Share

Pemikiran yang Berbeda

"Gendis kok lama nggak main ke sini ya, Gal? Kalian lagi marahan ya?"

Gala yang tengah memindah channel TV dengan asal mendongak dan seketika melihat Dea—mamanya berjalan ke arahnya. Perempuan itu membawa piring berisikan buah yang sudah ia potong kecil-kecil tuk kemudian bergabung dengan anak laki-lakinya. 

Usia Gala memang sudah dikatakan dewasa. Namun, jika sudah berdua dengan mamanya lelaki itu akan bersikap manja. Seperti saat ini, baru saja Dea mendudukkan tubuhnya Gala sudah merubah posisinya dan berbaring dengan paha sang mama yang ia jadikan bantal. 

"Kami nggak lagi marahan kok, Ma." Gala memejamkan matanya saat Dea mengusap rambuh hitamnya dengan lembut. Kasih sayang seorang ibu yang begitu tulus sampai membuat Gala dulu memiliki cita-cita untuk mempunyai istri seperti mamanya. 

Selama mulai merasakan hubungan percintaan barulah dengan Gendis Gala bisa menemukan sosok yang ia cari. Perempuan mandiri, tidak banyak menuntut, dan apa adanya meski keadaan hidupnya lebih dari sekedar cukup. 

"Tapi kok tumben juga kamu hari Minggu ada di rumah? Biasanya juga ngapel ke rumah Gendis," ujar Della yang penasaran dengan keberadaan Gala di rumah di hari libur. 

Perempuan yang masih cantik di usia senja itu cukup hafal dengan kebiasaan anak-anaknya. Gala akan menghabiskan waktu liburnya bersama Gendis. Dan hari ini? Lelaki itu bahkan merasa malas untuk beranjak dari depan televisi. 

Padahal Dea yakin kalau Gala tak sepenuhnya menikmati tayangan televisi yang ia tonton. 

Gala menghela napas panjang. Ia kembali merubah posisinya menjadi duduk. Kepalanya ia sandarkan di lengan mamanya. Hal yang seharusnya dilakukan oleh Dea. Namun, malah sebaliknya. 

"Kayaknya Gendis nggak bakal main ke sini lagi deh, Ma."

Dea mengerutkan keningnya dalam. Perempuan itu mencerna ucapan yang Gala lontarkan. Pun ingin memastikan jika telinganya tak salah mendengar. 

"Kalian putus?"

Gala mengangguk lemah. Semangat hidupnya seolah hilang tak berbekas. Untuk itu, Gala sampai tak tahu harus apa untuk menghabiskan waktu liburnya. 

"Kok bisa?" tanya Dea

 penasaran, "Bukannya kalian nggak pernah berantem ya? Kamu nggak sakitin Gendis kan, Gal?"

"Yang anak mama itu Gala atau Gendis sih, Ma?" Gala menipiskan bibirnya, "Kenapa kesannya kok malah mama lebih khawatir sama Gendis?"

Dea tertawa pelan saat mendengar anaknya sedikit merajuk. Niat hati ingin mengobati rasa penasarannya malah berujung pada kekesalan Gala. 

"Ya, kalian itu anak-anak mama, Gal. Kamu anak mama tapi Gendis juga udah mama anggap anak sendiri tau."

Gala tersenyum miris. Akan sangat bahagia jika saat ini hubungannya dengan Gendis berjalan baik-baik saja. Sayangnya, ia harus menahan gejolak yang membara di hatinya mengingat bayang-bayang tradisi menghantuinya. 

"Tapi sekarang udah lain ceritanya, Ma," ujar Gala lemah, berat rasanya ingin mengatakan hal ini pada mamanya. Padahal biasanya lelaki itu tak tanggung-tanggung jika membagi ceritanya pada Dea. 

"Gala terpaksa harus mengakhiri hubungan dengan Gendis, Ma."

Dea menunduk tuk menatap anaknya. Ia tak paham dengan maksud yang Gala ucapkan. 

Terpaksa? 

Mengakhiri hubungan? 

Bagaimana ini bisa terjadi? 

Bukankah hal seperti ini hanya terjadi di drama atau novel yang sering Ochi baca? 

"Mama nggak lagi ulang tahun, Gal. Jadi, nggak usah prank kayak gini deh. Mama nggak suka," tukas Della. 

Gala mengusap wajahnya gusar, "Ini bukan prank, Ma. Apa yang Gala omongin itu kenyataan. Gala udah nggak ada hubungan apa-apa sama Gendis."

"Kok bisa sih?" Dea menggeleng tak percaya. Ia sudah seperti saksi bagaimana perasaan menggebu yang Gala dan Gendis miliki. Maka dari itu, sulit sekali Dea untuk percaya dengan ucapan Gala. 

"Tante Fatma nggak setuju Gala nikah sama Gendis, Ma. Dan ya,"–Gala mengedikkan sebelah bahunya– "Gala terpaksa harus putus sama Gendis."

Dea memejamkan matanya sejenak. Informasi yang baru saja ia dapat ini cukup membuat jantungnya berhenti berdetak. Pasalnya, ia sudah cocok dengan Gendis untuk menjadi menantunya. Perempuan itu baik, ramah, mandiri, dan masih banyak point plus yang dimiliki oleh Gendis. 

Tentunya Gendis adalah perempuan yang membuat Gala bahagia. Itu point utamanya. Dea memang tipe ibu yang selalu mengutamakan kebahagiaan anak-anaknya selama itu menjurus pada hal yang positif 

"Mama percaya nggak sih perkara jodoh weton dan semacam itu?" tanya Gala setelah beberapa menit terdiam. Ia ingin tahu apakah mamanya juga penganut tradisi seperti itu. 

"Kalau Mama sih nggak terlalu mikirin hal semacam itu ya, Gal. Kita punya Tuhan untuk berserah diri. Jadi, ya sudah... pasrahkan saja semua sama yang di atas," tutur Dea lugas. "Kamu kok tumben sih tanya-tanya yang begituan? Ini kamu nggak lagi coba ngalihin pembicaraan biar Mama lupa tanya kamu soal kenapa Tante Fatma nggak setuju sama kamu kan, Gal?"

"Mama nih curigaan mulu deh kalau sama Gala," cetus Gala yang merasa Dea selalu memojokkannya. 

Dea terkekeh pelan, "Ya, bukan masalah curigaan, Gal. Lagian Mama kan juga cuma nanya."

Gala menahan diri untuk tak memutar bola matanya. Lelaki itu memilih menghela napas panjang sebelum menjawab hal yang membuat Dea begitu penasaran. 

"Tante Fatma bilang kalau weton Gala sama Gendis itu nggak cocok makanya beliau nggak setuju kita nikah."

"Astaga...." Dea menutup mulutnya dengan telapak tangannya, "Kamu serius, Gal? Mama nggak nyangka kalau Mbak Fatma orangnya berpegang sama tradisi seperti itu."

Dea memang sudah mengenal sosok Fatmala Raharjo yang merupakan Mama Gendis. Ia mengenal Fatma sebagai perempuan modern yang ramah dan berwawasan luas. Untuk itu, ia tak menyangka jika Fatma masih memegang teguh tradisi zaman dulu. 

"Sama, Ma. Gala juga nggak nyangka kalau ini bakal terjadi sama Gala."

Dea mengusap lengan Gala dengan seduktif. Ia tahu bagaimana perasaan anaknya saat ini. Senyum terkembang di wajah cantik Dea. 

"Mama akan selalu dukung kamu, Mas. Semisal kamu tetap perjuangin Gendis pun Mama juga akan ada dipihak kamu karena bagi Mama kebahagiaan anak mama adalah hal yang utama," ujar Dea tulus. 

Hati Gala menghangat mendengar ucapan sang mama. Ia merasa begitu beruntung memiliki ibu seperti Dea. Jadi, tak salah jika Gala ingin memiliki seorang istri yang seperti mamanya. 

"Makasih, Ma. I love you to the moon and back mom."

Dea mencebikan bibirnya, "Kalau udah gini pasti ada maunya nih."

Tawa terdengar dari bibir Gala. Lelaki itu seketika memeluk Dea kuat-kuat. Gala bak laki-laki dewasa yang menjelma menjadi anak usia 5 tahun. Manja dan menggemaskan. Gala seolah tak malu dengan usianya yang sudah mencapai kepala tiga. 

"Mama emang best deh, tapi nggak ter the best kalau nggak bikinin Gala scramble egg," ucap Gala sambil meringis. 

Dea mendengkus pelan seketika. Kalau Gala sedang dalam mode manja seperti itu, Dea sering bertanya-tanya dalam hati dengan usia Gala yang sudah lebih dari sekedar siap untuk membina rumah tangga. 

Tapi tak jarang juga Dea berpikir, sudah relakah ia melepaskan Gala pada perempuan yang akan menjabat sebagai menantunya nanti? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status