Share

Bab 3 Surat Peringatan

"Emm ... duh si teteh mah enggak bilang mau ke mana," jawab ibu-ibu menggaruk kepalanya.

Arjuna mendesah kecewa. Kepalanya menunduk dalam, lalu berbalik melangkah gontai kembali ke teras rumah.

"Etapi itu, seingat saya teteh dulu dari Yogja. Mungkin mereka balik ke sana," seru wanita itu menghentikan langkah Arjuna.

"Yogja? Sebelah mana, Buk?" timpal Arjuna berlari kecil mendekatinya.

"He, maaf atuh. Saya teh juga nggak paham. Punten," sahut Ibu itu lalu melenggang pergi.

Arjuna diam sejenak, dia pun kembali pulang bersama motor kesayangannya. Pikirannya kosong, tak tahu lagi harus bagaimana. Semangat hidupnya sudah meredup bersamaan dengan kepergian Meysa.

Arjuna berhenti di sebuah taman. Mengingat masa-masa indah bersama sang kekasih. Setiap akhir pekan mereka selalu libur bersama, menghabiskan waktu bersama.

Duduk termenung, mengingat kisah balik momen-momen indah yang tercipta selama 5 tahun terakhir ini. Dalam hati ia berteriak, "Apa salahku?"

Lumayan lama Arjuna menyendiri di tengah keramaian. Semakin melihat bayang-bayang Meysa. Semakin terasa sesak dadanya. Pria itu pun segera beranjak dan memutuskan pergi dari sana.

Berdiam diri di rumah, hingga beberapa hari tidak keluar dari kamar. Asap pekat dari puntung rokok menemani hari-harinya di balkon.

Ayahnya ada tugas di luar kota. Sehingga, ia pun bebas melakukan apa pun di rumah. Bagusnya sih cuma rokok aja untuk pelampiasan, karena Arjuna tidak bisa minum-minuman beralkohol sedikit pun.

Dika rekan kerja satu timnya mendatangi rumah Arjuna. Pria itu sudah beberapa hari mangkir, karena suasana hatinya yang kian memburuk.

"Den, ada tamu!" Suara ketukan pintu disambung dengan suara bibi membuyarkan lamunannya.

"Bilang aja aku nggak di rumah, Bi," teriak Arjuna dengan tatapan kosong.

Lalu terdengar ketukan yang lebih arogant dari sebelumnya. Hampir-hampir didobrak pintu tersebut.

"Heh Junaidi, kalau kamu nggak keluar aku dobrak nih pintu kamar!" timpal Dika berapi-api.

"Jun, woy! Keluar!" teriak Dika lagi.

Tidak ada sahutan apa pun dari dalam kamar. Dika membulatkan tekadnya untuk mendobrak pintu tersebut.

Sudah memasang ancang-ancang, mundur beberapa langkah, lalu berlari sekuat tenaga agar bisa mendobrak pintu. Dalam hatinya pun sudah berhitung. Dan pada hitungan ketiga, Dika menghantamkan tubuhnya dengan keras pada pintu tersebut.

"BRUGH!"

Dika tersungkur di lantai karena Arjuna sudah membuka pintunya tepat saat Dika akan menerobos masuk.

"Aduuuuhh! Sialan lo! Ngomong dong kalau pintunya udah kebuka," gerutu Dika meringis kesakitan menyentuh punggungnya yang membentur lantai duluan.

"Apaan sih lembek banget jadi laki!" sahut Arjuna dingin tak peduli temannya tersungkur di lantai. Ia berlalu begitu saja ke arah balkon.

"Woi! Bantuin kek, main pergi aja. Gara-gara kamu nih!" omel Dika mengulurkan tangan.

Tapi tetap saja tak digubris. Alhasil, dengan sisa-sisa tenaga pria berkulit putih itu berdiri dan berjalan sempoyongan menyusul Arjuna.

"Ngapain ke sini?" sembur Arjuna tanpa basa-basi.

"Kamu ngapain beberapa hari mangkir? Kamu pikir itu rumah sakit milik nenek moyangmu apa?" Dika berkacak pinggang, dengan kedua bola mata yang mendelik tajam.

Arjuna menoleh sekilas, "Bukan urusan kamu!" kata Arjuna ketus.

"Dasar batu!" umpat Dika.

Dika lalu mengeluarkan sebuah amplop panjang dengan kop surat Rumah Sakit Cahaya Sehat, tempat ia mengabdikan diri.

"Paan nih?" tanya Arjuna malas.

"Buka aja sendiri," sahut Dika tak kalah malasnya.

Arjuna pun mengambil amplop tersebut dan mulai membukanya.

Setelah membaca deretan tinta hitam di kertas itu, Arjuna meremas kertas tersebut, mengepalkannya hingga membentuk bola kertas lalu membuangnya ke sembarang arah.

"Hei hei hei! Itu surat peringatan. Kamu abaikan begitu saja? Bisa-bisa dipecat kamu!" cetus Dika kembali meradang melihat Juna acuh tak acuh.

"Bodo!" gumam Arjuna tak peduli.

Pria itu menekuk kedua lututnya. Kembali menghisap rokok yang baru saja dinyalakannya. Kepalanya mendongak, mengepulkan asap rokok ke udara.

Dika mengembuskan napasnya kasar. Turut mendaratkan tubuhnya di lantai tersebut. Dia menepuk bahu Arjuna sampai pria itu terjingkat karena melamun.

"Kamu nggak kasihan sama bokap? Udah kerja keras banting tulang buat jadiin kamu dokter. Setelah lulus pun masih dikuliahin lagi ke spesialis. Dan sekarang? Apa balasan kamu? Melepaskan tanggung jawab begitu saja?" geram Dika mengguruinya.

Arjuna menelan kasar salivanya. Tersadar, selama ini dirinya belum bisa memberikan apa-apa pada papanya. Pria yang selama 19 tahun mendidiknya seorang diri setelah mamanya meninggal.

"Aku nggak akan bisa konsentrasi jika memaksa bekerja. Bukankah pekerjaan kita bersangkutan dengan nyawa? Aku tidak mau bermain-main dengan nyawa orang," aku Arjuna melirik sang sahabat.

Dika menyentuh bahu Arjuna, "Sob, ini bukan kamu banget. Selama ini ketika kamu berada di meja operasi, kamu selalu fokus, melemparkan semua masalah dan kegundahan hati kamu. Mengenyampingkan egomu demi menyelamatkan nyawa di hadapanmu. Tapi apa sekarang?" Masih mencoba membujuk.

Arjuna menyunggingkan seringai tawa. Lalu sedetik kemudian menangis. Ia matikan puntung rokok, menggerusnya di asbak bersamaan dengan beberapa puntung lainnya.

"Kali ini beda, aku kehilangan separuh jiwaku, Dika." Arjuna meraih sesuatu dari kantung celananya.

Sebuah kotak bludru berwarna merah, Arjuna membukanya, menatapnya dengan seksama. "Aku bahkan hendak melamarnya. Tapi tiba-tiba dia menghilang bagai ditelan bumi," gumamnya menyapu cincin bermata satu berlian yang indah dengan kedua ibu jarinya.

"Aku mengerti," sahut Dika pelan.

Arjuna kembali menutupnya, menyimpannya kembali di saku. "Kamu tidak akan mengerti. Karena kamu tidak mengalaminya!" cibir Arjuna menatapnya remeh.

Lagi-lagi Dika mendengus. "Kenapa kamu nggak nanya HRD aja? Siapa tahu bisa melacak keberadaan Meysa dari identitas lengkapnya.

Arjuna menepuk pipi Dika dengan keras. Secercah harapan kembali ia dapat. Tawanya kembali menghias bibir. "Ide bagus! Ayo!" ajak Arjuna berteriak dengan semangat.

****************

Ziya Talia, gadis belia yang supel, pekerja keras, berusia 20 tahun. Ia tinggal bersama ibu dan kakaknya. Orang tuanya bercerai sejak dia masih kecil.

Semenjak lulus SMA, Ziya bersikeras ingin membantu ibunya mencari uang. Meski sang ibu melarang. Kakaknya, Rio bekerja di salah satu perusahaan swasta. Pria lajang berusia 27 tahun itu, enggan menikah karena masih ingin membahagiakan sang mama. Sedang kakak pertamanya, Reza berusia 33 tahun. Masih betah juga dengan kejombloannya. Namun ia pria mapan, membuka praktik klinik mandiri.

"Baru keliatan dari mana, Zii?" tanya Farid rekan seprofesinya.

"Biasa, anter nyokap ke pasar dulu," sahut Ziya setelah memarkirkan motornya.

Ziya satu-satunya perempuan yang menjadi pengemudi ojek yang ber-icon hijau itu. Ia hanya akan menerima penumpang perempuan saja.

Meskipun begitu semua rekan-rekannya sangat menyayanginya dan melindunginya. Tak terkecuali Farid, yang sedari dulu menyimpan perasaan lebih padanya. Namun Ziya tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman saja.

"Zii, nanti malam keluar yuk." Farid merangkul bahu Ziya yang segera ditangkis oleh gadis itu.

"Ke mana?" tanyanya.

"Kencan!" cetusnya mendapat pelototan tajam dari Ziya.

Wahyu, Edi, Eko dan Sofyan turut membelalak mendengar perkataan Farid. Mereka melayangkan tatapan intimidasi pada Farid.

Farid pun mengangkat kedua tangannya. "Woy, santai dong. Bercanda," ucapnya cepat takut teman-temannya salah paham. Meski sebenarnya itu ungkapan hatinya yang sesungguhnya.

"Tidak boleh ada cinta yang bersemi dalam persahabatan kita. Karena hanya akan menghancurkan hubungan yang telah kita bangun bertahun-tahun!" tandas Wahyu memperingatkan janji mereka sejak persahabatan awal mereka.

Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status