Kamu udah lama datengnya, Dis?” Gendis mendongak ketika suara berat menyapa indra pendengarannya tuk mendapati Gala-seseorang cyang tengah ia tunggu dan membuatnya merasa gugup berdiri di depannya. Lelaki yang terlihat tampan dengan kemeja maroon yang lengannya digulung sampai siku itu menarik kedua sudut bibirnya ketika mata mereka saling bertemu. Tampan. Satu kata itulah yang seketika terlintas dalam benak Gendis. Ya, hal itu sepertinya sudah tak diragukan lagi. Gala m
Setiap orang tua pasti mau anaknya bahagia. Sekalipun itu bertentangan dengan 'keinginan' sang Anak. Hal itu adalah perasaan yang Dea rasakan. Setelah pertemuan pertama dengan Shiren, ia merasa jika perempuan yang merupakan teman kerja Dana adalah perempuan yang cocok untuk Gala. Shiren adalah perempuan baik, santun, dan cantik. Rasanya tak ada satupun hal yang membuatnya untuk tak menyukai Shiren. "Kamu udah pulang, Mas?" tanya Dea begitu Gala memasuki ruang keluarga di mana saat ini perempuan itu tengah menikmati reality show yang disiarkan salah satu TV swasta. Gala berhenti dan menoleh ke arah sang Mama. Lelaki itu tersenyum seraya mengangguk kecil. "Mama belum tidur?" tanya Gala balik. Ia melirik ke arah jam yang terpajang cantik di dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia cukup tahu kebiasaan mamanya yang selalu tidur jam 9. Untuk itu Gala pun tentu merasa heran saat melihat Dea masih berada di ruang keluarga ketika ia baru saja pula
"Dis, Abang pinjem charger laptop—LAH, kamu nangis?"Januar baru saja masuk ke kamar Gendis tanpa mengetuk pintu terlebih dulu dan tertegun saat mendapati Adiknya sedang duduk sambil memeluk boneka Panda kesayangannya. Januar melihat air mata mengalir di pipi Gendis dan hal itu selalu membuatnya tak suka. Ia memang bukan kakak yang baik karena selalu jahil dengan adiknya. Namun, melihat bagaimana Gendis mengeluarkan air mata tentu bukanlah hal yang ia sukai. Sekalipun mereka sering bertengkar, Januar mau Gendis selalu tersenyum setiap saat. Gendis hanya melirik ke arah Januar yang berdiri di tengah kamarnya. Ia merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu sehingga siapapun bisa masuk ke kamarnya dan melihat fakta ini. Selain itu, rasanya Gendis juga ingin menjawab pertanyaan Januar dengan suara lantang. "UDAH TAHU NANGIS, MASIH NANYA LAGI!" Mungkin seperti itulah Gendis akan menjawab pertanyaan sang Kakak. Akan tetapi saat ini, ia merasa malas unt