Beberapa hari berlalu, Arjuna selalu menyempatkan diri untuk mendatangi kediaman Meysa. Namun ia selalu mendapat situasi yang sama. Tidak bisa menemukan keberadaan Meysa beserta keluarganya.
Pria itu begitu frustasi, penampilannya acak-acakan. Ia selalu kurang tidur, tengah malam baru meninggalkan rumh Meysa. Sampai di rumah pun tidak langsung tidur. Duduk di balkon sambil menyesap rokok sampai habis beberapa puntung.
"Arjuna, boleh papa masuk?" seru seorang pria paruh baya di balik pintu kamarnya.
Arjuna hanya tinggal bersama sang papa. Mamanya meninggal ketika ia masih berusia delapan tahun. Dan sampai sekarang papanya tidak pernah berniat mencarikannya ibu sambung. Sungguh, papa yang hebat bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuk putranya.
"Masuk aja, Pa!" teriak Arjuna mematikan puntung rokok terakhirnya.
Suara pintu terbuka, lampu kamar pun dinyalakan. Sedari tadi hanya cahaya rembulan yang menerobos masuk ke kamar pria itu. Sengaja memang, seperti hidupnya yang kini menjadi gelap.
Papa Andreas kini berdiri di hadapan Arjuna. Kedua tangannya saling menggenggam di punggung. Ekor matanya menilik beberapa puntung rokok dalam asbak. Selama ini Arjuna tidak pernah merokok.
"Sejak kapan kamu mulai merokok?" tanya Papa Andreas mendaratkan tubuh di sofa.
"Baru, Pa," akunya singkat.
"Masalah sebesar apa yang menghinggapimu? Sampai berani merusak tubuhmu?" sindir sang papa.
Arjuna menundukkan pandangan, ia menumpukan kedua lengan di atas lututnya yang menekuk. "Meysa ...."
"Kenapa dengan Meysa?" tukas Papa cepat. Ia khawatir karena memang sudah menyayangi gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.
"Meysa pergi ninggalin Arjuna," ucapnya pelan semakin menenggelamkan pandangannya.
"Apa? Ninggalin yang bagaimana? Kamu punya salah apa sama dia?" pekik Papa Andreas menatap anaknya tajam.
Ia tahu bagaimana sifat dan perangai gadis cantik itu. Karenanya, single father itu menimpakan kesalahan pada anaknya. Meysa pergi pasti ada alasan yang jelas.
"Anak papa itu Meysa apa Arjuna? Kenapa memojokkanku? Bahkan aku tidak tahu punya salah apa. Tiba-tiba dia pergi tanpa berkata apa pun sebelumnya, Pa. Ponselnya tidak bisa dihubungi, ponsel mama juga sama." Arjuna menangis menutup wajahnya.
Dia tidak malu mengekspresikan setiap perasaannya pada sang papa. Karena sedari kecil papanya selalu mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ia pun tumbuh dewasa dengan segala keterbukaannya.
"Bagaimana bisa?" lirih Papa Andreas berkerut kening.
Tidak percaya jika calon menantunya tega melakukan itu pada putra kesayangannya. Papa pun turun dari sofa, ia merengkuh Arjuna yang sudah bukan anak kecil lagi.
"Jadi laki-laki kenapa lembek begini, hah? Apa papa mengajarkanmu seperti ini?" cebik sang Papa menepuk-nepuk pipi Arjuna.
"Lebih baik Arjuna dimarahi, dipukuli oleh Meysa, Pa. Dari pada harus ditinggalkan tanpa alasan yang jelas seperti ini," isak Arjuna.
Baru kali ini Papa Andreas melihat putranya sesedih itu, setelah kepergian mamanya. Tidak pernah Arjuna seterpuruk sekarang. Meysa memang wanita pertama yang mengobrak abrik hati Arjuna.
Papa Andreas menghela napas panjang. Ia menepuk punggung putranya yang sudah dewasa itu. Ia geleng-geleng kepala, "Tidak malu dengan umur, seharusnya seusiamu ini udah memeluk anak kamu dan menenangkannya saat menangis. Bukan malah kamu yang menangis seperti anak kecil," cebik Papa menyindir Arjuna.
"Gimana mau punya anak, Pa? Emangnya Arjuna bisa membelah diri? Calon mamanya aja ilang nggak tahu ke mana!" desah Arjuna menjauhkan tubuhnya.
"Haiss! Arjuna, jika memang Meysa jodoh kamu, dia akan kembali ke pelukanmu. Kalau Meysa bukan jodohmu sekeras apa pun kamu memaksa, tidak akan bersatu. Berpikirlah dewasa!" ungkap sang papa lalu melenggang pergi meninggalkan Arjuna yang melamun sendirian.
"Meysa, apa salahku? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" desah Arjuna yang merasakan sesak di dadanya.
*****
Pagi ini, Arjuna terbangun ketika matahari sudah menanjak tinggi dari peraduan. Silaunya mentari membuatnya memaksa mengerjapkan mata.
Arjuna meregangkan tubuhnya, namun sedikit gerakannya ternyata membuat tubuhnya terjatuh ke lantai.
"Aduh! Sialan nih sofa. Sempit banget!" Lupa jika ternyata semalaman ia tertidur di sofa balkon.
Sudah sakit semua tidak tidur dengan benar, ditambah terjatuh pula bertambah encoklah punggungnya.
Arjuna beranjak bangun sembari memegangi punggungnya. Ia mendaratkan tubuh kembali di sofa. Meneguk air putih yang tinggal setengah botol sisa semalam.
Terlambat berangkat bekerja membuatnya mengajukan cuti dadakan. Arjuna segera membersihkan tubuhnya, ia pun kembali segar setelah mandi.
Arjuna turun dari kamarnya, menuju meja makan. "Bi, sarapan!" serunya mendaratkan tubuh di kursi makan.
"Baik, Den. Bibi siapkan dulu!" sahut sang asisten rumah tangga dari dapur.
Beberapa menit kemudian, sebuah omlete dan jus jeruk tersaji di hadapan Arjuna. Pria itu melahapnya dengan cepat hingga tandas.
"Makasih, Bi," ucap Arjuna melenggang pergi.
"Hah? Saya belum ada lima menit meninggalkan meja makan, sudah habis semuanya? Jangan-jangan bukan Den Arjun lagi yang makan. Iiih serem." Bibi memegang tengkuknya yang terasa merinding.
Sebelum kembali ke rumah Meysa, Arjuna ke tempat kerjanya mencari informasi tentang wanitanya tersebut. Namun, tidak mendapatkan hasil apa pun.
Tak menyerah sampai di sana. Arjuna juga mendatangi kantor tempat perusahaan papa Meysa bekerja. Ternyata beliau telah resign sejak seminggu yang lalu.
"Kalau boleh tahu, apa alasan beliau mengundurkan diri, Mbak?" tanyanya pada HRD perusahaan tersebut.
"Di sini tertera jika beliau ada kepentingan keluarga, Mas," ucap wanita berpakaian rapi.
"Apa itu kepentingan keluarganya, Mbak?" desak Arjuna menuntut jawaban.
Wanita itu mengerutkan kening, "Mana saya tahu, Mas. Mohon maaf jika sudah tidak ada keperluan, silahkan tinggalkan tempat ini. Kami masih banyak pekerjaan lain," ungkap HRD itu mengulurkan tangan mengarah ke luar.
Arjuna yang geram tidak mendapat jawaban pun menendang meja yang ada di depannya. Membuat beberapa orang tersentak. Ia beranjak dengan kasar, lalu meninggalkan lokasi.
Tepat seminggu kepergian Meysa tanpa kabar sedikit pun. Arjuna kembali ke rumah yang tidak terlalu besar dan berlantai dua itu. Ia terus menunggu, lagi lagi ia tidak menemukan petunjuk apa pun.
Sesekali berdiri, berjalan, mondar mandi mengelilingi rumah itu. Namun tidak ada yang berubah. Pintu rumah masih tertutup rapat dengan gembok yang menggantung pada daun pintu.
Sejak awal kenal Meysa, Arjuna hanya tahu ini satu-satunya tempat tinggal Meysa. Arjuna duduk termenung di teras rumah Meysa. Menopang dagu dengan kedua tangannya.
"Dek, ngapain di situ? Rumah ini sudah lama kosong," sapa seorang ibu-ibu menenteng belanjaan di tangannya.
Arjuna tersadar dari lamunannya, ia berlari mendekati wanita paruh baya itu. "Buk, apa Ibu kenal dengan Meysa? Yang tinggal di rumah ini?" tanya Juna perlahan menunjuk rumah Meysa.
Ibu itu mengangguk. "Iya, dia kan anaknya Bu Indah. Temen arisan saya itu mah," balasnya.
"Ah, apakah ibu tahu di mana keluarga Bu Indah sekarang? Atau nomor ponselnya?" tanya Arjuna tidak sabar.
"Bu Indah cuma berpamitan mau ke luar kota. Dan dia bilang kemungkinan nggak akan kembali lagi ke sini, habis itu nomornya tidak bisa dihubungi," jelas wanita tersebut.
"Lu--luar kota? Kalau boleh tahu di kota mana ya, Buk?" sambung Juna lagi penuh rasa penasaran.
Bersambung~
Ziya bersemangat turun dari motor Arjuna. Ia mengenakan kebaya berwarna peach dengan celana berbahan satin berwarna senada. Rambutnya digerai dan hanya diikat beberapa helai ke belakang. Riasannya pun sederhana, kalau tidak dipaksa sang ibu, dia malas melakukannya."Eh, mau ke mana?" tanya Juna menarik lengan Ziya."Mau masuk lah, Kak. Acaranya 'kan di dalam," tunjuk Ziya ke arah masjid.Arjuna turun dari motornya dan melepas helm yang dikenakannya. "Masuk masjid pake helm?" decak Arjuna tertawa terbahak."Eh!" Ziya meraba-raba kepalnya lalu menyengir kuda. Segera ia lepas helm lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan melalui kaca spion motor Juna."Nih, Kak. Makasih ya," ujar Ziya mengulurkan lengannya.Langkah Ziya pun semakin dipercepat, tak sabar menjadi saksi kebahagiaan kakak pertamanya. Mungkin karena mengenakan flat shoes, makanya ia mudah berlari.
"Zii? Zizi? Ziya?" seloroh Arjuna melambaikan tangan, memanggil Ziya yang lagi-lagi terbengong."Eh," Ziya terkejut. Ia pun jadi salah tingkah karena ketahuan menatap Arjuna sedari tadi.Ziya mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Jemarinya menyelipkan anak rambutnya yang tidak berantakan ke belakang telinga. Ia juga meraih gelas dan minum untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering."Segitunya liatin aku. Naksir ya?" goda Arjuna melipat kedua lengannya di atas meja, sambil tersenyum lebar pada Ziya. Memperlihatkan kedua lesung pipinya."Apaan sih. Tadi, tanya apa, Kak? Maaf lagi nggak fokus," elak Ziya tidak berani menatap manik sang lawan bicara."Eemm ... kenapa kemarin malam-malam telepon? Aku telepon balik tapi nggak tersambung," tanya Arjuna kembali melanjutkan makannya.Ziya terdiam, ingatannya berputar pada kejadian malam itu. Tubuhnya kembali ge
Juna mengerutkan alisnya. Pasalnya tiba-tiba malam-malam begini Ziya telepon. Banyak pertanyaan di benaknya. Namun baru sepersekian detik dingkatnya, sambungan terputus. Bahkan mati ketika ditelepon balik."Ada apa, ya? Ah mungkin mau mastiin aja kali lusa aku dateng apa nggak," pikir Arjuna meletakkan kembali ponselnya lalu merebahkan tubuhnya dan tidur.Sementara itu, Ziya masih gemetaran dipelukan Alvin. Pria itu lalu melepas jaketnya dan dipakaikan pada Ziya. Alvin keluar dari gudang memapah Ziya. Pandangannya mengedar mendapati tas dan seisinya berhamburan di jalan yang amat sepi tersebut."Udah, tenang aja. Ada aku, okay?" ucap Alvin menenangkan Ziya. Gadis itu hanya mengangguk, sesekali menyeka air mata yang berjatuhan."Jangan tinggal," rengek Ziya ketika Alvin hendak memunguti barang-barangnya."Aku mau ambilin tas kamu. Tuh bukunya juga. Bentar, tenang aja. Temen-temenku pasti ud
Langkah kaki tanpa suara, dengan pandangan lurus ke depan, senyum yang tak lepas dari bibirnya menyapa siapa saja orang yang dikenalnya.Ziya Thalia, perempuan tegas dan tidak bisa feminim seperti wanita pada umumnya, mulai menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Namun ia benci pada pria yang agresif dan terang-terangan mendekatinya.Baru saja memarkirkan motor matic dan melepaskan helm, seseorang menepuk bahunya. Sontak Ziya memutar pandangan menatap sang pemilik tangan."Ih, apaan sih Al pegang-pegang! Bukan muhrim tahu!" tandas Ziya pada Alvin--teman satu kelasnya, sembari menepis tangan pria itu."Yaelah, Zi jangan galak-galak napa sama Abang," ujar Alvin terus menggodanya.Ziya memutar bola matanya malas. Kalau saja teman-temannya kuliah juga, sudah tak berbentuk tuh muka. Malah, bisa jadi rata kali dihabisi para Catuda.'Hemm ... jadi rindu kalian,' gumam Ziya melangkah masuk kelas.Walau dicuekin, Alvin tak gentar untuk ter
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu