“Lo ngapain di sini, Bre?” tanya Cassie spontan ketika melihat kehadiran sahabat sekaligus lelaki yang dia sukai, Bryan. Ia hanya takut kalau Bryan salah paham melihat dirinya yang baru saja keluar dari toko perhiasan.
Lihat saja tatapan Bryan yang tertuju padanya, Bisma, lalu ke arah toko emas itu secara bergantian.“Lo sendiri ngapain di sini?” Bryan menoleh pada Bisma. “Dia siapa?”Mendapat pertanyaan itu, Cassie langsung menitikkan keringat dingin. Kenapa juga ia harus sebegitu canggungnya? Bukankah dirinya dan Bryan tidak ada hubungan apa pun?“Oh, ini ... kenalin, Bre, ini—“Bisma dengan segera mengulurkan tangan pada lelaki di hadapannya.“Saya Bisma, calon suami Cassie.”Cassie hanya nyengir saja kala Bryan melemparkan tatapan ke arah Cassie. Antara kaget, tak percaya, sekaligus memohon penjelasan.Oke, Cassie akan menjelaskan. Namun, tentu saja tidak di tempat itu.“Sudah, kan? Ayo kita pulang sekarang!” ajak Bisma, kemudian berjalan lebih dulu tanpa berniat menunggu Cassie yang kebingungan apakah akan tinggal di saan untuk memberi penjelasan ataukah mengekor langkah sang calon suami yang sejak tadi ketus terhadapnya.“Gue pergi dulu, ya, Bre ....” Cassie bergegas setelah melambaikan tangan pada sahabat sekaligus lelaki yang ia sukai yang masih menatap punggungnya yang menjauh itu.Bryan tidak percaya, tentu saja. Bukankah Cassie tidak pernah memiliki pacar selama ini. Apalagi yang tadi ... seperti om-om jika berjalan bersama dengan Cassie yang notabene masih tampak imut-imut di usianya yang juga tergolong masih belia.Dua puluh tahun dan disuruh menikah dengan seorang om-om?Bryan mungkin akan lebih terkejut lagi kalau tahu bahwa Bisma adalah seorang duda.“Mas Bisma, stop! Aku capek, nih! Kenapa cepat-cepat, sih, jalannya?” Cassie yang berusaha mengekor langkah lebar Bisma, tampak mulai kewalahan. Tentu saja ia tak mampu mengikuti tubuh tegap di depannya.Terlebih lelaki itu tak juga hentikan langkah meski ia tahu Cassie tertinggal jauh di belakang.Pintu mobil sudah terbuka untuknya, tetapi Bisma tak menunggu sampai Cassie masuk, sudah ia tinggalkan masuk ke depan kemudi. Cassie hanya menanggapi itu semua dengan cemberut.“Kenapa harus buru-buru, sih, Mas? Aku sampe engap ngejar Mas Bisma,” protes Cassie yang masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang sudah tak beraturan.Untung saja tidak sampai copot.“Memangnya mau apa lama-lama di sana? Biar deket sama mas-mas yang tadi?” sergah Bisma, yang mulai menunjukkan sikap posesif.Bukan, dia bukan posesif karena cinta, melainkan karena kesal melihat Cassie yang salah tingkah di hadapan Bryan. Terlepas apakah Bisma cinta atau tidak terhadap Cassie, melihat interaksi antara calon istrinya dan lelaki lain, tentu saja membuatnya tak suka.Cassie yang masih terengah saat sudah tiba di dalam dan duduk manis di samping sang pengemudi tanpa berkata-kata, hingga tiba di rumah. Bisma hanya mengantar Cassie sampai ke dalam, berpamitan pada sang calon ibu mertua, Monika. Dan jangan ditanya apa lagi yang ia lakukan, langsung pergi, tentu saja.***Bisma tiba di apartemennya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa, memijit keningnya yang terasa berdenyut nyeri. Hari ini terlalu melelahkan baginya, yang sejak tadi sama sekali belum sempat merebahkan tubuh sama sekali.Kali ini ia berniat untuk rehat, tetapi sepasang lengan melingkar di leher lelaki itu dan memeluknya dari belakang.“Kamu ke mana aja, sayang? Aku nungguin kamu dari tadi. Aku kangen banget,” ucap wanita yang ternyata sudah sejak tadi berada di apartemen pribadi milik Bisma dan selalu melakukan itu setiap hari selama menunggu lelaki itu pulang bekerja.“Kerja,” jawabnya, singkat.Wanita itu bangkit, melepaskan rangkulannya dan memutari sofa demi berpindah ke hadapan lelaki itu, lalu duduk di pangkuannya. Lagi, ia melingkarkan lengannya pada pinggang Bisma dan menyandarkan kepala pada dada bidangnya.“Iya, tahu kalau kamu kerja. Tapi kok pulangnya gak kayak biasanya?” tanya wanita itu dengan nada suara yang dibuat manja.“Saya ada urusan.” Bisma menjawab lagi, masih dengan singkat seolah tak ingin berurusan dengan perempuan yang kini ada di pangkuannya.“Memangnya gak kangen sama aku?” Satu pertanyaan lagi yang tak juga direspon oleh lelaki itu, akhirnya membuat sang wanita menyerah.“Ya udah, gak apa-apa. Yang penting kamu sekarang udah di rumah. Aku udah masak, lho. Gulai ayam sama tumis daun singkong, kesukaan kamu!” ujar perempuan itu, gembira. Namun, Bisma tampak tidak tertarik.Ia kemudian bangkit dan meninggalkan perempuan yang tetap mengekornya hingga ke kamar.“Bisma, sayang! Kenapa sih kamu cuek gini? Biasanya enggak,” rengeknya. Mendengar pertanyaan itu, Bisma terdiam seolah membenarkan perkataan perempuan itu, bahwa hari ini ia memang berbeda.Mungkin bukan beda, melainkan hanya lelah.Lelaki yang semula memunggungi perempuan itu akhirnya berbalik dan menatap wajah ayu di hadapannya.“Maaf Tamara, aku Cuma capek. Kamu bagaimana bisa masuk?” tanya lelaki itu, berusaha bersikap lembut, setelah beberapa menit lalu memberi respon dingin pada sang kekasih.“Kamu lupa? Aku punya kunci cadangan dan aku biasa ngelakukan ini, kan? Kok tumben kamu tanya?” selidiknya. “Bisma, aku kangen banget ....”Jika perempuan itu sudah merengek, tandanya ada yang diinginkan olehnya. Bisma pun hanya lelaki biasa yang tentu saja memiliki hasrat dalam dirinya. Sekokoh apa pun benteng yang ia bangun, jika godaannya jauh lebih kuat, maka ia tak mungkin bisa menghindar.Ia lelaki yang cukup digandrungi, karena segala yang ia miliki. Jabatan, kekayaan, dan terlebih tampilan yang menawan. Tak ada yang akan ungkiri itu.Jadi tak heran, jika dirinya masuk ke dalam jajaran pebisnis yang sukses, sekaligus seorang kasanova.Namun, mengherankan ketika pada akhirnya, ia memilih Tamara sebagai tambatan hatinya. Bukan karena sungguh-sungguh mencintai wanita itu, melainkan untuk sebuah status dan pelarian.Bisma meraih perempuan itu dengan lengannya, melingkarkannya di pinggang sang kekasih, memagut dan mengecup bibir ranum berpoleskan pewarna bibir yang mencolok, menyesap manis yang tak pernah bisa ia lupakan.Namun bukan, bukan bibir perempuan itu yang masih terbayang, melainkan yang lainnya. Perempuan yang tak akan pernah bisa ia hilangkan dari ingatannya sekuat apa pun ia berusaha menjalin hubungan dengan yang lain.“Kamu cantik sekali,” puji Bisma pada Tamara, tetapi dalam batin lelaki itu, bukan Tamara wanita yang ingin ia sanjung sedemikian rupa.Bahkan ketika dirinya bergerak teratur di atas sang kekasih, wajah perempuan itu yang terbayang, aroma tubuhnya yang terhidu oleh Bisma. Bahkan saat dirinya mencapai puncak kenikmatan, nama perempuan lain itu yang ia sebut dengan lirih.Sayangnya, kali ini, Tamara mendengarnya dengan jelas. Namun, ia hanya bungkam, karena setiap kali mereka melakukannya dan nama itu disebut oleh Bisma, yang terjadi di antara mereka hanyalah pertengkaran.Bisma tak bisa bayangkan jika Tamara sampai tahu bahwa kedua orang tuanya sudah menjodohkan dirinya dengan perempuan lainnya lagi yang pasti akan menjadi saingan barunya.Namun, di dalam hati Bisma, hanya satu nama perempuan yang tak pernah lekang oleh apa pun.Cassie baru saja merebahkan bokong di kursi kerjanya, panggilan dari ruangan si bos membuatnya tak berkutik. Tidak mungkin untuk tidak memenuhi apa yang diinginkan lelaki itu, karena Bisma sekarang punya dua kedudukan dalam hidup Cassie. Sebagai bos sekaligus calon suami. Cassie bangkit lalu dengan malas melangkah menuju ke ruang keramat tersebut. Bagaimana tidak malas, melihat wajah ganteng Bisma mungkin bisa menyegarkan otak, tetapi kalau kumat galaknya itu yang mana tahan. Ia mengetuk tiga kali, lalu masuk saat suara bariton itu memerintahkannya untuk masuk. “Duduk, Cassie!” perintah Bisma, tanpa melihat ke arah gadis di hadapannya. “Ada apa, Pak?” tanya Cassie yang kemudian harus menunggu sampai lelaki perfeksionis itu menyelesaikan pekerjaan yang ada di hadapannya. Baru beberapa hari Cassie menjadi pegawai magang di sana, lalu dua hari menyandang status calon istri Bisma, ia sudah hafal kelakuan lelaki itu. Bisma tidak akan pernah menunda atau meninggalkan pekerjaan yang sud
Untuk gadis yang belum pernah disentuh oleh lelaki mana pun, menyaksikan adegan beberapa jam lalu tentu saja membuat Cassie kena mental. Terlebih yang melakukan itu adalah laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Oke, memang dia akui kalau pernikahan mereka hasil perjodohan dan tidak ada cinta di dalamnya, tetapi tidak seharusnya Bisma melakukan itu juga. Lelaki itu seharusnya menjaga nama baik kedua orang tuanya. Persetan apakah mereka tinggal bersama atau tidak, tetap saja apa yang dilakukan Bisma sangat tidak pantas. “Duh, ngapain sih nih orang telepon-telepon terus?” gerutu Cassie yang mulai ilfil dan malas menerima panggilan atau apa pun dari laki-laki itu. Apalagi untuk bertemu langsung dan melihat wajahnya. Lebih baik tidak sama sekali. Namun, lama-kelamaan ia tak tahan juga, akhirnya diterimanya telepon dari bosnya itu, sebelum si bos kumat galaknya lalu mencak-mencak. “Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Cassie, berusaha mengendalikan nada bicaranya agar
Pada mulanya memang, Cassie ingin membatalkan semuanya. Tetapi ketika ia bangun keesokan paginya, melihat seisi rumah sudah tertata rapi dengan hiasan di sana sini, Cassie kembali didera kegamangan. Mimpi apa ia semalam, sampai-sampai tujuannya untuk menghentikan rencana orang tuanya, malah justru jadi bumerang. Bisma sudah mengatakan kalau pihak orang tua ingin pertunangan dimajukan. Namun, ini lebih cepat dari yang Cassie bayangkan. “Ini buat apa, Ma? Kok ada hiasan-hiasan gini?” tanya Cassie, hanya sekadar memastikan. Ia berharap bukan seperti apa yang ia pikirkan. “Lho, gimana, sih? Bisma gak bilang sama kamu kalau acara pertunangannya malam ini?” Mama menghentikan langkahnya, menatap Cassie dengan alis berkerut. “Apa kamu yang gak ngeuh pas Bisma ngasih tahu?” Demi apa pun, Cassie ingin sekali pura-pura pingsan atau sekalian pura-pura gila karena ini. Namun, jelas itu ide yang konyol. Satu hal yang harus ia lakukan hanya menerima, dan bersiap. Menerima perjodohan yang mana Bi
Cassie ada janji bertemu ketiga sahabatnya sepulang bekerja. Sudah sejak beberapa hari lalu tetapi ia tak sempat mengabari karena urusan pertunangan yang mendadak seperti tukang tahu bulat. Sekarang Vira dan Bibi mempertanyakan tentang acara pertunangannya yang tanpa kabar dan sama sekali tidak mengundang mereka. “Lo jahat banget, Cas. Padahal kita sohiban udah dari jaman apaan, tapi gak diundang sama sekali,” protes Vira saat Cassie sudah tiba di kafe langganan mereka. “Iya, nih. Gak bilang-bilang tahu-tahunya udah mau nikah aja. Padahal kan dia dulu cewek goa.” Bibi menimpali. Cassie yang mendapat protes hanya diam sembari menikmati makanan dan minumannya. Ia kemudian memerhatikan kedua sahabatnya. “Guys, mumpung si Bryan belum dateng, gue boleh cerita gak sama kalian?” tanya Cassie, yang disambut anggukan dari Vira dan Bibi. Keduanya mencondongkan tubuh, mendekat ke arah meja. “Ada apa, Cas? Kok wajah lo sendu gitu?” “Gue gak excited sama pernikahan ini, bukan karena gak cint
“Jangan mancing-mancing, deh ....” Cassie menyuarakan protesnya saat Bryan mulai memberondongnya dengan pertanyaan yang tak mampu ia jawab. Mereka sedang berbincang melalui saluran jarak jauh. Kedua orang tua Cassie tak membolehkan gadis itu bertemu Bryan kemarin, dengan alasan ‘pamali’ karena Cassie sebentar lagi akan menikah. Jadi ceritanya dirinya harus mulai dipingit mulai beberapa minggu sebelum pernikahan. Dan tentu saja, hal itu menimbulkan pertanyaan di benak Cassie, memangnya kapan pernikahannya akan diadakan? “Aku serius, Cas. Aku pengen tahu, kalau kamu dijodohkannya sama aku, apa kamu akan nolak? Atau malah nerima dengan senang hati?” Pertanyaan itu ... haruskah Cassie jawab? Padahal mustahil Bryan tak tahu kalau selama beberapa lama persahabatan mereka telah berubah wujud menjadi sesuatu yang berbeda di hati Cassie. Ada yang berbeda, Cassie akui itu. Pastinya bukan lagi rasa sayang sebagai dua orang sahabat apa lagi antara kakak dan adik, karena mereka tak punyai ik
Cukup sudah kejutan yang diberikan oleh kedua orang tua Cassie, termasuk Bisma. Cassie mungkin akan kena serangan jantung jika terus-menerus seperti ini. Ia baru saja mengadakan acara pertunangan, dan kemudian Bisma mengatakan kalau mereka akan menikah dalam dua minggu. Itu sungguh rekor luar biasa. “Bagaimana bisa nikah dalam dua minggu? Itu gila, Mas!” omel Cassie yang tidak mendapat respon dari Bisma yang sejak tadi hanya menikmati makanannya. “Lebih baik kamu makan dulu, orang lapar biasanya gampang marah.” Tenang sekali ... seolah tidak ada beban dalam hidupnya karena harus menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai. Apa sebenarnya yang ada di kepala lelaki itu? Seharusnya ia berontak dan marah, terlebih dia memiliki kekasih. Bukannya malah tenang dan seakan menikmati semua yang telah diatur oleh kedua orang tua mereka. “Lakukan sesuatu, Mas! Memangnya kamu mau kedua orang tua kita mengambil alih otoritas kita?” “Otoritas apa? Kamu bicara apa? Mereka punya hak kok, kare
Cassie terbangun saat secercah sinar mentari tampak menyeruak masuk ke dalam kamar di mana ia dan Bisma berada. Ia ingat, dirinya baru saja resmi menjadi istri dari Bisma Pramadipta dan itu artinya ia sudah harus bersikap selayaknya wanita dewasa yang sudah menikah dan memiliki suami.Dan ... apakah ia semalam sudah melakukan kewajiban malam pertama?Sayangnya belum. Tidur saja harus diberi batas agar ia dan Bisma tak ada yang melanggar wilayah teritorial masing-masing. Namun, sayangnya, mereka berdua sama-sama melanggar.Entah bagaimana ceritanya, Cassie yang semula di sebelah kanan, kini berpindah di sebelah kiri, begitu pula Bisma. Dan sekarang posisinya adalah nyaman dalam dekapan lengan kekar suami tercintanya.Cassie menyadari dan segera bangkit sebelum suaminya yang masih lelap itu terbangun dan menyadari bahwa mereka tidur nyenyak dalam kondisi berpelukan.Sayangnya, Bisma justru mempererat dekapannya ketika Cassie berusaha melepaskan diri dan turun dari ranjang.“Kamu mau ke
Raut wajah Cassie berubah seketika saat mendengar perkataan Rindi, yang seolah dengan sengaja ingin membuat Cassie cemburu dengan menunjukkan kedekatannya dengan Bisma. Namun, segera, Cassie mengubah ekspresinya kembali netral, mencegah senyum sinis di wajah Rindi berubah menjadi senyum kemenangan. Cassie menarik dan menggamit lengan Bisma, kemudian maju dan berhadapan dengan Rindi. “Maaf, Mbak Rindi. Kami mau nemui tamu dulu. Masalah main ke apartemen Mbak Rindi, nanti pasti mas Bisma bakal mampir bareng sama aku. Makasih untuk undangannya, ya.” Cassie kemudian menoleh pada Bisma. “Ayo, Mas, jangan ngelamun!” Cassie tidak peduli apakah Bisma sudah dalam mode sadar ataukah masih memandang ke arah Rindi, Cassie sudah menariknya menuju ke ruangan di mana semua tamu yang datang sudah berada di sana. Benar saja, mereka berpamitan, begitu pula Cassie dan Bisma yang harus segera pulang dan merapikan rumah mereka yang masih seperti kapal pecah. Beberapa barang milik Cassie hanya diletakka