Share

Jodoh Tak Salah Alamat
Jodoh Tak Salah Alamat
Author: Sensen

Bab 1 Keputusan

Bantu rate 5 ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar.

Happy Reading~

****************

Memiliki seorang kekasih yang cantik, penurut, lemah lembut, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang Arjuna Mollary. Pria berusia 27 tahun itu, memantapkan hatinya untuk segera meminang sang pujaan hati.

Sudah 5 tahun lamanya, ia merajut kasih sayang dengan teman satu profresinya semenjak duduk di bangku kuliah. Meysa Adriana, satu-satunya gadis cantik yang mampu meluluhkan seorang Arjuna.

Banyak para gadis yang mengejar-ngejar Arjuna. Tapi tak satu pun mampu menarik perhatian pria bermata sipit itu. Hanya pada Meysa lah, hati Arjuna luluh lantah.

"Sayang, kenapa berkeringat sampai kayak gini? Kamu sakit? Pucat sekali?" ucap Arjun sembari mengusap peluh Meysa.

Meysa menepis tangan Arjuna pelan, menggenggam jemarinya lembut dan menarik kedua sudut bibirnya hingga tercipta senyuman yang sangat manis.

"Aku nggak apa-apa kok. Jangan panik gitu," balas Meysa lembut memiringkan kepalanya menatap dengan mata sayunya.

"Yakin? Tapi kamu pucat sekali, Sayang. Ayo aku antar pulang." Arjuna menarik lengan Meysa namun dilepaskannya perlahan.

"A--aku mau ke toilet dulu ya," pamit Meysa melangkah terburu-buru.

Merasakan pusing yang luar biasa, ia pun bergegas menjauh dari kekasihnya. Tak mau membuat pria itu khawatir padanya. Dan benar saja, saat mematut dirinya di depan cermin yang besar, Meysa melihat darah keluar dari kedua hidungnya.

Buru-buru ia menyekanya, dan mencuci wajahnya untuk menghilangkan jejak darah yang tersisa. Sudah beberapa bulan belakangan, dia merasakan sakit luar biasa.

Namun biasanya ia bisa menyimpan rapat rasa sakit itu. Baru beberapa hari terakhir, Meysa merasa keadaan tubuhnya semakin drop.

Meysa terus mengguyur wajahnya dengan air yang mengalir di wastafel. "Aku harus tetep sadar. Nggak boleh lemah, nggak boleh pingsan," ucapnya pada diri sendiri menepuk-nepuk kedua pipinya.

Pandangannya kembali jelas, ia menghela napas panjang dan membuangnya dengan kasar. Lalu beranjak keluar dari toilet.

Meysa terlonjak kaget ketika membuka pintu. Ia memegang dadanya yang berdenyut kasar.

"Sayang! Ngagetin ih," seru Meysa.

"Aku udah urus surat izin. Kita pulang sekarang," tandas Arjuna tidak mau dibantah.

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Kesehatanmu lebih penting. Bagaimana bisa kamu merawat orang sakit jika tubuhmu sendiri tidak bisa kau jaga dan kau rawat!" tukas Arjuna melayangkan tatapan tajam.

Mau tidak mau, Meysa pun mengangguk dan menurut. Arjuna memapahnya dengan perlahan. Meski Meysa meyakinkan bahwa keadaannya baik-baik saja. Feelingnya mengatakan sebaliknya.

Sampai di kediaman Meysa, mamanya terkejut dengan kepulangannya. Pasalnya jam kerjanya masih beberapa jam lagi. Dengan langkah terburu-buru, ia menghampiri anak semata wayangnya itu.

"Meysa," gumam Indah, mama Meysa dengan mata berkaca-kaca.

Meysa tersenyum manis dengan bibir pucatnya, ia menggenggam jemari mamanya dengan tatapan memohon. Segera membuka pintu lebar-lebar, mengambilkan air putih untuk putrinya yang telah duduk bersama sang kekasih.

"Ma, Meysa bandel sekali. Kalau Juna nggak memaksanya pulang, dia kekeh masih mau bekerja," adu Arjuna pada Mama Indah.

Mereka memang sudah sedekat itu. Juna adalah panggilan kesayangan keluarga Meysa. Sedangkan pria itu memanggil kedua orang tua Meysa dengan sebutan mama dan papa.

"Iya, Meysa begitu keras kepala. Kamu harus sering menjewer telinganya, Jun," celetuk mama Indah tersenyum kaku sambil menatap iba pada putri kesayangannya.

Arjuna mengacak rambut Meysa gemas. "Tuh, dengerin kata Mama. Beliau sudah bertitah, nyuruh jewer nih kalau kamu bandel lagi," decak Arjuna.

"Mama seneng banget kalau anaknya dianiaya," desah Meysa dengan manja.

"Ya abisnya kamu dibilangin susah, Sayang. Udah sekarang istirahat ya. Aku tinggal, harus kerja lagi untuk meminangmu," Arjuna mencubit hidung kecil Meysa membuatnya berkaca-kaca.

Arjuna memberikan kecupan di kening Meysa, lalu melenggang pergi dari sana setelah berpamitan dengan Mama Indah.

Meysa menangis tersedu setelah kepergian sang kekasih. Mamanya mengerti, cobaan terberat telah menimpa putri kesayangannya. Mama Indah berpindah tempat di samping putrinya memeluknya dengan penuh kasih sayang.

"Ma, kita harus pindah secepatnya dari sini. Meysa sudah nggak kuat lagi," rengek Meysa di tengah tangisannya.

Sang mama membelai lembut rambut Meysa. Dan betapa terkejutnya dia ketika jemarinya dipenuhi oleh rambut Meysa. Mama Indah semakin tersedu dan mengeratkan pelukannya.

"Kasihan Juna, Sayang. Kenapa kamu harus menyembunyikan semuanya dari dia? Juna akan sangat terpukul, Nak." Tubuh Mama Indah bergetar mengingat kondisi putrinya.

"Ma, Juna akan lebih terpukul dengan keadaan Meysa yang sebenarnya. Juna akan mudah melupakan Meysa ketika dia membenci Meysa. Tolong, Ma. Sekali ini aja Meysa mohon sama Mama untuk menuruti keinginan Meysa. Kita pulang ke rumah eyang ya, Ma. Mey ingin menjalani sisa-sisa hidup Mey di sana dengan tenang."

Meysa memejamkan kedua matanya. Merasakan sesak di dada ketika mengucapkannya. Air matanya mengalir begitu deras, mengingat divonis dokter usianya tidak akan lama lagi.

Tidak ingin menambah kesedihan putrinya, Mama Indah segera berkemas untuk kepindahannya. Sore hari ketika papanya pulang, Mama Indah menceritakan segala keluh kesah Meysa dengan berderai air mata.

Berat memang ketika ia harus meninggalkan pekerjaan, yang sedang mencapai puncak kejayaan dalam jabatan yang diembannya.

Namun kebahagiaan putrinya adalah satu-satunya prioritas utama saat ini. Dia pun segera mengurus surat resign dari perusahaan tempatnya bekerja.

Keesokan paginya, Meysa beserta ayah ibunya telah bersiap dengan ketiga koper besar mereka. Sebuah taksi sudah berhenti di depan rumah mereka.

Meysa masuk dibantu oleh Mama Indah. Ia menatap ke luar jendela, banyak kenangan di rumah tersebut. Termasuk kenangannya bersama Arjuna, pria kesayangannya.

"Meysa," panggil mamanya lembut.

Bahkan ketika taksi mulai melaju Meysa masih menatap sendu ke belakang. Sampai bayangan rumahnya benar-benar menghilang.

"Mama tahu perasaanmu. Mama akan selalu ada di sampingmu, Sayang," ucap sang mama menarik Meysa dalam pelukannya.

"Kenapa Tuhan memberi ujian seberat ini pada Meysa, Ma? Kenapa harus Meysa? Kenapa Tuhan tidak memberikan kebahagiaan untuk Meysa?" serunya menangis meraung.

Papa Indra yang duduk di samping sopir mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata. Orang tua mana yang tega melihat anaknya sedih dan kesakitan seperti itu?

"Sabar ya, Sayang." Hanya itu yang mampu diucapkan Mama Indah. Tenggorokannya tercekat menahan tangis.

****

Senja, semburat jingga membias langit yang cerah sore itu. Arjuna bersemangat berkunjung ke rumah Meysa. Sehari tidak berjumpa, rasa rindu membuncah di dasar sanubarinya.

Kedua kakinya menjejak sempurna di teras rumah yang tertutup rapat itu. Arjuna mengayunkan jemarinya untuk mengetuk-ngetuk pintu tersebut. Sambil membawa sebuah keranjang buah di tangan satunya.

"Ma, Meysa!" serunya memanggil sang pemilik rumah.

Sudah lima belas menit lamanya, dia berdiri dan mengetuk pintu. Kini, ia mulai merasa gusar karena tak kunjung dibuka. Namun Arjuna pantang menyerah. Ia meletakkan keranjang buah di meja yang ada di teras lalu berjalan ke samping rumah.

Mengetuk-ngetuk jendela, menyerukan nama Meysa berulang, bahkan mengintip dari balik kaca gelap dan juga di balik pintu.

Tidak menemukan apa pun. Dadanya berdegub kencang. Ia takut terjadi sesuatu dengan Meysa. Arjuna gusar, ia segera merogoh ponselnya dan menghubungi Meysa.

"Sayang, kamu di mana?" gumam Arjuna gusar mondar mandir menempelkan ponsel di telinganya.

Puluhan kali Arjuna menghubunginya, namun sama sekali tidak dapat tersambung. Selalu saja operator yang menjawabnya. Begitu pun dengan nomor ponsel sang mama.

Kedua lutut pria itu melemas, ia menangis terduduk di lantai. Banyak pikiran buruk bergelayut di hatinya saat ini.

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status